Seorang pengusaha yang sedang mengalami banyak masalah, datang kepada seorang kiai. Sang pengusaha berkeluh-kesah tentang usahanya yang akhir-akhir ini sering merugi. Dia meminta amalan agar usahanya kembali lancar.
Sang kiai yang boleh dibilang cukup muda ini kemudian bilang. “Pak, saya ini jenis orang yang kalau berkata ceplas-ceplos. Maaf kalau dalam obrolan kita ini nanti, sampeyan mungkin tersinggung.”
“O ya enggak apa-apa, Pak Yai. Ceplas-ceplos itu gaya saya juga kok.”
“Pertama, sampeyan itu keliru datang ke sini. Mestinya kalau Anda punya masalah dalam bisnis, bukan datang ke sini. Akan lebih baik jika datang ke pebisnis yang lebih berpengalaman. Kalau datang ke saya itu mestinya urusannya ya soal ibadah, soal ilmu agama, soal hukum. Saya kan tidak tahu soal bisnis wong sejak kecil saya itu ya hanya ngaji, pindah dari satu pesantren ke pesantren lain.”
Pengusaha itu diam. Dia mengangguk-anggukkan kepala. Di dalam hatinya, dia tetap yakin akan diberi amalan agar bisnisnya kembali lancar.
“Yang kedua, kok bisa sampeyan merasa rugi?”
“Maaf, Pak Yai. Saya bukan merasa rugi. Faktanya, akhir-akhir ini bisnis saya memang rugi.” Panjang lebar si pebisnis menjelaskan kenapa dia bisa sampai rugi berkali-kali. Sang kiai mendengarkan saja. Setelah berhenti sejenak pebisnis itu bercerita, kembali sang kiai bertanya, “Iya, tapi kenapa sampeyan merasa rugi?”
Pebisnis itu tampak bingung. Dia berpikir. Lalu dia berkata, “Saya memang rugi.”
“Itu uang siapa?”
“Uang saya.”
“Dari situ memang sudah keliru.”
“Kenapa, Pak Yai?”
“Itu kan bukan uang sampeyan. Itu kan uang dari Tuhan.”
“Ya kalau itu saya tahu, Pak Yai…” sahut pebisnis itu agak lega.
“Sampeyan tahu tapi tidak mengerti atau tidak memahami. Sebab kalau memahami mestinya tidak ada istilah rugi. Wong bukan duit sampeyan.”
Pebisnis itu tersenyum masam.
“Sampeyan itu untung, bukan rugi. Rugi itu kalau uang itu sampeyan pakai untuk maksiat. Lha kalau dipakai bisnis, sedekah, memberi nafkah keluarga, diberikan orang lain, gak ada yang rugi. Sampeyan itu untung. Kalau untung, mestinya sampeyan senang. Kok malah sedih…”