Catatan Tentang Proses Ini
Beberapa bulan yang lalu, saya diberi kesempatan untuk merespons karya seni Jumaldi Alfi. Jika sebelumnya, saya lebih sering menulis proses kreatif para perupa, maka pada kali ini, saya merespons karya-karya tersebut dengan karya seni lain: prosa. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri, sekaligus kehormatan bagi saya untuk menafsir karya, dan kemudian membuat hasil tafsiran saya itu ke bentu prosa. Sebuah proses yang sangat mengasyikkan. Sebetulnya proses ini terjadi bersamaan dengan karya Andy Dewantoro, sebab hasil respons saya dipakai untuk katalog pameran Andy dan Alfi dengan tajuk “Two Sides of Solitudes”. Tetapi atas berbagai pertimbangan, salah satunya adalah ruang, yang saya munculkan di situsweb ini adalah tafsir saya atas karya-karya Alfi dalam bentuk prosa. Kepada Alfi, Andy dan Pak Hermanto Soerjanto, saya ucapkan terimakasih banyak.
Penggal Pertama: Di Pelabuhan
Di geladak ini, untuk terakhir kali aku mengenang awal keberangkatan. Dengan semangat kembara anak belasan tahun, kutumpangi kapal barang ini, tanpa pertanyaan tentang tujuan. Hanya ada bulan sabit menggantung di langit. Aku pergi, berandai seperti para legenda pergi. Mengusap tanah, memakai zirah, menatap langit. Kaki melangkah. Tanpa ringkik kuda. Tanpa aba-aba. Tanpa bala tentara. Tanpa genderang perang.
Kapal. Benda itu selayaknya tempat gelap, di mana para legenda berlindung pada nasib baik dan misteri. Dibawa dan diselundupkan sahabat terbaik yang kemudian mati.
Tali ditambatkan. Jangkar diturunkan. Layar digulung, seperti melipat masa lalu. Aku bergegas turun dari kapal. Menginjak kayu-kayu kokoh dermaga. Seusai pelayaran, dalam rengkuhan malam-malam panjang, melewati tiga belas badai. Ketika semua rampung, aku mendapati diriku sebagaimana seorang serdadu yang usai bertempur sepanjang malam, menghirup panjang udara pagi, minum kopi yang telah dingin, dengan bau mesiu dan darah yang masih tajam.
Kemenangan hanya milik lima menit pertama. Sesudahnya, hanya ada selapis hambar dan kembalinya rasa gentar.
Burung-burung laut. Buih ombak. Kapal-kapal yang membeku. Lanskap yang membentang berwarna abu-abu.
Untuk kali terakhir, aku membalikkan badan. Menghadap laut lepas. Aku membentangkan tangan. Ingin merangkum bau laut sebagai bekal perjalanan. Pagi ini, angin mati.
Kakiku menginjak pasir, seperti menjejakkan diri pada butir-butir waktu yang rapuh. Kulirik jam yang melingkar di tangan kiriku, jarum jam sudah lama berhenti berputar.
Pelabuhan adalah pintu depan sebuah kota. Ini kota asing. Hanya dua hal yang kumiliki: diriku sendiri dan orang-orang yang tidak kukenal.
Pelan aku berjalan keluar dari pelabuhan kecil ini. Masih sempat kulihat bendera-bendera beraneka warna yang terkulai di tiang-tiang kapal. Di pelabuhan kecil ini, di saat pagi naik dihadang mendung, aku merasa sebuah peristiwa sedang bermula. Aku melucuti semangat legenda yang semula membungkus rapat jiwaku. Kini, aku hanya seorang laki-laki, sendiri, dengan semangat remaja usia belasan yang perlahan juga mulai pudar.
Hanya ada jalan setapak. Jauh di depan sana, mungkin ada cermin nasib yang sudah retak. Tapi mungkin ada sesuatu yang selalu dicari oleh para pecandu adrenalin. Mungkin.
Paling tidak, sampai detik ini aku masih punya keyakinan, perjalanan selalu menjadi resep mujarab penawar rasa hampa.
Penggal Kedua: Di Sebuah Kafe
Aku duduk di pojok. Di sebuah kafe kecil yang pertama kujumpai begitu kakiku meninggalkan pelabuhan dan memasuki kota. Hanya ada dua pegawai, seorang laki-laki tua di meja kasir, berkacamata tebal, berwajah beku, sibuk mengisi teka-teki silang. Dan seorang gadis berumur dua puluhan tahun, juga berkacamata tebal, yang telah lupa bagaimana cara tersenyum. Aku adalah satu-satunya pengunjung.
