Mungkin tanggal 20 nanti, Pak Roem akan ngasih sendiri kepadamu. Tapi ini aku kasih khusus untukmu.” ujar Anwar, direktur Insist Press.
“Dicetak berapa?”
“Hanya 60 eksemplar. Dia meminta dicetak hanya segitu. Disesuaikan dengan ultahnya.”
Saya diam. Lalu membuka-buka buku ini…
Roem Topatimasang bagi orang seperti saya, sudah susah memberi sematan dan pasti subjektif. Dia pernah jadi idola saya. Seorang aktivis sosial dengan integritas, yang nyaris tidak punya kehidupan pribadi. Kehidupan untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, mengingatkan saya kepada almarhum Mas Tanto Kandang.
Dia juga saya anggap guru saya, sahabat, dan orangtua. Saya tidak terlalu mudah memberi sematan guru. Saya bukan orang sekolahan. Cuma lulusan S1 dengan nilai kurang dari pas-pasan. Saya belajar dari kehidupan sehari-hari, dari teman-teman di sekeliling saya, dari apa yang sedang saya lakukan. Saya pernah aktif di Insist sekira 5 tahun, karena itu saya kenal Roem. Dan sesudah saya tak aktif di Insist, hubungan saya dengan dia berlangsung justru makin dekat. Kami cukup sering berpergian bersama. Mengerjakan beberapa hal secara bersama. Dan dia cukup sering memanggil saya ke Pakem untuk ngobrol sampai pagi. Kadang hanya berdua. Saya belajar banyak hal darinya. Itu jelas sekali.
Kami tidak selalu sejalan dalam beberapa hal. Tapi itu tidak akan mengurangi rasa hormat saya kepada Roem. Saya tidak mungkin hidup seperti dia. Kalau dia mau kaya, bisa saja dia kaya. Tapi dia hanya memiliki satu satu rumah kecil. Lantai satu untuk dapur. Lantai dua hanya berisi satu dipan dan sebuah meja untuk bekerja. Sudah. Dia juga sering tak punya uang. Untuk orang yang serbabisa, punya otoritas keilmuan tertentu yang banyak dibutuhkan oleh berbagai lembaga, rasanya mustahil Roem tidak punya uang. Tapi memang dia sering tak punya uang. Dan dia tak pernah sedih atau khawatir dengan hal seperti itu. Seakan uang tidak bisa menyentuhnya.
Pakaiannya juga itu-itu saja. Kameranya juga itu-itu saja. Kalau ada sedikit yang terasa mewah, hanyalah laptopnya. Untuk urusan laptop, sejak dulu dia memang selalu ingin yang optimal. Karena sekian banyak aktivitasnya bertumpu di sana. Itu pun sering rusak. Roem mungkin orang kedua yang saya saksikan sering berganti laptop karena rusak. Kombinasi antara saking seringnya dipakai bekerja, dan kerasnya lapangan yang harus didatangi. Orang pertama adalah Nurhady Sirimorok. Nurhady pernah setahun ganti laptop 4 kali. Sementara laptop paling awet adalah laptop saya. Karena nyaris tidak pernah dipakai bekerja. Sebab saya bekerja (baca: menulis) memakai hape. Jadi ya hape saya yang sering rusak. Tahun ini saja, saya ganti hape sudah 3 kali.
Roem setahu saya tidak pernah merayakan ulangtahun. Berbeda dengan saya. Saya selalu berusaha merayakan ulangtahun, dan selalu berusaha menerbitkan buku setiap ulangtahun saya. Ini demi menjaga agar saya tetap menulis. Setidaknya, setahun sekali menerbitkan buku.
Maka jika Roem merayakan ultah, berarti ini hal istimewa. Tentu karena usia 60 tahun memang layak diperingati. Saya pernah ingat ultah teman-teman saya. Kedua orangtua saya saja, saya tak ingat ultah mereka berdua. Saya buruk dalam mengingat. Tapi ultah Roem, saya ingat. Setidaknya lima tahun lalu. Karena ultahnya bareng dengan ultah Kali. Karena bareng, jika kebetulan Insist mengadakan acara ultah Roem, saya sering tak bisa datang. Roem tak pernah merayakan ultahnya, tapi Insist merayakannya.
Sebagai orang yang setidaknya bersenggolan dengan dunia Roem, saya harus mengakui, ibarat pendekar, tebasan pedangnya saya lihat di mana-mana. Kalau saya pergi ke suatu tempat, kadang saya temukan jejaknya di sana. Pertanda jam terbangnya tinggi dan lama. Kalau dihitung dalam kurun, berarti hampir 40 tahun dia terjun ke dunia gerakan sosial nyaris tanpa henti.
