“Bapak pernah ke atas?”
“Pernah, beberapa kali.”
“Berapa kali, Pak?” tanyaku mengejar. Mencoba mencari kepastian. Laki-laki paruh baya di sampingku terdiam. Seperti berpikir sambil terus menggerak-gerakkan setir angkutan yang berbentuk lingkaran mungil. Sementara aku membayangkan sejumlah angka. Belasan? Puluhan? Ah, pasti puluhan. Bapak ini kan orang sini…
“Tiga kali,” ujarnya singkat.
Mendengar jawaban itu, ada sesuatu yang mencekat di tenggorokanku.
“Terakhir, mobil yang saya sopiri berhenti di tengah jalan saat nanjak.”
“Terus, Pak…” aku sungguh ingin tahu kisah itu.
“Orang di belakang lompat, ambil batu buat mengganjal.”
Aku segera menoleh ke belakang. Aan dan Dedi yang berada di tubuh angkutan mungil terdiam. Juga tas-tas yang menggunung.
“Kalau ini nanti, bakal kuat naik, Pak?” kejarku.
“Mudah-mudahan…”
Wow! Sudah kuduga. Semenjak angkutan yang lebih dikenal dengan sebutan pete-pete ini berhenti tepat di depanku, aku hampir tidak yakin, mengapa panitia memilih angkutan ini untuk naik ke atas. Ketika itu, Anna, ketua rombongan ini bilang, “Ini untuk mobil barang, dan untuk penumpang naik yang itu…” sambil berkata begitu ia menunjuk dua mobil mulus, mungkin baru keluaran dari dealer mobil tiga empat tahun yang lalu.
Tapi kedua mobil itu langsung penuh. Dan entah mengapa bapak sopir bilang, “Satu orang naik ke sini, di depan.” Aku tidak punya pilihan lain. Daripada berdesak-desakan dengan banyak orang, dan pasti mobil itu ber-ac—aku tidak suka ac sebagaimana aku tidak suka es—aku lebih memilih mobil khusus barang ini. Sopir pete-pete ini pasti lebih tahu kekuatan mobilnya daripada aku. Lagipula, bukankah tidak baik menilai sesuatu hanya dari yang tampak saja?
Ketika aku hampir membuka pintu bagian depan, Dedi dan Aan langsung nangkring di tubuh angkutan itu. Aku ragu. Kuatkah? Tapi bapak sopir hanya diam. Aku membuka pintu, dengan perasaan tidak pasti.
Ketika kemudian angkutan yang nyaris mirip rongsokan ini berjalan, pikiranku dibanjiri lagi kabar tentang Tompo Bulu, tempat yang sedang kami tuju. Anna, lewat surat elektroniknya memberi kabar awal. Katanya, Tompo Bulu terletak di dataran tinggi, untuk tidak menyebut tinggi sekali. Menuju ke sana harus dilakukan dengan hati-hati, banyak kelokan tajam yang berbahaya. Ketika aku tiba di Makassar, kepalaku diruwahi lagi oleh kabar lain. Ocan, seorang teman dari Ininnawa, tidak mau balik ke tempat itu lagi. “Ia pucat, dan tidak mau ke sana lagi begitu mengalami sendiri.” ujar Anna, mungkin setengah menakut-nakuti.
Saleh, teman seperjalananku dari Yogya tersenyum. Ia pikir, aku takut ketinggian. Saleh salah. Aku takut naik pesawat terbang, bukan takut ketinggian. Jadi, ketika aku mendengar kabar tentang Tompo Bulu, tidak ada hal yang begitu mengkhawatirkan. Tempat tinggal nenekku di kampung yang termasuk dataran tinggi. Dari kecil, aku biasa naik sepeda motor ke sana yang bahkan batu-batu sebesar kepala kerbau masih menghadang di jalan. Berbelas kali, mungkin, sepeda motor yang kunaiki macet di saat menanjak. Aku sudah terbiasa melewati hal-hal seperti itu. Ketika di tahun 1996, awal aku kuliah di Yogya, aku ikut sebuah ekspedisi naik VW Combi menyusuri bukit kapur selatan, dimulai dari Gunung Kidul sampai Malang. Rombongan diikuti tujuh orang dan hanya dua orang yang bisa menyetir. Mobilnya punya penyakit lucu, jika berhenti sebentar saja, misalnya di lampu merah, mesin mobil langsung mati dan semua penumpang harus turun untuk mendorongnya. Hanya aku yang berani di depan, menyanding para sopir amatir yang menyetir dengan semangat para gerilyawan yang baru belajar perang. Asal berani saja, tidak menghitung risiko. “Terlalu bersemangat,” begitu ujar pepatah panglima perang di Amerika Latin, “bisa menjelma menjadi pembunuh utamamu.”
Jarak tempuh mobil ekspedisi itu ratusan kilometer. Saat itu, jalanan di bukit kapur selatan masih belum sebagus sekarang. Bahkan terakhir kali, di tahun 2003 ketika aku dari Surabaya ke Pacitan lewat Tulungagung, masih banyak tebing-tebing yang longsor di jalanan.
Tapi naik kendaraan ini? Yang bahkan di jalan datar pun sudah terdengar ngos-ngosan, aku agak gentar. Tapi aku masih mengingat dengan baik, bagaimana memperhitungkan di saat naik Combi sialan itu, ketika berkali-kali tidak kuat nanjak dan para penumpang berlompatan serta berbagi tugas. Ada saat ketika mobil berhenti sesaat, sebelum mundur bebas ke bawah, dan di saat yang hanya dua tiga detik itu, semua penumpang harus berlompatan keluar, terutama yang dekat dengan pintu. Dua orang di pintu belakang sudah harus mengganjal ban belakang, juga aku yang di pintu depan.
Kenangan itu sedikit menentramkanku. Aku memegang bibir pintu, mencoba meyakinkan diri sendiri, aku pasti bisa.
Dua mobil mulus yang sesak dengan para penumpang melaju terlebih dahulu. Aku tersenyum. Membayangkan di mobil itu, betapa para penumpang harus berdesakan. Di dua mobil itu, ada empat belas peserta pelatihan, dua orang pemandu pelatihan, dan lima orang panitia. Hm… aku lebih beruntung berada di angkutan ini.
Ujian pertama datang. Jalanan menanjak, berkelok, tajam, sempit. Angkutan yang kutumpangi jelas menunjukkan kapasitasnya, renta dan tidak akan sanggup mendaki tanjakan yang lebih tinggi lagi. Beruntunglah, dua mobil mulus itu berhenti. Para penumpang memberi aba-aba, agar penumpang yang ada di mobil yang kutumpangi turun untuk naik mobil mereka. Dedi dan Aan turun. Aku tidak punya pilihan lain. Aku di depan, pintu angkutan ini tidak bisa ditutup, dan tas-tas itu bisa keluar begitu saja dari perut angkutan ini. Berkurang dua orang, membuatku berpikir pasti lebih baik lagi.
Tapi ternyata apa yang kupikirkan tidak sesuai dengan apa yang harus kuhadapi. Di kelok panjang tanjakan kedua, angkutan yang kutumpangi kembali menunjukkan jatidirinya, lembek, lemah dan diragukan kemampuannya.
Di saat seperti itu, aku kaget sekali. Aku melihat rem tangan angkutan ini dililit kabel besar. Segera aku bertanya ke bapak sopir, “Rem ini sudah tidak berfungsi lagi ya, Pak?”
Bapak sopir mengiyakan. Segera aku meraba bibir pintu yang tak berkaca. Ingin lebih meyakinkan bahwa ketrampilanku membuka pintu inilah yang masih bisa kuandalkan jika terjadi apa-apa.
Dengan beberapa kali adegan dramatik yang mendebarkan, beberapa tanjakan berhasil kami lalui. Hingga kemudian bapak sopir memelankan laju mobilnya. Sebentar lagi tanjakan yang paling tinggi, begitu katanya, sambil kemudian mempercepat laju mobil, membuat ancang-ancang yang panjang.
Aku terus bersiaga. Satu kelokan, menanjak lagi, kelokan kedua, menanjak makin tinggi, kelokan ketiga, makin tinggi lagi, mobil mulai seperti kehabisan napas. Kelokan selanjutnya lagi, dan lagi, hingga tanjakan panjang…
Mobil tersendat. Berhenti di tengah-tengah tanjakan paling tinggi dan curam. Cepat aku meraih gagang pintu, sebelum pintu terbuka si sopir berteriak, meminta aku agar jangan turun. Ia memainkan kopling setengah, mobil mulai bergerak lagi. Pintu tidak jadi kubuka, tapi tanganku masih di gagang pintu, dan aku bilang dalam hati, jika sekali lagi mobil ini berhenti di tanjakan, aku tidak akan memedulikan teriakan bapak sopir.
