Regol padepokan yang terbuat dari bambu itu dibuka. Satu persatu para alumni padepakan kecil itu masuk.
Padepokan itu memang sepi di saat Lebaran. Beberapa hari sebelum Lebaran tiba, Sang Guru meminta para cantrik untuk pulang ke rumah masing-masing. Paling yang tersisa hanya beberapa puthut (siswa yang sudah hampir lulus), dan beberapa cantrik yang memang tidak pulang karena piket.
Pagi sampai sore, padepokan sepi. Regol ditutup. Sang Guru tidak menerima tamu baik warga sekitar maupun para alumni. Alasannya, Lebaran paling afdol dipakai untuk acara keluarga dan tetangga. Baru di sore hari, sepembakaran jagung seusai salat Ashar, regol padepokan dari pring gading yang ditata sederhana itu dibuka.
Di pendapa padepokan yang juga sederhana, Sang Guru-lah yang menyalami berkeliling para alumni padepokan itu. Lalu dia duduk bersila di depan para muridnya yang sudah turun gunung tersebut, untuk menanyakan kabar masing-masing orang, dan kemudian saling bawarasa tentang berbagai persoalan kehidupan.
Terakhir, sebelum buyar–karena di luar padepokan sudah mengantre para warga–Sang Guru memberi tausiah ringkas dan padat.
“Salah satu persoalan terbesar kita sebagai manusia itu tentu saja kesombongan. Terutama kita yang merasa punya ilmu ini, orang-orang yang bergelut dengan kewaskitaan, orang-orang yang senantiasa merasa dekat dengan persoalan spiritual…
“Salah satu jenis belenggu yang berbahaya itu adalah salah meletakkan maqam. Keliru menyematkan derajat religiusitas dan tingkat kedekatan kita kepada Tuhan…
“Misalnya kita tahu bahwa puncak puasa adalah amalan tentang “makan ketika lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang”, juga “tidak diperkenankan makan sebelum yakin tidak ada yang lapar di sekitar kita”. Kita merasa di level maqam itu. Di puncak tertingginya. Tapi dalam kenyataannya, para tetangganya tidak dicek apakah benar-benar sedang kelaparan atau tidak… Masih makan karena sedang menyukai jenis makanan tertentu. Karena kareman. Bukan karena lapar…
“Dan karena merasa berada di maqam itu maka kita sinis terhadap mereka yang melakukan puasa Senin-Kamis, menyepelekan orang-orang yang melakukan puasa Daud, dan nyinyir terhadap orang-orang yang sedang mutih, ngrowot, patigeni dll… Seakan mereka itu segerombolan pemula yang tuna-waskita…
“Belenggu keilmuan yang sok tahu, dan suasana spiritual yang sok dekat dengan Tuhan inilah yang memerangkap kita dalam jeratan kesombongan paling berbahaya. Orang alim yang sombong, lebih berbahaya dari harimau yang lapar di kandang kambing.”
Sang Guru kemudian mengangkat tangannya. Berdoa. Doa yang juga ringkas. Lalu dia berdiri. Keluar dari pendapa. Kemudian satu persatu muridnya keluar dari pendapa. Menyalami guru mereka. Lalu mereka meninggakan padepokan, kembali ke kampung masing-masing.
Sang Guru kemudian bersiap menyambut para warga sekitar padepokan yang sudah mengular.