Rasanya Kita Baru Kemarin Bertegur-sapa

Rasanya Kita Baru Kemarin Bertegur-sapa

Di hari pertama sekolah menengah, Dipo memasuki sekolah barunya, SMPN 9 Yogyaraya, salah satu sekolah favorit di negeri Odni. Saat memasuki sekolah barunya itu, Dipo terlihat sangat kebingungan. Dia tidak tau mana kelasnya itu dan teman teman yang baru masuk sekolah itu juga terlihat kebingungan. Lalu ada guru yang memberitahu para murid dimana kelas-kelas mereka. Kelas Dipo ternyata ada di kelas 7A terletak di Gedung Tengah. Di saat memasuki lorong kelas, dia berkenalan dengan seseorang. “Hai, aku Dipo, kamu kelas nya di mana?”

“Oh, hai Dipo, aku Tono, Aku kelas 7A.” Ini adalah awal dari kisah persahabatan antara Dipo dan Tono. “Berarti kita satu kelas dong, Tono” jawab Dipo. “Iya, kita sekelas”

Dipo dan Tono, semenjak hari pertama saja mereka sudah akrab sekali. Bahkan sampai guru pun mengira mereka dari sekolah yang sama, tetapi mereka mempunyai latar belakang yang berbeda. Dipo, anak tunggal dan anak dari seorang penulis terkenal di negeri Odni, berbeda dengan Tono, Tono seorang kakak dari 2 adik, dengan Orang Tua bekerja menjadi wirausahawan dan pegawai, sayangnya orang tua Tono kerja jauh, di negeri padang pasir, hidup Tono bersama 2 adiknya dan seorang kakek dan nenek. Usut punya usut ternyata Rumah Tono itu dekat dari rumah Dipo, siapa sangka. Jadi mereka pulang sekolah bersama, menggunakan transportasi umum berupa bus, lebih tepatnya Transraya. Sedikit tentang Tono dan Dipo. Mereka belajar bela diri, bedanya Dipo belajar Karate dan Tono belajar Pencak Silat. 

Hari hari di sekolah tak terasa cepatnya. Setiap istirahat, kerja kelompok, tempat duduk, pasti mereka berdua bersama terus. Bahkan sampai guru pun mengenal duo ini. Suatu hari, saat pulang sekolah, Dipo mengajak Tono ke tempat latihan Karate nya itu. Tono pun mengiyakan, lalu mereka ke tempat latihan Karate Dipo. Tono, walaupun dia latihan Pencak Silat, dia tetap menghormati. Setelah selesai latihan, Dipo mengajak Tono untuk makan. Paginya saat disekolah, Pak Eko, Walikelas nya Dipo dan Tono, mengungumkan akan ada unjuk bakat disekolahnya. Dipo dan Tono pun ingin mengikutinya. Lantas sepulang sekolah, mereka langsung daftar ke Ketua Osis. Setelah daftar mereka pun berlatih dan hari H pun datang. 

Lomba Unjuk Bakat pun dimulai, Dipo menampilkan seni beladiri Karata dan Tono menunjukan seni Pencak Silat. Singkat cerita, Dipo dan Tono memenangkan Lomba itu, yang membuat para kakak kelas nya iri. Beberapa minggu setelah lomba Unjuk Bakat, suasana sekolah berubah sedikit tegang. Ada kabar bahwa sekelompok siswa dari kelas 8 sering mengganggu anak-anak kelas 7, terutama saat di luar jam pelajaran. Mereka sering mengambil bekal, mengejek, bahkan mendorong adik kelas cuma buat lucu-lucuan.

Dipo dan Tono awalnya tidak terlalu memperhatikan, sampai suatu hari mereka menyaksikan sendiri kejadian itu di halte Transraya.

Seorang siswa kurus dari kelas mereka, namanya Miguel, sedang berdiri di pojok halte menunggu bus. Tiba-tiba, tiga anak kelas 8 mendekatinya.

“Heh, kamu tiap hari bawa nugget ya? Bagi lah, masa pelit amat sih” kata salah satu anak kelas 8 sambil menepuk pundak Miguel.

Miguel terlihat ketakutan. Dia kelihatan sedang menahan air matanya. 

Dipo yang melihat kejadian itu spontan berdiri dari bangku.

“Tono, kita harus bantuin,” bisiknya. 