Tapi mobil berhasil naik. Di jalan yang agak datar, mobil berhenti. “Biar mobil ini bernapas dulu, Dik…” sambil berkata begitu si sopir mematikan mesin, membuka pintu lalu menyalakan rokok. Aku juga turun. Merapikan tas-tas yang berserakan di tubuh mobil karena tanjakan-tanjakan yang terlampaui. Aku meminjam api dari pak sopir, sambil berkata, “Tadi saya mau lompat karena ingin mengambil batu dan menahan laju mobil, Pak…”
Sopir itu tersenyum. Aku yakin, dia pasti tahu kalau aku berbohong.
***
Tompo Bulu cerah. Desa ini begitu bersih. Rumah-rumah berjajar dengan rapi, berpagar dan berhias banyak tanaman. Orang-orang kampung menyambut kami. Di depan balai desa, mobil yang kutumpangi berhenti. Keadaan begitu pikuk. Aku ingin sesuatu…
Acara perkenalan berlangsung dengan singkat. Bapak dan ibu angkatku—istilah untuk orang yang dalam waktu tujuh hari rumah mereka akan kutempati—terlihat ramah. Aku lalu diajak mereka menuju rumah calon tempat tinggalku. Aku tidak begitu memperhatikan yang lain, aku hanya ingin sesuatu…
Rumah yang kutempati milik keluarga Burhan Said. Terletak di depan SD Tompo Bulu, terletak di tanah yang agak tinggi. Rumah panggung dengan tiang pancang di tanah yang tinggi membuatku terasa nyaman. Lanskap begitu indah.
Ibu Burhan datang dari arah belakang dengan cangkir yang mengepul. Ini yang kutunggu, dan kuinginkan dari tadi. Tapi ternyata nampan itu berisi teh hangat. Ah, lumayan…
Setelah berbicang alakadarnya dengan bapak angkatku, aku menuju ke kamar, menyimpan tas, mengambil air wudu di kamar mandi, yang sejujurnya saja untuk mengecek bagaimana kondisi kamar mandi rumah yang kutempati ini. Selesai Salat Duhur, aku kembali berbincang dengan Pak Burhan.
Di tengah percakapan yang mulai akrab itu, seorang anak kecil datang mengganggu kami. Awi, belum genap empat tahun, putra tunggal keluarga ini, begitu bertingkah. Kopiah yang sedang dikenakan bapaknya, sarung, kursi, apa saja yang ada di tempat itu menjadi alat permainan baginya. Kenakalan khas anak kecil, apalagi jika ada orang yang baru dikenalnya, ah kenakalan biasa.
Tapi yang biasa itu bisa menjadi tidak biasa. Dan itu langsung kurasakan. Saat itu, Awi keluar. Di saat aku dan Pak Burhan kembali berbincang tanpa ‘gangguan’, tiba-tiba rumah bergetar. Aku kaget. Cepat aku bangkit. Pak Burhan terlihat agak bingung. Aku terduduk setelah menyadari ketololanku, goncangan itu disebabkan Awi berlari kencang di rumah panggung. Aku tersenyum kecut.
Aku mengalami gempa yang dahsyat di Yogya. Akibatnya, getaran sedikit saja bisa membuatku panik. Mobil yang lewat di jalanan depan rumah kontrakanku, pintu yang ditutup keras, bisa membuatku pucat, seperti merasakan kembali gempa susulan.
Menyadari itu, aku segera tahu apa yang harus kulakukan, beradaptasi dengan polah bocah kecil itu. Berarti ada satu lagi masalah yang harus kuhadapi selain dua masalah lain yang sudah terlebih dulu mendatangku.
Masalah pertama adalah jadual tidur. Aku punya ‘penyakit menahun’ yang sampai sekarang sulit sembuh. Tidur pagi. Pagi dalam waktu yang sebenarnya, bukan ‘pagi’ dalam bahasa para pembawa acara di radio dan surat kabar yang meneruskan ketololan penyebutan pagi, begitu lewat jam 12 malam. Kalau agak beruntung, aku tidur menjelang subuh. Tapi biasanya aku tidur dalam kisaran antara jam 5 sampai jam 7 pagi. Itu artinya, kalau jam pelatihan wajarnya dimulai jam 9 pagi, aku hanya tidur dalam waktu kurang-lebih 3 jam. Tapi masalah seperti ini sudah biasa kuhadapi dalam setiap pelatihan. Itu risiko. Dan aku tidak bisa berbuat banyak untuk menghindari itu selain bersiap lelah dalam waktu berhari-hari kurang tidur.
Masalah kedua, masih ada hubungannya dengan hal itu, soal menghabiskan waktu malam hari di rumah yang masih asing. Ketika kali pertama Anna memberitahu bahwa aku akan tinggal di rumah penduduk sendirian, tanpa teman, seperti yang para peserta yang lain, hanya satu hal itu saja yang kupikir, saat aku tidak bisa tidur, aku tidak punya teman ngobrol lagi. Keluarga Burhan Said tentu tidak mungkin ngobrol sampai larut. Untuk hal seperti ini pun aku sudah punya aktivitas. Satu buku bacaan yang cukup tebal sudah ada di tanganku, satu buku yang harus selesai kusunting selama beberapa hari di Makassar masih menunggu sentuhanku, beberapa artikel yang kuunduh dari dunia maya, dengan tema-tema ekonomi-politik juga sudah siap kusapu. Mungkin yang jadi masalah adalah aku ingin ngobrol dan kangen-kangenan dengan teman-teman Ininnawa. Maklumlah, sudah setahun ini kami tidak bertemu. Dan waktu siang hari, di sela-sela pelatihan, pastilah tidak cukup.
Satu goyangan kuat di rumah panggung membuatku terkejut lagi. Awi bertingkah lagi. Membuatku dengan cepat berpikir, aku harus ke balai desa lebih cepat. Bukan untuk apa-apa, supaya aku punya sedikit waktu untuk berpikir dan bersiaga, kelak di beberapa hari ke depan, goyangan maut mirip gempa akan lebih sering menggangguku. Pastinya.
***
Limabelas peserta perempuan, satu tidak hadir. Itu yang kudapat tentang peserta pelatihan kali ini. Sampai di balai desa, sudah ada beberapa orang yang hadir di sana, terutama para panitia. Satu hal kecil tiba-tiba menggangguku. Kalau tempat pelatihannya ada di balai desa, lalu…
Mataku beredar, berkeliling, mencari-cari sesuatu. Tidak kutemukan apa yang kucari. Hanya ada beberapa orang yang berbincang, dan beberapa lagi sibuk memasang laptop, mengeset alat rekam. Lalu…
Aku putus asa dengan apa yang kucari. Aku hanya punya satu hal, mengambil inisiatif. Aku bertanya ke seorang panitia, bagaimana dengan hal yang kucari-cari? Ia menjawab, bawa saja dari tempatku tinggal. Aku melongo. Wah, merepotkan tidak, ya… Tapi aku curiga panitia itu hanya bercanda. Ia tahu masalahku dan ingin menggodaku.
Lalu mataku berhenti di Dedi. Dia bisa menyelamatkanku. Setahun yang lalu, Dedi adalah peserta pelatihan menulis di mana aku jadi pemandunya. Aku mendekati Dedi. “Ded, aku bisa mati ini…”
“Kenapa?”
“Kopi.” jawabku singkat dan pelan.
Dedi tertawa. Anna mendengar perkataanku. Ia juga tertawa. Piyo segera tanggap. Piyo dulu juga jadi panitia, dan segera tanggap terhadap hubungan yang serius antara aku dan Kopi. Anna dan Piyo segera meminta Dedi untuk membuat kopi. Hidupku terselamatkan dengan khidmat, di detik-detik terakhir benteng pertahananku hampir runtuh, tidak minum kopi dari pagi.
“Mau kopi apa, Mas?” sebelum pergi, Dedi ingin memastikan sesuatu.
“Kopi apa saja, Ded. Yang penting kopi hitam, bukan kopi susu atau kopi krim.” Dalam hatiku, kamu tumbuk arang asal kamu bilang kalau itu kopi juga pasti kuminum, Ded.
Dedi berangkat. Aku selamat.