Saya tahu, orang seperti Roem di Indonesia cukup banyak. Mereka orang-orang hebat. Mereka ada di banyak tema dan fokus kerja. Sebagian dikenal luas, sebagian besar lagi tersembunyi. Orang-orang seperti inilah yang membuat hidup ini terasa lebih ringan dan menjanjikan. Masih ada banyak orang baik di dunia ini yang bekerja bukan untuk diri mereka sendiri.
Roem serbabisa. Itu jelas. Dia fasilitator dan pendidik yang andal. Penerjemah yang kampiun. Peneliti dengan jam terbang tinggi. Salah satu editor terbaik yang saya kenal. Dan tentu saja dia penulis yang hebat. Tulisan Roem sangat cocok bagi orang seperti saya. Kuat. Berkarakter. Dan tahu batas. Dia tidak mengutip sesuatu kalau tidak dibutuhkan. Dia menulis karena menyaksikan, bekerja di dalamnya, menatap dari dekat. Tapi sekaligus bisa menjaga jarak pandang. Maka tulisan-tulisannya tajam. Tidak pernah mengawang-awang apalagi bermain-main dengan logika. Dia tidak punya dan mungkin tidak suka pada kemewahan intelektual semacam itu. Kemewahan melihat sesuatu dari jarak yang sangat jauh.
Ngobrol dengan Roem juga begitu. Tidak pernah ngomongin Jokowi atau Prabowo. Itu terlalu jauh buatnya. Dia lebih tertarik membicarakan bagaimana supaya sagu bisa ditanam di lahan LPTP agar bisa memerangkap air sekaligus menjadi alternatif pangan bagi orang Jawa. Saya tahu Roem kuat membaca buku. Tapi tidak pernah mengutip atau menyuruh saya membaca. Mungkin membaca buku dianggap sebagai piknik saja. Bacaan sesungguhnya adalah kenyataan yang harus dia hadapi bersama masyarakat atau anak-anak muda yang sedang didampinginya.
Roem memang begitu. Tidak perlu dicontoh. Atau lebih tepatnya, susah dicontoh. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana selama 20 tahun dia hidup di kepulauan Maluku, bertemu dengan orang-orang tertentu di setiap pulau, lalu mendidik anak-anak muda di sana, dan kemudian jadilah jaringan Baileo. Jaringan yang punya stasiun kerja dari mulai Seram, Haruku, Ambon, Kei, Aru, dan Tanimbar. Terlalu susah bagi nalar saya.
Atau belum lama ini, dia tiba-tiba ke Jambi, mendidik anak-anak muda sekira 30 anak selama 3 bulan. Nyaris seorang diri. Dia benerin kursi, memperbaiki dapur, mengajar, sekaligus memasakkan mereka makanan. Aih, tak masuk akal.
Tapi ya begitulah Roem. Sedikit hal yang membikin kami sama hanyalah sudah stres duluan sekian hari, jika harus menghadiri acara di Jakarta.
Saya membolak-balik buku cenderamata Roem untuk kawan-kawannya yang dipilih sejumlah 60 eksemplar itu sambil sesekali mengulum senyum. Banyak orang yang bilang bahwa Roem pintar memotret. Sebagai seorang penulis yang kadang harus bekerjasama dengan fotografer, saya mesti mengatakan: tidak. Secara teknis forografi, Roem bukan fotografer yang baik. Anda tidak perlu bisa menulis untuk punya kemampuan menilai apakah seseorang itu bisa menulis atau tidak.
Dan itu diakui oleh Roem. Dia memotret bukan untuk potret itu sendiri. Potretnya selalu ‘dalam rangka’, atau kalau tidak ya ‘hasil sampingan’.
Saya sendiri tak habis pikir kenapa buku yang dijadikan cenderamata ultah ke-60nya adalah buku foto. Saya sendiri tentu berharap ada semacam ‘sekolah itu candu’ lagi. Atau ‘orang-orang kalah’. Tapi membaca buku Roem ini, tentu saja lumayan menyenangkan. Sekali lagi bukan foto-fotonya. Melainkan keterangan fotonya.
Roem orang yang sangat produktif. Dan dia terbiasa mengalah untuk sebuah hasil karya. Dia selalu ‘merelakan’ diri memposisikan jadi editor sekalipun mungkin sebagian besar karya itu justru ditulisnya. Di tengah kecenderungan orang ingin mendapat tempat, Roem malah menggeser tempat supaya makin tak terlihat. Bahkan kalau perlu pakai nama singlon: Beta Pettawaranie.
Mungkin segala yang Roem kerjakan, bisa sedikit diringkas dari satori ala Zen yang melintas di kepalanya saat tiba-tiba dia memotret bayangannya sendiri…
“Di sini, seorang lelaki berdiri
memandangi bayang-bayangnya sendiri
takjub, mengapa [bayang-bayang itu] gelap?”
Selamat ultah, Roem. Salam hangat dan hormat.