Tono mengangguk, “Tapi pelan-pelan, jangan langsung marah, nanti malah rusuh”

 Mereka pun mendekat dengan tenang. Dipo berbicara duluan, “Maaf kak, itu temen kami. Kalau mau minta, bilang baik-baik dong. Nanti saya bisa buatin nugget yang lebih enak, kata mama saya sih begitu.”

Salah satu anak kelas 8 mendengus. “Kamu sok jago ya?”

Tono langsung maju satu langkah, suaranya tetap tenang tapi tegas. “Kami gak cari ribut. Tapi kalau ganggu adik kelas terus, kita akan lapor guru.

Anak-anak itu saling pandang, lalu pergi sambil mendengus kesal. Mungkin mereka tak menyangka dua anak kelas 7 berani bicara.

Setelah kejadian itu, banyak teman sekelas mulai menghormati Dipo dan Tono bukan karena keren atau jago bela diri, tapi karena mereka berani membela yang lemah.

Keesokan harinya, wali kelas 7A, Bu Tini, memanggil Dipo dan Tono ke ruang guru. Dipo sempat khawatir, tapi ternyata Bu Tini tersenyum bangga. 

“Saya dengar dari Pak Satpam tentang apa yang kalian lakukan kemarin. Saya bangga kalian tidak menggunakan kekerasan. Kalian bisa jadi teladan buat yang lain,” katanya.

Sejak itu, Dipo dan Tono semakin dihargai di sekolah. Mereka tidak pernah merasa jadi pahlawan, mereka hanya merasa itulah yang sahabat sejati lakukan—berani berdiri untuk kebaikan. Beberapa bulan kemudian, Tono mendapat kabar bahwa orang tuanya akan kembali ke Odni untuk menetap. Ia begitu senang, tapi di sisi lain merasa akan rindu suasana rumah kakek dan nenek yang penuh cerita. “Beneran Ton? Asyik, aku juga belum pernah kenalan ama orang tua mu!” 

“Iya nanti kamu boleh kenalan kok ama orang tuaku.”

Seminggu setelah insiden di halte Transraya, suasana sekolah mulai terasa tegang lagi. Kelompok anak kelas 8 yang sebelumnya ditegur oleh Dipo dan Tono tampaknya menuntut balas dendam. Mereka merasa dipermalukan karena ditantang balik oleh anak-anak kelas 7.

Suatu sore sepulang sekolah, Dipo dan Tono berjalan melewati jalan kecil di belakang sekolah menuju halte Transraya. Biasanya ramai, tapi entah kenapa hari itu sepi. Tiba-tiba, dari balik tembok, lima anak kelas 8 muncul. Salah satunya membawa tongkat kayu pendek, dan ada yang membawa senjata tajam. Wajah mereka tampak tidak bersahabat.

“Heh! Kalian pikir keren ya waktu itu? Mau jadi pahlawan? Sekarang kita lihat kalian bisa apa kalau gak ada guru!” seru salah satu dari mereka.

Dipo menelan ludah. “Kita gak cari masalah, Kak. Tapi kalau kalian maksa…”

Tono menoleh ke Dipo dan berbisik pelan, “Ingat latihan. Jangan mulai duluan. Tapi siap-siap aja.”

Salah satu anak langsung mendorong Dipo keras hingga hampir jatuh. Tono bergerak cepat, menangkis pukulan anak lainnya yang menyerang pakai tangan kosong. Tono mengunci pergelangan tangannya dan mendorongnya mundur.

Perkelahian pecah. Dipo, meski tidak memukul duluan, terpaksa menangkis serangan tongkat dengan lengan kirinya, lalu melakukan gerakan sabetan kaki ke depan untuk menjatuhkan lawan. Salah satu anak berhasil menarik tas Dipo dan mencoba melemparkannya, tapi Tono menyambar dan menarik tas itu kembali sambil menendang lutut penyerangnya dengan gerakan cepat namun terkontrol.

Mereka tidak menggunakan gerakan mematikan—hanya bertahan dan melumpuhkan serangan agar lawan tidak bisa melukai lebih jauh. Lalu yang membawa senjata tajam mengikuti perkelahian. “Heh, jangan pakai itu!” Kata Dipo. Kakak kelas itu pun hanya diam dan mulai menyerang menggunakan senjata itu. Tono, dengan pintar mengambil pot bunga untuk menangkis senjata itu dan melemparkan potnya ke kakak kelas itu. Lalu saat Tono lengah, ada kakel yang memukulnya dengan tongkat, tapi ditangkis oleh Dipo, sadar tidak sadar, tangan dipo patah. 