Tepat ketika Dedi datang bersama ceret kecil dan gelas, forum dimulai. Aku tidak ambil pusing, kopi dalam situasi seperti ini menghalalkan segalanya. Aku menuang kopi, menguarkan uapnya di mukaku, mencium dalam-dalam aromanya, lalu menyeruput pelan. Selamat sore, Dunia! Aku hidup lagi. Jadi apa yang sekarang kamu mau? Aku sudah siap!
Perkenalan dan bla-bla-bla selesai. Senja turun rapat. Kabut turun dengan cepat dari pinggang bukit. Satu hal telah bisa kupastikan, selalu ada kopi di sini. Terimakasih, Dewa Kopi!
***
Pak Burhan orang yang ramah. Percakapan antara aku dan dia tidak mengalami banyak hambatan, selain tentu saja menuntut kecermatanku mendengarkan kecepatan pembicaraannya. Aku lemah dalam hal mendengarkan. Kalau ada orang bicara cepat, aku agak tertatih-tatih mengikutinya. Apalagi jika dialek dan bahasa yang digunakan lawan bicaraku tidak begitu familiar bagiku. Tapi itu hanya soal waktu. Soal kebiasaan saja.
Ibu Burhan juga baik. Sekalipun tidak banyak bicara, senyumnya yang terus mengembang memastikanku bahwa aku berada di tempat yang menyenangkan. Dan itu terbukti dalam rentetan kisah ini.
Hal utama, makanan tentu saja. Begitu tiba, dan saat aku mau berangkat ke balai desa, aku diminta makan dulu. Dan di atas meja makan, membentang tiga jenis ikan! Aku benar-benar terkejut. Bukankah Tompo Bulu jauh dari laut? Jangan-jangan panitia memberitahu ke keluarga angkatku kalau aku suka makan ikan? Ah, pasti merepotkan. Tapi kemudian aku berpikir bahwa mungkin saja ini makanan sambutan. Aku sendiri orang yang tidak bermasalah dengan makanan. Apa saja bisa makan. Tapi ikan laut selalu menempati urutan pertama. Saking tergila-gila dengan ikan laut, terutama kepala ikan, aku tidak sungkan-sungkan berebut kepala ikan dengan siapa saja, di mana saja. Terakhir aku berebut kepala ikan dengan Saleh. Saat itu, aku sepakat dengan kata-katanya, “Hanya satu hal yang absah jika antar-sahabat berkelahi, berebut kepala ikan!”
Di saat ia bilang seperti itu, ia mengambil kepala ikan yang sudah kuincar, lalu pergi. Dan aku hanya terdiam, menyesali ketidaktangkasanku merebut piringnya. Tapi Makassar adalah surga ikan. Terutama surga bagi para pencinta kepala ikan. Baru sampai di Ininnawa saja, satu sop kepala ikan sudah terhidang. Masakan kepala ikan yang sangat terkenal di Makassar adalah Ulu Juku. Sepinggan besar hanya diisi oleh separo kepala ikan, bisa dimasak asam pedas dan bisa dimasak gulai. Tinggal pilih sesuai selera. Aku sempat ngomong ke Saleh, ada yang membedakan antara pemakan kepala ikan profesional dan pemakan kepala ikan amatir. “Pertama, kamu ambil nasi sedikit, sisihkan di bibir piring. Lalu ambil daging kepala ikan sedikit saja, pastikan tidak ada duri atau tulangnya di pinggir piring. Gunanya, nasi itu untuk bersiap jika bagian kepala ikan yang kamu makan terselip tulang dan masuk ke tenggorokanmu. Telan begitu saja, jangan dikunyah, selesailah urusanmu. Lalu daging ikan yang juga sudah disediakan berguna untuk membilas nasi itu. Makan ikan yang afdol adalah kamu mulai dari makan ikan dan ikan pula yang terakhir lewat di tenggorokanmu. Seorang pemakan kepala ikan yang profesional tidak akan membutuhkan alat apa-apa, dan tidak akan mematahkan tulang atau duri apapun di kepala ikan. Tuhan telah menciptakan struktur kepala ikan sebegitu indah, sehingga di tangan seniman pemakan kepala ikan, tidak ada yang boleh patah selain satu saja: bagian otak. Pemakan kepala ikan yang berpengalaman akan memulai dari mata ikan, lalu bagian dalam, baru daging di tengkuk yang empuk dan gemuk itu, baru bibir ikan. Sruuut…. Dan terakhir, otak ikan.” Aku tidak peduli apakah Saleh mendengarkan uraikanku tentang itu semua atau tidak.
Kelak di kemudian hari, meja makan selalu penuh dengan ikan. berbagai jenis ikan dan berbagai ragam masakan ikan. Artinya sekalipun aku di pegunungan, suasana Makassar tetap ada.
Hal lain selain makanan tentu saja adalah tempat tinggal. Rumah yang kutempati tergolong luas dan bersih. Hampir seluruh rumah terbuat dari kayu, mulai dari dinding sampai lantai. Aku sempat bertanya ke Pak Burhan, kayu apakah yang menjadi bahan rumahnya? Ia menjawab, itu semua kayu Mangga Monyet. Aku tidak tahu jenis tanaman itu. Kalau jambu monyet, aku tahu.
Tapi yang mengagetkanku ketika Pak Burhan bercerita bahwa rumahnya yang cukup besar itu hanya membutuhkan dua pohon mangga monyet. Dua pohon, untuk rumah sebesar ini? Sebesar apakah pohonnya, Pak? Tidak cukup selingkaran tangan manusia dewasa untuk masing-masing pohon, jawab Pak Burhan.
Rumah panggung ini kira-kira tinggi lantainya dari tanah berkisar dua meter lebih. Kokoh. Lalu ada tangga-tangga mungil yang akan membawa ke sebuah teras yang asri dan jembar. Ada bunga-bunga cantik menghias di teras itu, serta tiga kursi kayu. Ruang tamunya sangat sederhana tapi elegan. Dengan luas kira-kira tiga kali enam meter dan hanya diisi seperangkat kursi dan meja, membuat ruang tamu terasa lapang dan nyaman. Di dua pojok kamar tamu, ada pot besar berisi tanaman bunga. Sayang, yang satu pohonnya mati, mungkin kurang kena sinar matahari.
Kamarku di bagian paling depan, tepat di sebelah ruang tamu. Ukurannya tidak seberapa luas, mungkin tidak sampai tiga kali tiga meter. Ada satu dipan penuh dengan bantal dan guling. Kuhitung, total ada tiga bantal dan tiga guling. Bagaimana aku harus memberi perhatian dan keadilan bagi benda-benda itu? Pasti yang kubutuhkan hanya satu bantal dan satu guling. Di dalam kamar itu juga ada sebuah kursi dan meja kecil. Di atas dipan terlipat sebuah sajadah. Hm…
Di rumah itu setidaknya ada tiga kamar lagi. Sementara untuk menuju ruang makan, aku harus berjalan melewati ruang tamu, masuk ke ruang keluarga, lalu turun sampailah ke dapur, dan di balik dapur itu terdapat ruang makan yang sekaligus gudang untuk menyimpan hasil panen. Karung-karung kacang menggunung, juga karung-karung beras.
Dari Pak Burhan aku tahu bahwa hampir semua penduduk Tompo Bulu bermatapencarian sebagai petani. Beras yang menggunung itu tidak dijual tapi untuk persediaan makan bagi keluarga masing-masing. Kalaupun toh dijual, paling ketika tandonan hasil panen tahun kemarin masih melimpah, sementara panen padi hampir tiba lagi.
Hampir semua petani di Tompo Bulu mengandalkan panen kacang tanah untuk memenuhi keperluan mereka. Selain itu, mereka juga mengandalkan kemiri dan sebagian lagi mengandalkan gula merah.
Nasi yang kumakan enak sekali. Pulen, kata Orang Jawa, dan wangi. Kata Pak Burhan, itu ada hubungannya dengan air dan tanah di Tompo Bulu. Padi adalah tanaman pertama yang mereka tanam ketika hujan turun. Air yang dipakai untuk mengairi persawahan di Tompo Bulu berasal dari hutan yang kaya akan humus. Apalagi, tanah setelah kemarau adalah tanah matang, tanah yang siap mengawal dan membuat bunting bulir-bulir padi. Kerjasama alamiah yang memikat antara tanah matang dipanggang matahari dan air dari hutan yang kaya humus membuat padi dari Tompo Bulu terkenal enaknya. Percintaan klasik antara Ibu Tanah yang telah melewati kurun-kurun panas dan kering dengan Bapak Air yang telah melakukan perjalanan jauh, menghasilkan bulir-bulir padi di Tompo Bulu begitu bernas.