“Di kafe ini tidak ada daftar menu,” kata gadis itu dengan suara pelan dan datar. Mirip suara robot. Tidak ada nada emosional. “Semua pengunjung mendapatkan sajian yang sama. Kalau keberatan silakan pindah ke kafe lain.”
Aku menganggukkan kepala. Gadis itu pergi. Tidak lama kemudian ia datang dengan nampan berwarna coklat, meletakkan seluruh sajian: setangkup roti tawar, secangkir kopi hitam, sebutir obat penenang dan sejumput kacang.
Aku melahap semua dengan diam. Sambil melihat tembok kafe. Ada begitu banyak goresan yang tumpang-tindih. Perlahan, aku mulai bisa membaca nama-nama dan angka-angka di tembok itu.
“Tuan, kafe ini dulu didirikan oleh para veteran perang. Beberapa tahun lalu, tempat ini masih selalu ramai.” Bapak tua di kasir itu bicara kepadaku tanpa mendongakkan kepala. Tangannya masih sibuk mengisi kotak-kotak teka-teki silang. “Mereka datang, mabuk, berteriak, menyanyi, lalu bercerita tentang perang dan kemenangan. Seolah-olah mereka adalah sekumpulan legenda. Tapi sesungguhnya mereka berkisah tentang rasa marah dan rindu yang tertekan.”
Barulah kemudian kepalanya mendongak, mengacungkan pensilnya ke tembok besar penuh guratan itu. “Ada sekitar 40 orang veteran yang sering datang ke tempat ini. Selusin orang di antara mereka kemudian menjadi penyair. Tiga orang jadi teroris. Dua orang merampok bank. Lima orang mati karena alkohol. Selebihnya, mati bunuh diri. Kini mereka semua telah mati. Hanya tembok itu yang mencatat mereka.”
Ia menundukkan kepala. Kembali menekuri halaman teka-teki silang. Aku bangkit mendekati tembok penuh guratan itu. Di tembok itu, maut ditulis berdampingan dengan skor sepakbola. Kesunyian dipahat dengan slogan-slogan pertempuran. Heroisme telah padam. Tinggal abu dan aroma gosong.
Aku melangkah menuju kasir. Membayar. Bapak tua itu menerima uangku tanpa menoleh ke wajahku. Aku melangkah pergi menuju pintu.
“Tuan,”
Aku menoleh ke meja kasir. Kepala laki-laki tua itu tetap tertunduk sambil bersuara, “Kamu orang yang beruntung, telah mengunjungi tempat ini. Sebuah tempat yang penuh dengan kenangan berlumut. Konon, kesunyian dan rasa kecewa hanya bisa ditulis di dinding waktu. Tapi tidak untuk tempat ini. Berbahagialah kamu.”
Penggalan Ketiga: Di Museum
Aku berada di ruangan bundar, dikepung tembok tinggi menjulang. Ruangan ini beraroma rempah dan kopi. Tidak ada karcis dan tanda pengenal. Tidak ada pemandu dan penjaga.
Ruang ini agak benderang, tanpa kuketahui dari mana sumber cahaya. Aku seperti berada di sebuah rahim yang hangat dan terus berdenyut.
Di sini, perangkat penanda waktu dipajang bersama guci tua dan gading gajah. Bersebelahan dengan kotak perunggu, cuwilan tembikar dan jubah-jubah para legenda. Di sini, seluruh daftar persoalan manusia digantung bersama resep-resep makanan dan nama-nama yang tidak kukenal.
Tepat di titik pusat, ada air mancur yang muncrat tanpa suara. Dikelilingi kotak-kotak transparan berisi kitab-kitab rahasia, kitab-kitab suci, kitab-kitab mimpi, kitab-kitab imajinasi, juga kitab-kitab dusta.
Ada lima lorong dengan cahaya redup, menuju ke arah entah. Di sini tidak ada penunjuk arah, di sini aku kehilangan kiblat.
Aku berdiri di depan lorong pertama, dari papan keterangan yang terpajang, aku tahu, lorong ini bisa membawa seorang pengunjung melacak masa lalunya, dan meneropong masa depannya.