Namun tiba-tiba terdengar suara keras, “Berhenti!!”

Pak Ali guru olahraga, datang dengan langkah cepat. Lima anak kelas 8 itu langsung kabur membelok ke arah kebun belakang.

Dipo dan Tono terengah-engah, tapi dengan tangan yang patah. Pak Seno menatap mereka tajam tapi tidak marah.

“Kalian ikut saya ke ruang guru. Sekarang.”

Di ruang guru, setelah diberi waktu menjelaskan, Dipo dan Tono menjelaskan kronologi kejadian. Beruntung beberapa siswa lain yang melihat dari kejauhan memberi kesaksian bahwa mereka memang hanya membela diri. Akhirnya, guru BK memanggil orang tua dari siswa kelas 8 dan memberikan sanksi tegas berupa skorsing. Dipo dan Tono justru mendapat penghargaan karena telah menunjukkan keberanian dan kedewasaan dalam menghadapi konflik, serta tidak menggunakan kekerasan secara berlebihan.

Beberapa hari kemudian Tono menjenguk Dipo yang sudah pulang dari RS Yogyaraya. “Dip, tanganmu aman?” “Pake nanya ya kagak, patah gini kok, tapi klo ada kamu jadi aman hehehe” jawab Dipo dengan nada bercanda. Lalu Tono duduk disebelahnya, “Gas login?” 

“Gas, aku hyper ya.” Mereka main game bersama lagi. 

Waktu berlalu cepat, seperti bis Transraya yang mereka naiki tiap pulang sekolah. Rasanya baru kemarin Dipo dan Tono saling sapa di lorong kelas, dan sekarang, mereka sudah seperti kakak adik yang tak terpisahkan. Dari belajar, lomba, bela diri, sampai perkelahian kecil yang bikin deg-degan—semuanya sudah mereka lewati bersama.

Kini, suasana sekolah lebih damai. Anak-anak kelas 8 yang dulunya suka cari masalah, entah kenapa jadi lebih tenang. Mungkin karena guru-guru mulai lebih awas, atau mungkin karena mereka tahu, di sekolah ini, anak-anak seperti Dipo dan Tono berani berdiri kalau ada yang salah.

Hari Jumat itu, hujan turun pelan. Suasana di kantin sepi, hanya suara piring dan tawa-tawa kecil terdengar. Dipo dan Tono duduk di sudut favorit mereka, di bawah pohon mangga yang rimbun.

“Ton,” kata Dipo sambil menyeruput teh hangat yang udah dingin, “kalau kamu pikir-pikir, kita tuh aneh juga ya. Kamu anak silat, aku anak karate. Kamu suka suara, aku suka sunyi. Tapi kok cocok aja gitu.

Tono mengangguk sambil tersenyum, “Karena beda itu bukan alasan buat saling berjauhan. Justru di situ kita bisa belajar.”

Dipo mengangguk pelan. Lalu ia berkata, “Pernah denger pepatah, ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh’?”

Tono menoleh, matanya berbinar. “Wah, lu klasik sih Dip. Tapi bener sih. Itu kita banget.”

Peribahasa itu bukan cuma kata-kata tua di buku Bahasa Indonesia. Mereka hidupkan artinya setiap hari saling bantu, saling jaga, dan tetap solid meskipun tak selalu sama.

Di akhir semester, guru-guru memuji mereka bukan karena nilai terbaik atau ranking tinggi, tapi karena semangat mereka menyebar ke satu angkatan. Kelas 7 jadi lebih kompak, lebih berani bicara, dan saling bantu. Semua itu, sedikit banyak, karena Dipo dan Tono memulainya.

Di halte sore itu, saat bus Transraya datang, Tono menepuk pundak Dipo.

“Di, kalau kita udah gede nanti, kita masih sahabatan gak ya?”

Dipo tertawa, “Kalau masih naik Transraya bareng, sih, pasti masih.”

Mereka naik bus, duduk di bangku biasa, dekat jendela. Di luar, hujan rintik-rintik turun pelan, membasahi jalanan Yogyaraya. Tapi di dalam hati mereka, ada kehangatan persahabatan yang tak akan pudar.

Sebab sahabat sejati, seperti kata pepatah tadi, mereka akan tetap teguh, bahkan saat dunia mulai runtuh.

Tamat

Artikel Terkait