Setiap keluarga pasti mempunyai cerita sedihnya. Juga keluarga Pak Burhan. Anak pertama mereka, seorang perempuan, bau kelas empat sekolah dasar, meninggal dunia kira-kira dua tahun yang lalu karena digigit anjing gila.
Satu hal lagi kemudian melekat kuat di pikiranku, anjing gila.
Senja itu, di hari pertama, setelah menyimpan tas di kamar, aku pamit ke Pak Burhan untuk salat magrib di masjid. Karena hari mendung, Pak Burhan meminta aku memakai payung. Payung dengan gambar beringin, berwarna kuning, simbol Partai Golkar tergenggam erat di tangan. Di tengah jalan, aku bertemu Aan dan Jimpe. Kami bertiga lalu berangkat bersama ke masjid.
Karena masih azan, kami tenang-tenang saja. Ketika gerimis mulai turun, kami masih tenang-tenang saja. Tapi ternyata di Tompo Bulu, begitu azan selesai dikumandangkan, ikomah segera diserukan, jeda antara dua hal itu hanya sebentar, hanya beberapa detik. Begitu ikomah terdengar, hujan pun turun dengan deras. Cuaca begitu gelap. Kami bertiga segera berlari ke masjid. Tapi kami belum mengambil air wudu. Akhirnya kami sibuk mencari tempat air, dan ketika ketemu, prosesi salat jamaah sudah hampir usai. Akhirnya kami berteduh di depan balai desa yang kebetulan dekat dengan masjid. Alangkah kagetnya kami, ketika di sana sudah nangkring sebuah mobil dan di gapura kecil itu ada dua teman dari Makassar. Rupanya mereka berdua baru saja mengantar Pak Roem. O, Pak Roem sudah tiba rupanya. Tapi mereka berdua tidak tahu di mana saja teman-teman panitia bertempat tinggal. Akhirnya mereka memutuskan mencegat orang yang ke masjid, pasti ada orang yang ke masjid, entah peserta entah panitia. Tuhan mengirim kami bertiga.
Akhirnya Aan dan kedua teman yang dari Makassar naik mobil, menuju rumah yang ditinggalinya. Sedangkan aku dan Jimpe menyusul jalan kaki. Baru beberapa menit tiba di rumah bapak angkat Aan, Pak Burhan menyusulku untuk diajak makan malam.
Di tengah perjalanan, dalam deras hujan, Pak Burhan bertanya, “Kenapa tidak jadi salat, Dik?”
Aku langsung gelagepan.
***
Dalam bahasa Bugis, Tompo berarti ‘di atas’ dan Bulu berarti ‘gunung’. Jadi kira-kira arti Tompo Bulu adalah daerah-di-atas-gunung. Di hari kedua, usai mengikuti sesi pelatihan, aku dan beberapa teman pergi ke kuburan.
Sebagian teman dari Ininnawa (ini juga berasal dari bahasa Bugis yang artinya ‘niat baik’), ingin melihat pohon yang mereka tanam. Di Tompo Bulu memang ada sebuah kebiasaan, bagi tamu yang datang di desa tersebut dipersilakan untuk menanam pohon. Orang-orang yang ingin melihat pohon yang pernah mereka tanam memang baru saja menyelesaikan sebuah acara di Tompo Bulu beberapa bulan yang lewat. Tapi sebagian yang lain berniat ke kuburan untuk mencari sinyal. Telepon genggam di daerah ini memang macet total. Hanya di titik-titik tertentu saja sinyal dapat dijaring. Itu pun kadang dapat, kadang tidak. Salah satu titik yang sering dipakai untuk mencari sinyal adalah di sekitar kuburan. “Makanya, kalau beli pulsa sekalian beli sinyal, dong…” seloroh seorang panitia, mengulang guyon lawas.
Hampir semua orang yang berdatangan di kuburan segera mengacung-acungkan telepon genggam mereka, seperti berharap ada sinyal yang menyambar benda-benda mungil itu. Setelah beberapa saat, ada juga yang tersambar. Pesan-pesan pendek diterima. Tapi lebih banyak yang kecewa. Yang menerima pesan pun masih bermasalah, karena sinyal tidak diterima lagi ketika pesan balik akan dikirim. Di sini, pesan tak selalu bertepuk dengan dua tangan.
Aku sendiri langsung putus asa setelah hampir limabelas menit mengacung-acungkan telepon genggam. Akhirnya aku meletakkan telepon genggam di atas payung, dan payung kuning bergambar pohon beringin itu kuacungkan. Tapi sia-sia.
Fitri, salah satu peserta dari jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, mendapatkan sinyal. Tapi ia kehabisan pulsa. Nah, ini saatnya bersimbiosis mutualisme. Aku menawarkan dia mengganti dengan kartu telepon genggamku. Di memperbolehkan. Akhirnya ia memasang kartuku di telepon genggamnya. Satu pesan pendek masuk. Dan sial, di sana tidak tertera nama si pengirim. Setelah itu, sinyal lenyap lagi. Aku lalu menawari Fitri, kalau si sinyal datang lagi, ia boleh memakai pulsaku untuk mengirim pesan ke ibunya agar dikirim pulsa. Dan kemudian aku meninggalkan gerombolan pencari pulsa beralih melihat-lihat pemandangan sekeliling.
Ketika aku hari hampir malam, aku mendatangi orang-orang yang masih sibuk menjaring pulsa dari langit. Tiba-tiba Fitri dan Atika tertawa ngakak. Kami semua penasaran dengan apa yang ditertawakan mereka. Ternyata Fitri berlaku konyol, ia mengirim pesan ke ibunya dengan memakai nomorku, meminta agar si ibu mengirim pulsa. Tapi ia terus memasang nomorku dan menunggu-nunggu, jika sinyal datang, berharap pulsa kiriman bisa masuk. Mana mungkin? Kalau pun toh masuk tentu di nomornya, bukan di nomorku. Pulsa adalah jenis ciptaan manusia yang beralamat rinci, Fitri…
Senja itu senja yang penuh adegan konyol, memang. Dan bukti betapa manusia modern telah berjalan terlalu jauh dan tak siaga. Padahal tanpa sinyal, seharusnya senja yang gerimis itu begitu memikat.
Karena khawatir kehilangan magrib lagi, aku segera pergi dari tempat itu. Aku sempat menoleh ke arah selatan. Jajaran bebukitan terjal menghampar. Batu Putih. Benar-benar berwarna putih. Kalau diperhatikan betul, seperti ada wajah manusia yang terukir di bebatuan besar yang tertempel di bukit itu. “Dari Batu Putih itu, seluruh desa Tompo Bulu terlihat indah. Dan di sana ada sinyal telepon genggam,” seorang panitia memastikan padanganku.
Aku hanya tersenyum. Sebetulnya yang menjadi perhatianku justru di tanah menjulang yang agak jauh, sebagian puncaknya tertutup kabut tebal. Bulu Saraung, namanya. Sudah disebut sebagai gunung, bukan lagi bukit. Saat itu, aku tidak menyimpan perasaan apa-apa terhadap gunung yang menjadi kawasan hutan lindung itu.
***
Hampir setiap hari, Tompo Bulu digulung hujan deras. Balai desa tempat digelarnya pelatihan adalah ruangan setengah terbuka. Sehingga kalau hujan terlalu deras, tempias air hujan sering menerjang masuk. Saat kami datang, kepala desa Tompo Bulu sedang berada di Makassar mengikuti sebuah pertemuan. Dan dari kabar yang kudengar, sebentar lagi ia akan diundang oleh menteri kehutanan di Bogor untuk sebuah acara yang berhubungan dengan hutan lindung.
Di hari kedua, barulah aku bertemu muka dengan bapak kepala desa. Kesan pertama, ia ramah dan agak kocak. Tapi setelah itu, perhatianku terus tertuju pada proses-proses yang terjadi di pelatihan. Aku kebagian sesi pertama, setengah hari, bicara khusus tentang peta perjalanan karya di dalam menapaki takdirnya. Poinnya adalah sebuah karya akan memasuki sebuah gelanggang yang sudah bukan lagi semata-mata berurusan dengan dirinya sendiri. Ia, karya itu, memasuki sebuah proses politiknya, diproduksi dan dikonsumsi. Setelah itu aku luang. Saleh akan mengisi tentang analisa sosial, Fitri Andyaswuri akan mengisi tentang analisa sosial dengan memakai perspektif jender, lalu dilanjutkan oleh Roem Topatimasang yang akan melanjutkan analisa sosial dan etnografi. Tiga hari terakhir aku akan masuk lagi, mengampu seluk-beluk dunia ketrampilan menulis.