Di depan lorong kedua, dari papan keterangan, aku diberi penjelasan bahwa lorong ini bisa membawa seorang pengunjung menuju ke situasi di mana ia bebas dari kungkungan bahasa.
Pada lorong ketiga, informasi kudapat dengan gamblang: lorong ini akan mengajak seorang pengunjung mendapati kenyataan bahwa status ilmu pengetahuan telah bergeser, dan nalar sudah bukan satu-satunya perangkat untuk memahami dunia.
Tepat di depan lorong keempat, ini semacam “lorong hukuman” bagi mereka yang mendewakan rasio dan mengabaikan emosi.
Dan di lorong terakhir, lorong kelima, papan petunjuk memberi informasi yang sangat singkat dan bernas: Memasuki lorong ini, setiap orang berhak menggenggam keabadian.
Aku tidak tahu harus masuk ke lorong yang mana. Sialnya, aku juga tidak tahu bagaimana dan dari mana aku memasuki ruang museum ini. Lebih sial lagi, aku tidak tahu bagaimana cara keluar dari ruangan ini.
Dalam kebingungan itu, sesuatu tiba-tiba turun dari langit-langit. Pelan. Tanpa suara. Begitu benda itu turun, aku baru menyadari bahwa benda itu berupa sebuah patung kuda dari kayu hitam. Lalu terdengar suara, bergaung, “Naiklah di punggung Kuda Mantra itu. Kamu akan dibawa melewati tapal batas realitas. Lalu akan dikembalikan lagi ke jalanan. Di luar museum ini.”
Dengan ragu, aku menaiki kuda kayu hitam yang disebut sebagai Kuda Mantra itu. Lalu aku merasa ada rasa kantuk yang aneh, tidak berat, tanpa menguap, dan aku lenyap menuju titik hening.
Penggal Keempat: Di Kuil Hijau Lumut empat
Tepat di depan gerbang kuil kecil ini, aku menanggalkan seluruh pakaian dan pikiranku yang dipenuhi traktat politik, risalah filsafat, kitab propaganda dan catatan kuratorial, di atas tanah. Aku telanjang. Lalu menggantikan itu semua dengan hanya memakai jubah prosa dan berkalung puisi. Kugumamkan sebait doa.
Aku melangkah masuk. Segera disambar udara sejuk.
Di depanku ada kolam kecil berair biru, dengan sebuah bunga padma yang sedang bertapa di tengahnya.
Tepat di seberang kolam itu terdapat kuil kecil dengan warna hijau lumut. Di depan kuil itu, teronggok sebuah batu. Tentang batu itu, aku sungguh tidak tahu, apakah benda itu yang telah memerangkap waktu, ataukah waktu yang telah membatu.
Aku mengusap jubah prosaku, yang berkilau karena daya cipta dan daya rasa. Aku memegang kalung puisiku, mendapati selarik jalan rumpil untuk menemui diriku sendiri. Aku menggumamkan doaku, kuikuti alur kesadaranku. Aku mencoba merasakan tubuhku sendiri, kudapati sesuatu yang tidak sekadar berdarah, berdaging dan bertulang.
Tubuh yang punya riwayat.
Tubuh yang penuh rimbun misteri.
Tubuh yang mengelak untuk tamat.
Badai bergejolak di dalam diriku, penuh dengan gelombang gairah. Keinginan tanpa batas. Hasrat yang tidak pernah bisa jinak. Rasa yang kacau. Emosi yang meletup dan melompat. Sebuah khaos.
Lalu aku bersimpuh, menggulung ragaku seperti sebuah janin yang siap dilahirkan kembali.
Bayang-bayang bermunculan. Topeng-topeng aneka rupa berlewatan. Bentuk-bentuk mengerikan berseliweran. Aku memegang tali kekang kesadaranku. Kadang kukencangkan, kadang kukendorkan.
Aku terbang di atas pucuk-pucuk daun. Aku terbang di atas lautan. Aku terbang di atas puncak-puncak gunung. Aku tetap memegang tali kekang kesadaranku. Kadang kukendorkan, kadang kukencangkan.
Lalu aku sampai di depan gua gelap tapi tidak menakutkan. Aku memasukinya. Aku mendaki tapak-tapak menuju hening.
Di puncaknya, aku tenggelam pada pusat hening. Habis kata. Habis bahasa. Tak tersentuh prosa. Tak tersentuh puisi. Tak tersentuh doa. Keheningan berada di seberang segala.
