Kemarin, seusai saya menulis status soal tertangkapnya Sanusi, dan semoga menjadikan itu sebagai langkah baik untuk penolakan reklamasi Teluk Jakarta, saya segera menghungi tim pemindai di Gardamaya. Saya meminta tolong, hanya berbekal rasa penasaran saja. Saya punya asumsi bahwa serangan terhadap Sanusi dari “desiminator utama” akan berhenti usai salat Jumat. Sekira jam 1 atau 2 siang.
Gardamaya adalah salah satu lembaga di bawah KBEA, yang mengurusi digital campaign. Mereka punya mesin dan kecakapan untuk memindai percakapan dari media sosial. Sedangkan yang dimaksud “diseminator utama” adalah akun-akun utama yang lazim dimiliki oleh siapapun yang sedang bertarung dalam kancah politik. Akun-akun inilah yang nanti akan mendiseminasikan isu tertentu, dengan pembagian tugas tertentu. Berhasil tidaknya akun-akun ini ditentukan oleh banyak hal, misalnya konten, kontinyuitas, sistem organisasi akun, dll. Tapi berhasil tidaknya akun-aun ini bekerja, hanya punya satu parameter: menjadi viral atau tidak, disambut baik oleh netizen atau tidak.
Nah semua itu bisa dipindai, diukur, dan dievaluasi. Dan ahli beginian di Indonesia ini cukup banyak. Sehingga sebetulnya, perusahaan-perusahaan digital marketing (atau apapunlah yang mirip-mirip itu), sudah saling tahu. Orang ini pakai lembaga apa, sementara yang lain pakai siapa.
Jadi sebetulnya pada level tertentu, pertarungan politik di dunia digital sebetulnya sudah bukan “maya” lagi. Karena sebetulnya sudah saling tahu. Mesin yang dipakai sama, sistem yang dipakai hampir serupa. Paling yang membedakan adalah strategi kontennya, dan dinamika kegiatan oflen-nya, karena pasti terkait erat antara onlen dan oflen.
Ternyata dugaan saya tepat. Ini bukan berarti saya pintar. Mudah saja saya menduga, karena dari berbagai berita yang dikeluarkan oleh media massa, kasus suap ini menyangkut Raperda reklamasi Teluk Jakarta dan pulau-pulau Kecil. Raperda itu didorong oleh Pemda DKI. Saya tidak perlu meneruskan analisis ini, karena bisa panjang. Hanya saja, pasti kedua belah pihak akan berpikir ulang untuk meneruskan saling serang. Bukan saling serang ding, karena yang pihak Sanusi (baca: Gerindra) membuang badan. Tiarap. Tentu dengan pernyataan-pernyataan standar, misalnya: “Prabowo marah” atau “Gerindra tidak menyangka”, dll.
Nah, hal ini menjadi menarik bukan di kasus itu lagi. Saya langsung mengalihkan perhatian ke PDIP. Akun-akun utama PDIP beberapa hari ini tidak begitu aktif. Hal itu terlihat ketika netizen tidak menyambut baik isu yang dilempar Wagub Djarot soal kantor Teman Ahok yang menggunakan kantor milik BUMD.
Saya kemudian meminta Gardamaya menyalakan pemindaian ke akun-akun PDIP. Dan baru sebentar dinyalakan, sudah muncul nama: Risma.
Untuk membantu memahami manuver politik itu, kita mesti mundur beberapa langkah dulu. Saya ulang dari status lama saya, dengan masuknya Hanura menyusul Nasdem mendukung Ahok, dan sinyal dari PAN maupun PKB untuk melakukan hal yang sama, kepanikan melanda kubu-kubu lain, terutama Gerindra dan PDIP. Kedua partai itu terlihat sangat berhati-hati memilih kandidat. Pertaruhan Pilkada DKI ini sangat besar untuk kedua partai tersebut.
Ketika Gerindra kena angin kencang kasus Sanusi, PDIP melakukan cek ombak dengan melempar nama Risma. PDIP memang nisbi cepat tenang dibanding partai-partai lain. Pertama, mesin mereka cukup besar dan cukup punya pengalaman pada Pilgub DKI yang memenangkan Jokowi dan Ahok. Kedua,
karena mereka punya pengalaman mengawal beberapa calon yang tingkat popularitas mereka jauh dibanding petahana. Popularitas Ganjar tidak sampai 10 persen ketika melawan Bibit yang waktu itu di atas 50 persen. Popularitas Jokowi hanya 10 persen ketika melawan Foke yang di atas 60 persen.
Risma juga punya catatan agak unik. Menjelang dua minggu, konon Megawati resah. Dia sebetulnya sudah mantap dengan Risma. Tapi popularitasnya hanya 8 persen. Lalu ada keputusan bahwa jika dalam dua minggu popularitas Risma bisa naik 14 persen maka rekomendasi PDIP akan jatuh ke Risma. Dan benar, dengan kerja keras semua tim pemenangan saat itu, ketika disurvei, Risma bisa melewati permintaan dari PDIP.
Era sekarang ini, mengerek popularitas itu tidak sesusah ketiga dunia digital belum semaju sekarang. Kalau soal elektabilitas, itu soal lain lagi.
Pertanyaannya adalah, kenapa yang coba dipakai mengecek ombak adalah Risma? Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, akan saya tanya balik: memang siapa yang lebih baik dari Risma? Konteks lebih baik ini bukan soal kepemimpinan, tapi soal “brand calon jago”. Risma adalah potensi terkuat melawan Ahok. Bukan Ganjar. Bukan Boy Sadikin. Bukan yang lain.
Anda harus memahami itu dulu sebelum mencoba memahami kampanye yang sangat bagus dengan bunyi kira-kira begini: “Kenapa orang-orang baik harus diadu? Biarkan Ridwan Kamil memimpin Jabar, Risma memimpin Jatim, Ganjar memimpin Jateng, dan Ahok kembali memimpin Jakarta.”
Kalau Anda paham sedikit soal politik kan bisa saja dijawab, “Ya nanti kalau mereka kalah, Ridwan Kamil bisa ikut tarung lagi di Pilgub Jabar, Risma di Pilgub Jatim.”
Nah, mari kita lihat bagaimana selanjutnya pertarungan ini. Menarik. Asal isu-isu njelehi sara gak bermunculan lagi.
Mari minum kopi…