Kopi yang kubutuhkan terus hadir. Di sela-sela proses itu, aku menyunting cerita-cerita pendek yang harus kuserahkan ke sebuah rumah penerbit begitu sampai di Yogya.
Dari balai desa yang tidak begitu besar dan setengah terbuka itu, masjid desa Tompo Bulu dapat dilihat dengan jelas. Bangunan itu jelas merupakan bangunan termegah di desa ini. Menjulang, kokoh, namun baru separo jadi. Dari balai desa hanya dibatasi jalanan desa dengan arah agak sorong ke kiri. Di balik masjid itu, menjulang bukit yang tertempel Batu Putih. Sungguh sangat eksotik.
Masyarakat di sini sangat religius. Hal itu bisa terlihat bagaimana masjid itu menjadi tempat sosial yang penting. Masjid bukan hanya dipakai untuk melakukan ritual keagamaan, melainkan juga untuk pertemuan-pertemuan banyak hal, termasuk untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pertanian.
Setidaknya dua kali dalam sehari, kegiatan pelatihan harus bertenggang dengan aktivitas dari masjid. Sebelum Salat Duhur, corong masjid sudah terdengar nyaring, mengumandangkan ayat-ayat suci. Demikian juga saat akan Salat Asar.
Sayang sekali, ketika kami datang di tempat ini, kami kehilangan beberapa peristiwa yang menarik. Biasanya pada hari Senin pagi, warga desa berkumpul di jalanan. Di tangan-tangan mereka tergenggam parang dan tombak. Di hari itu adalah jadual mereka berburu babi hutan. Bersama anjing-anjing yang mereka pelihara, para penduduk akan masuk ke wilayah hutan, mengejar dan menangkap babi hutan yang sering mengganggu tanah pertanian mereka. Babi hutan yang tertangkap dibunuh, lalu dagingnya diberikan begitu saja ke kawanan anjing. Ajaran agama mereka melarang mereka makan babi hutan.
“Kalau di kampung saya, babi hutan ditukar dengan batu baterei,” kata Karno, seorang panitia yang berasal dari Polmas. Kami semua yang mendengar kalimatnya berusaha menangkap apa yang ia maksud. “Iya, soalnya, babi hutan kan haram, dagingnya tidak boleh dimakan. Kalau dijual, lalu uangnya dipakai untuk beli makanan, berarti juga haram. Nah, solusinya ya ditukar dengan batu baterei, soalnya batu baterei kan tidak dimakan…”
Tapi kegiatan berburu babi hutan itu untuk sementara dihentikan. Mungkin karena saat itu tidak ada lagi tanaman di ladang.
Hal lain yang menarik tapi belum berlangsung adalah acara menjelang menanam padi. Di saat itu, para petani berkumpul di masjid dengan memakai pakaian adat. Dan masih banyak lagi kegiatan sosial yang kebetulan sekali saat kami berada di tempat itu sedang tidak saatnya berlangsung.
Pada malam hari, kegiatan pelatihan nyaris berhenti total. Tapi itu hanya berlangsung selama tiga malam. Malam keempat, beberapa peserta meminta agar ada pertemuan di balai desa lagi. Panitia mengiyakan. Tampaknya panitia maklum bahwa para peserta butuh pertemuan yang lebih cair sehingga bisa menghilangkan kejenuhan dan rasa suntuk harus menghabiskan malam-malam di rumah-tinggal-sementara masing-masing.
Ternyata apa yang dibayangkan oleh panitia benar adanya. Begitu ada kesempatan berkumpul di malam hari, keluarlah segala macam cerita-cerita hiburan. Para peserta, panitia dan pemandu latihan berbaur. Kami semua melakukan apa saja yang menyenangkan, mulai dari bermain tebak-tebakan, berkisah tentang hal-hal yang lucu, sampai nonton film bersama.
Karno dan Saleh adalah dua orang yang tandonan cerita lucu mereka sedang banyak-banyaknya. Maklum saja, mereka baru datang dari Papua, sebuah wilayah yang mempunyai tradisi bercerita kocak.
“Suatu saat di dalam gedung bioskop diputarlah film Rambo. Ketika cerita sedang tegang-tegangnya, saat Rambo sedang bersembunyi di sebuah gerumbul karena dikejar musuh-musuhnya, seorang penonton maju ke depan. Ia menghadapi semua penonton dan berkata dengan nyaring, ‘Siapa yang berani bilang di mana Rambo bersembunyi, akan dapat ini!’ sambil berkata begitu, ia mengacungkan kepalan tangannya.”
Kontan kami tertawa mendengar cerita itu. Banyak yang lucu, bahkan lucu sekali. Tapi banyak yang bercerita dengan garing. Salah satunya adalah Dedi. Sehingga ketika ia mau bercerita lagi, banyak mulut langsung menanggapi, “Awas kau kalau tidak lucu!”
***
Jimpe dari rumah penerbitan Ininnawa bertanya kepadaku, perlu tidak para peserta diminta untuk menulis sebuah cerita pendek sebagai hasil sampingan dari pelatihan kali ini? Tanpa berpikir panjang aku menjawab perlu. Setahun yang lalu, saat memandu acara serupa yang diadakan di Puntondo, para peserta juga diminta untuk membuat sebuah cerita pendek. Hasil karya peserta lalu dikumpulkan sehingga terbitlah sebuah buku kecil yang manis, Setapak Salirang. Hanya bedanya, kalau dulu seluruh cerita selesai digarap begitu pelatihan usai, kali ini peserta diberi kesempatan mengerjakan ketika pelatihan ini usai.
Hasil pembicaraan ini disampaikan kepada Anna selaku penanggungjawab pelatihan ini. Ia juga memberi tanggapan positif. Akhirnya, disepakati di setengah hari menjelang pelatihan ini berakhir, akan ada pendalaman materi tentang masalah-masalah perempuan yang akan dipandu oleh Fitri Andyaswuri.
Itu artinya, aku bebas di setengah hari itu. Segera pikiranku melayang. Harus ada kenang-kenangan yang menakik di tempat ini, di Tompo Bulu, sebuah desa kecil di lereng Bulu Saraung. Tidak jauh memang jaraknya dari Makassar, hanya sekitar enampuluh lima kilometer, berada di wilayah kabupaten Pangkep dan dalam wilayah kecamatan Balocci. Tapi karena keterjalan jalannya, tempat ini seperti terlipat di dalam peta. Apa, ya… yang melintas di kepalaku saat itu adalah Batu Putih! Aku mungkin perlu ke sana.
Tapi dari informasi yang kudapat, jalan menuju Batu Putih tidak begitu menantang. Hanya butuh waktu setengah jam untuk mencapai tempat itu, dan hanya ada satu tanjakan terjal saja untuk menggapai wilayah tertinggi. Aku merenung. Hm… Eh, tapi kenapa tidak sekalian naik ke puncak Bulu Saraung saja?
Bulu, dalam bahasa Bugis berarti gunung atau bukit. Dan saraung, sebagian penduduk bilang artinya kerudung, tapi sebagian lagi bilang artinya akal. Namun aku menangkap maknanya, kira-kira berhubungan dengan kepala. Bukankah baik kerudung dan akal itu terletak di kepala?
Aku segera menghubungi Ancu. Ia panitia yang belakangan menyusul. Dulu, Ancu juga peserta pelatihan menulis di Puntondo, sama seperti Dedi. Ancu langsung tancap gas, “Ya, kita naik ke Bulu Saraung!”
Ternyata pembicaraan kami berdua bocor di mana-mana. Hasilnya, peserta yang sebagian di antara mereka adalah anggota pencinta alam pun ingin ikut. Panitia bingung. Aku merasa bersalah. Akhirnya dicapai kesepakatan, para peserta, pemandu dan panitia akan naik ke Batu Putih begitu sesi pendalaman materi tentang perempuan usai. Untuk sementara, Bulu Saraung disembunyikan. Aku sudah terlanjur ingin ke sana. Dan aku tahu kalau aku sudah menginginkan sesuatu maka…
Tengah hari di hari terakhir, aku benar-benar sudah bebas. Ancu sudah siap. Karno sudah bersemangat. Kami bertiga akan naik ke Bulu Saraung. Lalu aku teringat bahwa ada kemungkinan hari hujan. Segera aku meminjam jas hujan seorang peserta.
Tahu kalau kami bertiga akan naik, Aan, Jimpe, Ijek dan Dedi ikut serta. Seorang pemuda dari Tompo Bulu bersedia mengatar kami. Ahmad namanya. Tujuh orang berangkat. Hari hampir pukul 2 siang, waktu tompo Bulu.