Penggal Kelima: Di Stasiun lima
Seandainya aku ingin bercakap-cakap, satu-satunya benda yang pantas kuajak adalah tiang tinggi tepat di depan tempatku duduk. Stasiun ini sepi sekali. Memang ada kedai-kedai memanjang dengan jendela-jendela bersih penuh menu makanan dan minuman. Tetapi tidak ada yang jaga. Hanya mesin-mesin yang melayani.
Tiket kereta yang kubeli, diulurkan oleh lidah mesin secara otomatis, bersama koran senja dan secangkir coklat hangat. Tampaknya si mesin tahu persis, aku harus menunggu keretaku dalam waktu yang cukup lama.
Bangku-bangku panjang kosong. Aku satu-satunya penumpang yang menunggu kereta senja ini. Ah, senja� Ini hanya dugaanku saja. Ketika aku pertama kali turun dari kapal, ada warna merah di ufuk jauh. Kuanggap itu pagi. Setelah aku berkelana di sepanjang kota, di kafe, di museum dan di kuil, kini ada semburat warna merah yang lain di langit. Kuanggap itu senja.
Selama di kota ini, matahari terhalang mendung dan kabut. Cuaca redup.
Stasiun adalah sebuah orkestra dengan jeda yang panjang. Keloneng genta pertanda kereta datang, suara peluit, gemuruh kereta datang. Jeda. Peluit berbunyi. Gemuruh kereta berangkat. Jeda. Lalu sunyi yang panjang.
Kereta datang dan pergi. Tetapi tidak ada penumpang yang turun dan tidak ada penumpang yang naik.
Hanya ada warna terang di moncong kereta, huruf-huruf kapital besar yang tak kuketahui maknanya. Selanjutnya, seluruh gerbong yang panjang itu hanyalah sebujur warna hitam. Pekat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Aku bahkan tidak tahu, jika kelak keretaku tiba, aku harus masuk lewat pintu mana. Di tiketku hanya ada dua kata: FEEL dan ART. Tidak ada jam kedatangan, ah bukankah sedari awal sampai di kota ini aku tak pernah tahu soal waktu? Dan tidak ada kota tujuan berikutnya, ah bukankah sedari awal memutuskan pergi, aku tidak tahu hendak ke mana?
Satu-satunya temanku adalah secangkir coklat hangat. Koran, benda satunya lagi, sudah lama kusingkirkan. Halaman-halamannya hanya berisi iklan-iklan yang tidak kumengerti. Hanya ada satu iklan yang kubaca, sebuah iklan yang menjual tanaman.
Tiba-tiba aku merasa seperti seorang serdadu yang baru pulang dari pertempuran. Tidak ada lawan dan tidak ada sekutu. Tapi tidak ada perasaan rindu dan tidak ada perasaan menang.
Menunggu. Sendirian. Tak tahu kapan keretaku tiba. Tak tahu tujuan. Aku hanya tahu bahwa aku akan pergi. Entah ke mana.
Ketika minumanku hampir tandas, suara keloneng pertanda kereta datang berdentang. Aku merasa ini saat keretaku tiba. Benar. Pada moncong kereta itu terdapat dua kata: FEEL dan ART. Aku membuang cangkir minumanku ke tempat sampah. Membiarkan koranku teronggok di bangku tunggu. Aku bangkit. Bergegas menghampiri kereta.
Salah satu gerbong hitam terbuka. Aku masuk. Pintu tertutup. Lalu terdengar suara, lagi-lagi seperti suara mesin dengan bahasa manusia, “Selamat datang di Kereta Rahasia. Silakan duduk di kursi yang paling nyaman.”
Aku masuk ke lorong gerbong. Ada begitu banyak kursi, dan tidak ada satu pun yang terisi manusia. Aku duduk di bangku sembarang.
Lalu terdengar suara lagi. Suara yang sama dengan isi yang berbeda, “Anda akan kami antar keluar dari dunia kanvas.”
Aku tidak terlalu peduli dengan pengumuman itu. Aku hanya ingin tidur. Benar-benar ingin tidur. Sambil sedikit berharap, begitu bangun, aku sudah berada di sebuah dunia di luar kanvas.
Sepasang mataku menutup. Tepat di saat kereta bergerak berangkat.