Kalau Anda belajar soal kopi, komoditas ini menurut saya, termasuk cukup rumit. Variabelnya banyak. Parameter ujicoba citarasanya juga kompleks. Tidak sederhana. Tapi ada komoditas pertanian yang lebih rumit lagi: tembakau.
Mirip dengan kopi, tembakau juga punya parameter ujicoba citarasa. Dan mirip dengan kopi, variabel jenis pada tembakau, ketinggian, cuaca, pengelolaan pasca-panen, menentukan citarasanya.
Buat orang yang belajar kopi, pasti geli jika dibilang: “Ini kopi luwak.” Atau: “Ini kopi bali, enak!” Kopi luwak yang seperti apa. Kopi bali dari mana, jenisnya apa, diolah dengan cara apa, dll. Lagipula, tidak selalu ada hubungan antara kopi berkualitas dengan kopi enak. Kualitas itu mengandalkan parameter tertentu. Sedangkan enak itu soal selera.
Contohnya mudah. Ada mie jawa Pak Pele. Harganya seporsi: 20 ribu. Ada indomie. Harganya seporsi: 4 ribu. Secara kualitas mie Pak Pele jelas jauh lebih berkualitas. Tapi di lidah Adit, misalnya. Ya tetap enak indomie. Dan itu tidak salah. Ini bukan perkara salah atau benar.
Sama seperti kopi. Kopi Gayo berkualitas bisa saja di lidah Rusli, tak ada bedanya dengan kopi Kapal Api. Malah saya punya teman, Simon namanya, baginya semua kopi yang diterangkan dengan jelimet itu omong kosong. Bagi dia, kopi enak itu ya Kapal Api. Titik. Selesai. Apakah Simon atau Rusli salah? Ya enggak. Selera itu suka-suka. Menjadi masalah misalnya, kalau kopi Gayo diminta punya harga yang sama dengan kopi Kapal Api. Itu ngawur. Salah satu konsekuensi dari kualitas tentu saja soal harga dan apresiasi terhadap petani.
Oke, balik lagi ke tembakau. Tembakau makin rumit dibanding kopi karena ada ‘grade’ dalam satu pokok pohon. Ada daun A sampai D. Di beberapa tempat ada E sampai F. Tidak sembarang orang bisa membedakan daun A dan B karena itu satu pohon. Apalagi sampai F. Rumit sekali itu. Di kopi tidak ada itu. Bahwa ada grade 1 sampai 4 ya. Tapi itu untuk menguji keseluruhan kopi. Bukan pokok pohon.
Di dunia kopi, kemurnian itu penting di dalam penyajian. Makanya ada istilah ‘single origin’. Sedangkan ketika diracik menjadi sebatang rokok, satu tembakau membutuhkan tembakau-tembakau lain. Sebagai gambaran, dalam sebatang kretek yang Anda isap, minimal ada 6 jenis tembakau dari berbagai daerah. Bahkan ada yang sampai belasan.
Maka jika ada orang bilang, “Ini tembakau temanggung.” Itu bukan informasi yang cukup buat seorang pencinta atau pembelajar tembakau. Temanggung bagian mana? Jenis apa? Grade bagaimana? Dll.
Sekarang coba bayangkan kalau ada sebatang rokok yang di dalamnya ada 10 jenis tembakau dengan segala varian grade, terbayang tingkat kerumitannya. Dari sini bisa dimengerti. Seorang peracik kopi memamerkan dirinya bahkan bisa sebagai ‘brand’ sebuah kedai kopi. Sementara peracik tembakau adalah orang paling misterius dalam dunia industri rokok. Di diri mereka tersimpan rahasia yang rumit dan penting. Karena itu, mereka tak boleh sembarangan muncul di permukaan.
Ketika liputan saya tentang tembakau dijadikan cover story di majalah National Geographic, satu-satunya yang tidak bisa saya tulis adalah tentang peramu tembakau. Banyak orang bilang itu tulisan yang bagus. Tapi tidak banyak yang tahu, saya melakukan liputas lebih dari sebulan, dan saya sudah belajar tentang tembakau selama 4 tahun secara intensif sebelumnya. Setiap tahun, dari mulai akan musim tanam sampai panen, saya keliling di belasan kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lombok. Jadi yang tertulis di sana bukan semata hasil liputan selama 30 hari di lapangan. Tapi pengalaman di lapangan selama bertahun-tahun.
Ketika bersama dengan warga Munduk, saya mendaulat Blue Tamblingan, itu juga bukan proses sembarangan. Saya belajar kopi sudah lama. Selain ke lapangan, saya juga mengambil kursus-kursus singkat. Ikut berproses mendampingi petani. Jadi ketika muncul Blue Tamblingan, saya siap mempertaruhkan pengalaman dan reputasi saya. Bukan asal bikin nama lalu selesai.
Sekira dua bulan lalu, ada seorang teman yang bosan merokok. Tapi dia ingin sekali tetap merokok. Hanya pengen yang ‘beda’. Saya sempat merekomendasikan salah satu merek rokok herbal yang terkenal mahal. Tapi dia, sebagaimana saya, tidak bisa menikmati itu. Bagi saya, rokok herbal bukan rokok kretek. Terlalu banyak ramuan lain selain tembakau dan cengkeh. Ibarat kopi, dia sudah kopi susu. Tidak sembarang orang yang suka kopi bisa menikmati kopi susu.
Akhirnya dia minta saya merekomendasikan campuran tembakau. Saya lalu bikin oret-oretan. “Tapi Mas, ini bukan tembakau yang mudah dicari ya?” kata saya.
Tapi dasar orang kaya, tidak sampai seminggu dia sudah datang lagi membawa racikannya. Lalu kami cicip bersama dan diskusikan. Ada yang kurang cocok. Saya ubah lagi, tapi persentasenya. Dia berburu lagi. Lebih tepatnya orang suruhannya yang berburu.
Begitu terus hingga beberapa kali. Dan semalam, dia sudah membawa racikan final. “Ini Dik Puthut, pas, enak sekali.” Dia menyodorkan beberapa bungkus. Saya cicipi. Memang enak sekali. Dia lega. Saya juga senang. Dia merasa berbeda dengan orang lain, saya senang karena ternyata saya bisa juga memberi resep tembakau. Hal yang tidak pernah saya lakukan. Haha!
Saya ditanya, kenapa sering gonta-ganti rokok. Itu pertanyaan yang umum. Sebetulnya saya yang heran. Kenapa orang harus fanatik dengan rokok tertentu? Kenapa kalau makan, pagi kita makan pecel, siang makan ayam goreng, malam makan tongseng. Besoknya lagi beda lagi. Tapi untuk rokok kenapa tidak begitu? Di tas rumah saya minimal ada 5 jenis rokok. Minimal juga ada 5 jenis kopi. Bahwa ada rokok tertentu yang menjadi favorit saya, ya wajar. Sama kayak ada orang yang punya hobi makan bakso. Tapi tidak setiap hari dia makan bakso, bukan?
Tentu saya tidak menyalahkan orang yang hanya merokok satu jenis saja. Tapi yang aneh kalau mereka mempertanyakan kenapa saya bisa merokok berbagai jenis rokok? Ya bisa. Saya minum berbagai jenis kopi dan makan bergantian aneka menu.
Balik lagi ke teman saya. Menurut saya, dia orang antik. Enak juga jadi orang kaya. Bisa punya rokok sendiri, dan hanya dia yang mengisapnya sendiri. Tidak ada orang lain yang punya. “Dik Puthut sebagai penemu nanti saya kasih beberapa pak dalam sebulan.”
Alhamdulillah…