***
Aku memang ingin lelah, dalam arti menguras tenaga fisik. Hal itulah yang paling kusukai dari olahraga. Sekali dalam seminggu aku bermain bulutangkis, dan minimal dua kali dalam seminggu aku berlatih yoga. Kalau dalam yoga aku menyatukan pikiran, hati dengan kelenturan dan keseimbangan tubuh, maka yang paling kusukai dari jenis olahraga seperti bulutangkis adalah menguras tenaga dan keringat. Titik yang paling kutunggu dalam bermain bulutangkis adalah ketika ‘tenaga pertama’ hampir habis. Melewati batas tenaga pertama inilah yang biasanya cukup berat. Ketika napas tersengal, otot-otot mulai goyah, dan setiap gerak menjadi begitu berat. Inilah pertempuran yang sesungguhnya antara jiwa dan tubuh. Kalau batas ini sudah terlampaui, maka yang ada tinggal gerak yang ringan. Napas dan otot-otot sudah menyesuaikan diri dengan kemungkinan-kemungkinan gerak. Tapi batas ini tidak mudah dialui. Seringkali tenaga pertama dianggap batas akhir kemampuan tubuh. Padahal menurutku tidak. Sebab menurut pengalamanku, begitu batas ini bisa dilalui maka semuanya akan menjadi lebih baik. Pengalaman ini kudapat dari Kang Eko, beberapa tahun yang lalu, ketika ia dan teman-temannya mengajakku untuk mendaki Merapi.
Saat itu kemampuan fisikku jelas jauh sekali dibandingkan sekarang ini. Dulu, tidak ada aktivitas olahraga yang kulakukan, dan bobot tubuhku di atas 73 kilogram. Sementara gunung yang akan kudaki adalah gunung yang terkenal dengan keterjalannya serta lebih dulu menaklukkan pendaki dari sisi lain, mental.
Di awal pendakian, aku hampir saja menyerah. Tapi Kang Eko terus memberiku semangat, mulai dari mengajariku mengatur langkah dan napas, sampai memberiku motivasi-motivasi. Salah satu kalimatnya yang paling kuingat adalah berkaitan dengan melewati kelelahan. “Kalau tubuh sudah mulai berat, capai, hadapi terus, jalan terus, sampai batas itu semakin dekat, semakin berat, sampai hampir tidak kuat. Tapi harus dilewati, begitu lewat, tubuh terasa ringan.” begitu kira-kira yang dikatakannya.
Dan aku melakukan apa yang dikatakannya. Berjalan terus, mendaki terus, sampai pada tapal batas ketidakmampuan, dan benar adanya, begitu batas itu terlewati, tubuh telah ‘sampai’ pada iramanya yang lain. Semua menjadi lebih baik.
Itu dulu. Banyak hal yang membedakanku dengan sekarang. Dulu tubuhku gemuk dan tidak pernah berolahraga. Dulu aku diterjang serangan mental yang lebih garang dari sekarang, Merapi bukan hanya mengancam orang dari kewingitan tempatnya, tapi juga dari api yang meleleh, dari batu-batu besar yang jika gempa sedikit saja terjadi akan merontokkan nyali banyak orang, dan masih banyak lagi. Tapi sesunguhnya masalah yang paling penting dalam hal-hal seperti itu adalah masalah motivasi yang harus kubangun dari dalam hatiku sendiri. Dulu, aku kemudian membangun janji yang jika aku tidak bisa menggapai puncak Merapi maka aku akan… Maka sekarang, hal pertama yang akan kulakukan sebelum aku naik ke Bulu Saraung adalah menata lagi batu-batu motivasi dalam diriku. Kalau aku tidak dapat mendaki Bulu Saraung maka aku akan…
Ketika Pos 1 terlampui, aku agak heran. Rasanya belum ada pendakian, tapi kenapa sudah ada Pos 1? Hatiku terasa agak tenteram. Tapi dengan segera aku menyingkirkan pikiran yang mulai nyaman itu. Bukankah lebih baik bersiaga atas hal yang paling buruk daripada berpikir atas hal yang enak dalam hal seperti ini?
Ternyata benar yang kupikir. Begitu Pos 1 lewat, tanjakan-tanjakan terjal segera kuhadapi. Saat itu, cuaca sangat panas. Aan, Dedi, Ancu, Karno melesat terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Jimpe. Aku di belakang Jimpe jauh, dan di belakangku ada Ijek serta Ahmad, pemandu kami.
Baru tiga tanjakan terjal kulalui, masalah yang berkaitan dengan tenaga pertama sudah mengancamku. Dadaku sesak. Napas sudah keluar-masuk lewat mulut. Mataku berkunang-kunang, dan otot-otot mulai goyah. Lalu aku berhenti sejenak dengan cara berdiri. Ini jelas belum apa-apa. Perjalanan baru saja dimulai. Lalu dengan pelan aku meneruskan perjalanan.
Di pikiranku saat itu hanya teringat dua pendaki lain, Aan dan Jimpe. Dua temanku ini dalam keadaan sakit. Tapi aku berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran buruk. Aku terus berjalan, mendaki, pelan tapi pasti.
Jalur pendakian semakin terjal. Berkali-kali aku berhenti. Jimpe sudah kulewati. Ijek tertinggal jauh di belakang. Di belakangku persis ada Ahmad. Tubuhku rasanya semakin berat saja. Batas tenaga yang kumaksud tidak kunjung kulalui. Saat itu, aku berpikir untuk berhenti dan turun. Mumpung belum jauh. Dan aku teringat pepatah kuno dari seorang pejalan, “Semakin jauh kamu melangkah, semakin jauh jarak untuk kembali.”
Aku berhenti. Aku melihat Ahmad. Ia tersenyum. “Kak, masih jauh…”
Aduh, Ahmad… Kenapa kamu harus bilang seperti itu? Lalu aku teringat Kang Eko. Kalau aku dulu berhenti, Kang Eko selalu bilang, “Itu sudah dekat, sebentar lagi sampai.” Jelas Kang Eko berbohong. Tapi itu cara yang baik untuk membuat seorang yang kelelahan agar terus berjalan. Tapi aku segera menyadari, Ahmad bukan Kang Eko. Ahmad orang daerah sini, dan ia berusaha mengatakan dengan jujur.
Lawanlah api dengan api. Aku teringat kalimat itu. Lalu aku mengingat saat-saat sulit yang kuhadapi terutama yang berkaitan dengan ancaman-ancaman fisik. Saat aku mendaki Merapi, saat perahu yang kutumpangi mati mesin di tengah laut selama enam jam dan hujan deras mengguyur, perahu oleng oleh ombak yang semakin membesar. Saat aku… Semua yang sulit kuingat, semua api kupercikkan untuk melawan api sekarang ini. Aku kembali berjalan.
Pos 2 terlewati. Pos 3 kulalui. ‘Tenaga pertama’ yang kumaksud akhirnya selesai kuhadapi. Kini tubuhku terasa ringan. Langkahku terasa lebih nyaman. Kalau pun toh aku beristirahat, itu hanya sebentar, beberapa detik, dan tetap dalam keadaan berdiri.
Ijek dan Jimpe masih di belakang, jauh, tidak terlihat. Sementara Aan, Ancu, Dedi dan Karno juga di depan jauh, tidak terlihat. Aku berhenti lagi. Di depanku tanjakan yang curam dan licin. Tiba-tiba Ahmad memberiku sebatang ranting, “Kak, pakai ini…”
Aku menerima ranting muda itu. Kecil tapi kokoh. Aku mengucapkan terimakasih, dan meneruskan pendakian.
Ada satu hal yang agak kusesali, aku hanya membawa bekal minuman sebotol kecil berisi 600 ml. Kenapa aku bodoh sekali? Seharusnya aku membawa bekal minuman paling tidak 1.5 liter untuk pendakian ini. Tapi aku terus melangkah. Menyingkirkan jauh-jauh pikiran yang menganggu itu. Begitu sampai di Pos 4, aku berhenti. Membagi minuman dengan Ahmad, dan berkata, “Kak, bagaimana dengan Jimpe dan Ijek yang di belakang?”
Ahmad lalu memberikan solusi. Ia menyuruhku menunggu, sementara itu ia akan turun lagi, memeriksa kondisi Ijek dan Jimpe. Aku mengiyakan. Tapi kemudian Ahmad bilang, “Tapi kalau terlalu lama, Kakak jalan saja pelan-pelan.”
