Seong Gi-hun duduk termenung di sebuah stasiun kereta, wajahnya lelah dan matanya layu. Pria berusia 40-an tahun itu baru saja kalah dalam taruhan balapan kuda dan uang yang baru ia menangkan dirampok. Hari itu ia pulang ke rumah dengan tangan hampa, seperti biasa. Ibunya yang sakit diabetes hanya bisa menghela napas, dan anak perempuannya, Ga-yeong, akan segera pindah ke Amerika bersama ibu tirinya.
Di tengah keputusasaan, seorang pria asing dengan jas rapi menghampirinya di stasiun dan menawarinya permainan ddakji. Setiap kali kalah, Gi-hun harus menerima tamparan keras. Tapi jika menang, ia diberi 100 ribu won. Permainan berakhir dengan Gi-hun berdiri sambil menahan rasa sakit di pipi, tapi dengan beberapa lembar uang di tangan.
Pria itu lalu memberinya kartu nama dengan simbol lingkaran, segitiga, dan persegi. Sebuah undangan menuju permainan rahasia. Gi-hun, yang terlilit utang dan diburu rentenir, akhirnya menelepon nomor itu.
Ketika Gi-hun terbangun, ia sudah berada di ruangan besar bersama 455 orang lainnya, semuanya mengenakan pakaian olahraga hijau dan diberi nomor. Dia adalah pemain 456. Wajah-wajah asing menatap sekeliling kebingungan dan ketakutan menyelimuti semua orang.
Namun ada beberapa yang segera menjadi tokoh penting dalam hidup Gi-hun. Cho Sang-woo, teman masa kecilnya yang kini terlilit utang miliaran won, Kang Sae-byeok, seorang pembelot dari Korea Utara yang ingin menyatukan kembali keluarganya, Oh Il-nam, pria tua nomor 001 yang diam diam adalah pengurus dari permainan mematikan itu, Abdul Ali, pekerja asal Pakistan yang ditipu oleh bosnya.
Permainan pertama dimulai: Red Light, Green Light. Sebuah boneka raksasa berdiri di ujung lapangan, memutar kepalanya. Saat ia berkata “Green Light,” para pemain boleh bergerak, tapi ketika “Red Light,” siapa pun yang bergerak akan ditembak mati. Dalam kekacauan, ratusan pemain roboh, tubuh mereka berlumuran darah. Gi-hun nyaris mati, tapi berhasil bertahan.
Ketakutan menyelimuti. Para pemain yang selamat memohon agar permainan dihentikan. Aturan keempat membolehkan permainan berakhir jika mayoritas memilih keluar. Voting dilakukan, dan hasilnya hanya berbeda satu suara: permainan dihentikan.
Di dunia nyata, Gi-hun kembali ke kehidupannya yang berantakan. Sang-woo hendak bunuh diri. Sae-byeok mencuri kembali adiknya dari panti. Ali diperlakukan tidak adil oleh bosnyaa. Akhirnya, mereka semua memutuskan kembali ke permainan, memilih risiko mati daripada hidup dalam kesengsaraan.
Permainan kedua: memotong bentuk dari dalgona permen gula rapuh. Gi-hun dengan panik menjilat permen berbentuk payung hingga berhasil membebaskannya. Di sisi lain, satu kesalahan kecil bisa berujung kematian.
Permainan ketiga: tarik tambang di atas jurang. Tim Gi-hun dipenuhi orang-orang yang dianggap lemah: wanita dan orang tua. Tapi strategi Il-nam menyelamatkan mereka: berdiri dengan posisi miring, lalu menarik secara serempak.
Permainan keempat: Gganbu, memilih pasangan dan memainkan permainan kelereng. Tapi tidak ada yang tahu, pasangan itu bukan rekan… melainkan lawan. Gi-hun, yang memilih Il-nam, harus bermain sampai salah satu dari mereka kalah dan mati. Dalam momen haru, Il-nam seolah mengizinkan Gi-hun menang, berpura-pura lupa aturan.
Sae-byeok menangis saat mengalahkan teman sekamarnya, yang sengaja kalah demi dirinya. Ali, polos dan percaya, dikhianati oleh Sang-woo yang menukarnya dengan batu, membuatnya mati sia-sia.
Permainan kelima: berjalan di atas kaca, di mana satu panel bisa menopang berat badan, lainnya akan pecah. Satu demi satu pemain gugur. Sang-woo mendorong pemain lain agar mati lebih cepat, membuktikan bahwa ia rela melakukan apa saja untuk menang. Gi-hun, Sae-byeok, dan Sang-woo menjadi tiga finalis terakhir.
Di malam terakhir, Sae-byeok terluka parah oleh pecahan kaca. Gi-hun ingin membantu, tapi dokter tak datang. Saat ia keluar mencari bantuan, Sang-woo menusuk Sae-byeok hingga mati dalam tidurnya.
Permainan terakhir dimulai: Squid Game. Dua pria yang dulunya teman masa kecil kini saling bertarung di arena. Hujan deras mengguyur tanah. Gi-hun hampir menang, tapi tak sanggup membunuh Sang-woo. Ia meminta permainan dihentikan dengan voting. Tapi Sang-woo, menangis, menusukkan pisau ke lehernya sendiri, menyerahkan kemenangan pada Gi-hun.
Gi-hun kembali ke dunia nyata dengan uang 45,6 miliar won. Namun hidupnya hampa. Ibunya telah meninggal. Ia tak bisa menggunakan uang itu. Trauma, rasa bersalah, dan kehampaan membelenggu dirinya.
Satu tahun kemudian, Gi-hun melihat pria yang dulu menawarkannya permainan ddakji, sedang merekrut orang baru. Ia mengejarnya, dan kemudian menerima telepon misterius. Gi-hun tahu permainan belum berakhir.
Dalam pesawat menuju Amerika untuk menemui anaknya, ia berbalik. Dengan tekad di mata dan rambut merah menyala, Gi-hun memilih untuk melawan sesuatu yang lebih besar: siapa pun yang ada di balik permainan ini.
Lanjut S2?