Aku mengangguk. Lalu kulihat Ahmad berbalik, menuruni lagi jalanan terjal dan licin. Aku melihatnya sampai punggung pemuda yang mungkin berusia duapuluhan tahun itu lenyap ditelan gerumbul dan kelokan.
Kini hanya ada aku. Sendirian.
***
Setelah menunggu kurang-lebih lima menit, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan pelan. Kini aku diuntungkan banyak hal. Pertama, ‘tenaga pertama’ yang aku tunggu-tunggu sudah selesai kulewati. Aku sudah menemukan irama terbaik di diriku sendiri untuk mendaki Bulu Saraung. Kedua, dari Pos 4 ke Pos 5 terdapat banyak ‘bonus’, sebuah istilah untuk jalanan yang tidak begitu terjal. Ketiga, aku sendirian. Dengan berjalan sendiri, aku tidak perlu terprovokasi oleh langkah cepat teman-teman yang lain, tidak perlu ‘berlomba’ untuk menyesuaikan dengan kemampuan yang lain.
Aku bukan pendaki gunung. Jelas kemampuanku berbeda dengan para pendaki gunung atau setidaknya orang-orang yang suka mendaki gunung. Dulu, iseng-iseng aku bergabung dengan organisasi pencinta alam Purpala, Pura-pura Pencinta Alam. Sekalipun namanya Purpala, sebagian besar anggotanya justru para pendaki tangguh. Sebut saja Albi, Gegen, Gimbal, Kang Eko dan masih banyak lagi yang lain. Konon kabarnya mengapa mereka memberi nama kelompok ini dengan nama Purpala karena banyak orang yang mengaku sebagai pencinta alam yang berbuat seenaknya ketika mendaki gunung, seperti misalnya membuang sampah atau membuang puntung rokok yang membahayakan. Nama kelompok ini menyodorkan sebuah ironi sekaligus sindiran.
Seingatku hanya ada tiga orang yang benar-benar bukan pendaki gunung yaitu aku, Hendro dan Johan. Tapi aku tetap bisa berkelakar tentang penamaan ‘pencinta alam’. Bukankah pencinta alam adalah orang yang mencintai alam? Tidak harus menjadi pendaki gunung untuk mendaku sebagai pencinta alam. Mencintai laut, mencintai tanaman, juga termasuk mencintai alam, bukan?
Tiba-tiba tengkukku merasa sangat dingin. Ada apakah? Aku mengedarkan pandangan. Dan dalam jarak kira-kira sepuluh meter dari tempatku melangkah, seekor anjing terdiam menatapku. Segera aku teringat akan cerita puteri Pak Burhan yang meninggal dunia karena digigit anjing. Detik itu, dadaku bertalu keras.
Aku memelankan langkahku sambil berpikir keras. Ranting yang ada di tanganku tergenggam keras. Anjing itu tidak menyalak. Ia hanya diam. Dan justru karena itu, perasaanku semakin tidak menentu. Anjing yang menggonggong tidak akan menggigit. Begitu kata sebuah pepatah. Kalimat itu benar dalam dua hal. Pertama, karena bagaimana mungkin seekor anjing menggigit kalau ia sedang menyalak? Dan benar pula karena aku pernah membaca artikel perihal tingkah anjing. Anjing yang menggonggong hanya seperti orang yang menggertak.
Saat aku kecil, aku takut dengan anjing. Lalu bapakku mengajariku berdoa dengan kalimat pembuka ‘Ummum-summum-bukmun…” Tapi doa itu kadang benar-benar bisa membungkam anjing dan menghindar dariku, dan kadang juga tidak. Setelah itu bapakku mengajariku agar duduk dan pura-pura mengambil sesuatu, anjing yang mengancamku pasti berlari.
Ajaran kedua bapakku itu nampaknya tepat. Kalau aku berdoa dan seekor anjing masih mengejarku, maka aku akan tiba-tiba jongkok dan pura-pura mengambil batu. Si anjing pasti berlari.
Namun kemudian aku pernah ketanggor peristiwa yang berbeda. Saat itu, ada lima ekor anjing yang menyerbuku. Aku sudah berdoa. Kelima anjing itu masih menyerbu. Aku lalu jongkok. Kelima anjing itu berhenti sejenak. Aku pura-pura mengambil batu dan melemparkan ke arah mereka, kelima anjing itu hanya sedikit terkejut, lalu kembali menyerbuku. Akhirnya aku melompat ke sebuah pagar yang sangat tinggi dan aku selamat. Namun peristiwa tersebut membuatku berpikir bahwa dua hal yang diajarkan bapakku tidak cukup menghadapi peristiwa yang berhubungan dengan anjing.
Mendengar cerita tersebut begitu sampai rumah, bapakku tersenyum. Lalu ia bilang, “Kalau sudah seperti itu, ambil batu beneran atau ambil kayu. Terpaksa kamu harus berkelahi dengan anjing. Masak kamu kalah…”
Kalimat itu menjadi rumus terakhirku dalam menghadapi anjing. Dan itu sangat bermanfaat. Setidaknya, setelah itu aku dipercaya teman-temanku sebagai anak yang paling tidak takut anjing. Pernah satu saat aku dan dua temanku dikejar anjing. Aku ambil batu, aku lempar tepat di kepalanya. Anjing yang cukup besar ukurannya bagiku dan teman-temanku saat itu, langsung terkaing-kaing dan pergi, diikuti kedua anjing yang lain.
Waktu di Bali, aku mengalami hal serupa, bahkan jauh lebih mengerikan. Suatu malam, aku dan seorang teman harus melewati sebuah hamparan persawahan yang sangat luas. Anjing menyalak di mana-mana. Dan dalam waktu sekejap saja, belasan anjing mengepung kami. Aku benar-benar gentar. Tidak pernah seumur hidupku, aku disalaki dan dikepung oleh belasan anjing, tengah malam, dan jauh dari rumah penduduk.
Hanya satu saja yang kupikir saat itu, aku masuk ke satu tegalan, mematahkan dua batang ketela, satu kucengkeram di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Dalam gentar hati, hanya ada satu hal yang kupikir saat itu, kalau aku harus digigit belasan anjing ini, satu atau dua anjing harus mati.
Lalu sambil berjalan aku hantam setiap anjing yang berusaha mendekatiku dan temanku. Anjing-anjing itu terus mengerumuni kami. Kalau kuhantamkan batang kayu ke arah mereka, mereka lalu lari sebentar kemudian datang lagi, lebih berani dan lebih keras bunyi gonggongan mereka. Aku mendapatkan akal. Satu batang kayu yang kupegang di tangan kiri kuberikan ke temanku, dan kemudian tangan kiriku mencari batu. Benar yang kupikir, saat satu anjing kena hantaman batu, ia terkaing dan jarak mereka dengan kami semakin menjauh. Tahu resep itu manjur, aku semakin percaya diri. Tangan kanan terus mengayun batang kayu, tangan kiri selalu siap mengambil batu dan melempar. Semakin banyak anjing yang terkena lemparan, mereka semakin menjauh. Lalu giliranku kini, aku yang mengejar mereka, dan mereka semakin menjauh.
Tapi kini yang kuhadapi adalah seekor anjing, pendiam tidak pernah menggonggong, dan kepalaku sudah dipenuhi cerita tentang putri Pak Burhan. Aku mencengkeram ranting kuat-kuat. Dadaku berdebar hebat. Delapan meter, lima meter, dua meter, dan kemudian aku melewatinya. Aku agak memiringkan kepalaku, siapa tahu ia menyerangku dari belakang. Tapi sampai belasan meter terlewat, anjing itu tetap diam. Akhirnya aku lega.
Aku hampir sampai di Pos 6 ketika Ahmad menyusulku di belakang. Ia tersenyum ramah seperti biasanya. Ketika aku bertanya di mana Ijek dan Jimpe, ia menjawab kalau mereka berdua masih di tempat pertama kali beristirahat. Mungkin mereka tidak jadi naik, batinku. Lalu kami berdua terus mendaki.
Bulu Saraung mempunyai 10 pos, masih ada empat pos lagi. Ketika hampir mendekati Pos 8, terdengar banyak suara. Itu pasti suara Dedi dan teman-teman yang lain. Dan benar, di pos itu mereka bersitirahat sambil menunggu kami. Akhirnya kami berhenti, minum, foto-foto dan merokok. Tak lama kemudian hujan turun deras. Akhirnya aku memakai jas hujan. Sementara mereka semua tidak membawa jas hujan. Wah… kenapa bisa mereka tidak membawa jas hujan? Bukankah mereka tahu kalau di sini musim penghujan? Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dalam deras hujan.
Kami berhenti lagi di Pos 9. Hujan semakin deras. Aku meminta botol minum Dedi yang telah kosong untuk kuisi air hujan yang mengalir di sela-sela bebatuan. Aku baru sadar kalau hanya aku yang membawa ransel. Ketika Aan sibuk melindungi kamera yang dibawanya, aku minta ia memasukkan ke ranselku, juga telepon genggam beberapa teman. Dan aku baru sadar juga ternyata teman-teman bukan hanya tidak membawa jas hujan, tapi juga bercelana pendek dan bersandal jepit. Kalau aku mendaki dengan teman-teman Purpala aku pasti sudah dimarahi. Bayangkan saja, aku hanya memakai sepatu sandal, membawa bekal minum pas-pasan. Albi, seorang pendaki yang paling berpengalaman pernah marah ketika ada teman lain mendaki gunung lupa membawa jas hujan. “Kita mau mendaki, bukan kemping!” serunya saat itu.
Baru kemudian aku tahu kebenaran kata-katanya. Ketika hujan deras turun, jalanan licin, mereka yang alatnya tidak memadai yang paling gampang terkena marabahaya. Aku hanya membawa satu celana panjang saat itu. Dan celanaku robek semua. Beruntunglah Kang Eko segera memberikan celana keringnya kepadaku. Celana itu pun akhirnya tidak berbentuk lagi, robek lagi, karena hujan deras, licin, sehingga aku terpeleset berkali-kali.
Teman-teman mulai menggigil. Bercelana pendek tanpa jas hujan, di hutan, di gunung, takdir yang pasti sifatnya: kedinginan. Perjalanan dilanjutkan.
Aku kembali tertinggal jauh. Di belakangku hanya ada Ahmad. Tapi begitu puncak Bulu Saraung sudah kelihatan, aku melihat Dedi dan teman-teman yang lain berlindung di balik dua batu besar. Mereka kedinginan. “Ayo, kita teruskan, kita harus ke puncak!” seruku kepada mereka dengan lagak menyemangati. Padahal aku tertinggal di belakang sendiri.
“Kami sudah ke puncak. Tinggal kamu dan Ancu yang belum. Di sana dingin sekali!” seseorang berseru melawan deras hujan.
Aku tidak percaya kata-kata itu. Aku terus berjalan melewati mereka yang sedang bertahan dalam kerkahan dingin. Aku harus ke puncak! Harus!
Hujan makin deras. Ahmad terus di belakangku. Ia yang orang sini pun menggigil kedinginan. Lalu disusul Ancu.
Akhirnya setelah berjuang keras, kakiku berhasil menjejak ke puncak Bulu Saraung. Ada perasaan lega luar biasa. Hujan mereda, tinggal gerimis. Tapi dingin terus menusuk. Tak lama kemudian Dedi, Karno, Aan, menyusul. Kami berfoto-foto, merokok, dan menikmati keindahan puncak Bulu Saraung. Hanya beberapa saat. Teman-teman sudah tidak tahan dingin. Mereka mungkin juga lapar. Kami tidak membawa bekal makanan. Dan yang lebih gila lagi, gelap sebentar lagi turun dan tidak ada seorang pun yang membawa senter!
Aan, Karno dan Dedi turun cepat. Di belakang mereka bertiga, aku, Ancu dan Ahmad. Jalan menurun yang seharusnya lebih gampang ternyata tetap berat karena hujan, licin, dingin, dan kehabisan energi tanpa asupan makanan.
Dalam waktu sekejap, Aan, Dedi dan Karno sudah hilang. Ancu menghibur dirinya sendiri sambil bilang, “Saya kan pencinta alam, mereka memang perambah hutan…”
Aku tertawa. Diam-diam aku teringat ironi orang mendaki gunung. Seorang teman berhari-hari berlatih fisik untuk naik Gunung Lawu. Tapi betapa tercengangnya dia ketika ia naik, terengah-engah, ada penduduk yang naik dengan banyak sekali membawa barang bawaan. Aku juga tersenyum sendiri saat mengikuti berkali-kali kisah mendaki gunung di teve. Mereka, para pendaki hanya membawa tas kecil, dan barang bawaan mereka yang berat-berat dibawa oleh penduduk setempat. Mendaki gunung seperti hidup itu sendiri, penuh ironi.
Hari sudah benar-benar gelap ketika aku, Ancu dan Ahmad sampai di Pos 4. Kami berjalan dalam gelap. Kami hanya mengandalkan sepasang mata Ahmad yang sudah terbiasa dengan tempat ini. Ancu terpeleset berkali-kali. Apalagi aku, sudah tak terhitung. Perjalanan begitu lambat.
Ketika kami hampir sampai di kampung, bulan baru muncul. Di pinggir kampung, Pak Burhan sudah menungguku. Wajahnya penuh dengan rasa khawatir. Bersamanya aku pulang setelah mengucapkan terimakasih berkali-kali kepada Ahmad.
Sambil menyusuri jalanan kampung, aku berseru di dalam hati, “Hari ini, aku telah mencapai puncak Bulu Saraung. Tapi bukan itu yang penting. Hal yang paling penting adalah, hari ini aku telah menaklukkan diriku sendiri.”
***
Pagi ini adalah pagi ketujuh aku bangun di Tompo Bulu dengan cara yang sama, rumah bergoyang karena ulah Awi yang sudah mulai bermain berlarian di dalam rumah. Aku masih bangun dengan cara ingin segera berlari keluar karena kusangka ada gempa susulan. Tapi pagi ini, rasa dongkol kepada Awi benar-benar sirna. Hanya tinggal satu perasaan saja, rasa sedih yang turun tipis. Pagi ini, tanggal 3 Desember 2006, aku akan meninggalkan Tompo Bulu.
Pagi ini, untuk kesekian kali, pastilah keluarga angkatku heran karena aku tidak Salat Subuh. Aku keluar kamar, di ruang tamu, asap kopi mengepul segar. Sementara cahaya telah terang di luar. Aku melihat Bu Burhan membersihkan tas punggungku yang kotor karena mendaki Bulu Saraung. Segera aku ingin mengambil tas itu, membersihkan sendiri. Tapi ia melarangku.
Tak lama kemudian, Pak Burhan mendudah kardus oleh-oleh keluarga ini untukku. Ibu dan Bapak Burhan tetap bersikeras agar aku membawa beras Tompo Bulu. Padahal di kardus itu sudah menumpuk banyak sekali panganan, termasuk kacang tanah yang sangat enak.
Aku tidak bisa menolak. Aku lalu bangkit pelan menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi.
Setelah semua urusan beres, aku diantar Ibu dan Bapak Burhan ke balai desa. Tidak lupa, Awi ikut bersama kami.
Di depan balai desa suasana sudah ramai. Masing-masing orang baik panitia, peserta dan pemandu pelatihan diantar masing-masing keluarga angkat mereka. Beberapa orang terlihat menangis. Haru bergelayutan di mana-mana, di muka, polah tubuh, dan kata-kata.
Awi terus menempelku. Ia sepertinya sedih. Berkali-kali aku mengusap kepala anak yang sering membuatku deg-degan itu. Ia tersenyum dengan cara kanak-kanak, giginya yang gigis membuat perasaanku tersedot habis.
Akhirnya kami pulang. Jalan terjal yang kami lalui tidak begitu menyita perhatianku. Aku sibuk mengabsen jenis masakan yang belum kucicipi selama di Makassar, ulu juku sudah, sokolo bagadang sudah, cakalang asap sudah, tinggal konro, palubasa, otak-otak dan coto yang belum. Sampai di Makassar nanti pasti lunas.
Aku teringat sesuatu. Kuraba-raba tas, dan kunyalakan telepon genggam. Satu, tiga, delapan, tiga belas, sembilan belas, pesan layanan singkat masuk. Aku hanya mendiamkan pesan-pesan itu. Sementaram lewat jendela mobil, mataku menatap ke puncak Bulu Saraung yang masih tetap diselimuti kabut. Di sana, aku pernah berdiri, dalam waktu yang tidak begitu lama…
Tiba-tiba ingatanku disentak oleh sesuatu, ranting dari Ahmad! Aku sudah berjanji dalam hati, ranting itu akan kubawa ke Makassar lalu kutanam di dekat Kafe Biblioholic, Ininnawa. Siapa tahu bisa tumbuh. Sehingga jika kelak aku ke Makasar lagi, ada yang menautkan dengan baik seluruh kenanganku lewat ranting itu. Tapi mobil sudah berjalan terlalu jauh, dan aku hanya bisa menyesali ingatanku yang cekak itu. Duh…
oOo
8 Desember 2006