Semenjak Bapak tinggal agak lama di rumah karena menunggui Ibu yang kapan hari sakit di Yogya, Kali jadi terbiasa salat Magrib dan Isya di masjid. Ketika Bapak pulang kampung, jadilah saya yang digeret Kali salat jamaah di masjid. Ini yang namanya: kebo nyusu gudel.
Suatu saat, saat berangkat, sambil mengangkat sarungnya supaya mudah mbonceng Nmax, Kali bilang: “Bapak, nanti kita posisinya di belakang imam ya?”
Karena saya tahu kalau Kali anak keras kepala dan berani, saya pun menjelaskan. “Kita di barisan depan, tapi jangan persis di belakang imam, Nak.”
“Kenapa?”
“Karena orang yang di belakang imam itu harus siap memimpin jamaah melanjutkan salat jika imamnya berhalangan.”
“Berhalangan itu gimana?”
“Ya mungkin kentut, atau mendadak sakit di tengah jalan, atau apapun yang membuat imam batal.”
“Kali kan bisa jadi imam. Hapalan surah Kali lebih banyak dibanding Bapak.”
“Kali masih kecil. Belum boleh memimpin salat.”
“Di Teladan (sekolah Kali, PEA) Kali biasa jadi imam.”
“Iya. Tapi di Teladan kan Kali memimpin anak-anak kecil semua.”
“Bukan anak kecil. Ada yang sudah kelas 5!”
“Lha iya itu anak kecil…”
“Lha kalau nanti Kali dan Bapak di belakang imam, terus imamnya batal, kan Bapak bisa yang melanjutkan jadi imam. Bisa kan?”
Saya mulai gugup. Motor sudah masuk pelataran masjid. “Ya boleh, tapi Bapak merasa gak pintar. Ada banyak orang yang lebih pintar di sini,” kata saya sambil mengecilkan suara.
Kali akhirnya mengerti. Kami berdua sering di baris depan tapi tidak persis di belakang imam.
Kemarin sore, ada satu kejadian yang membuat saya kembali harus sedikit menguras pikiran, memberitahu suatu hal. Mungkin karena terbiasa salat jamaah di masjid sekolahnya, Kali selalu bersalaman dengan banyak orang sehabis salat. Biasanya hal itu tidak begitu saya perhatikan. Apalagi dia tak selamanya di samping saya. Kadang dia salat bersama anak-anak kecil lain di belakang.
Tapi kemarin, saya menyaksikan bagaimana beberapa orang tampak tidak suka disalami Kali. Karena Kali masih kecil, dia gak peduli orang itu suka atau tidak. Yang penting salaman. Kali tiba-tiba bangkit.
“Mau ke mana?” tanya saya sambil berbisik ke dekat telinga Kali.
“Salaman sama imam.” jawabnya polos.
“Jangan.”
“Kenapa?”
“Nanti Bapak jelaskan di rumah.” Beruntung Kali mau mendengar ucapan saya.
Begitu sampai rumah, pelan saya mencoba memberi pengertian kepada Kali kalau tidak semua orang ‘suka’ disalami sehabis salat.
“Lha kenapa? Kan salaman itu bagus?”
“Iya, bagus. Tapi tidak semua orang suka. Dan Kali harus menghormati mereka juga.” Saya mencoba menghindar membicarakan soal kelompok-kelompok dalam Islam.
“Lha terus gimana Kali tahu mana orang yang mau salaman dan mana yang tidak?”
Waduh, mendengar pertanyaan itu, saya bingung. Kalau saya sih, pasif. Jika ada orang mengajak salaman, dengan cepat saya sambut. Hanya saja, saya tak pernah mau memulai. Daripada sakit hati. Tapi hal seperti itu tak mungkin saya bilang kepada Kali. Tidak mungkin saya bilang, “Kamu diam saja, tunggu. Kalau diajak salaman orang, barulah kamu boleh salaman.” Gak mungkin kan…
“Gimana, Pak?”
“Begini, Nak. Khusus untuk Kali, semua boleh Kali salami.”
“Oke. Bener lho ya. Besok-besok jangan larang Kali menyalami imam…”
“Iya. Bener.” jawab saya sambil ragu.
Saya belum seberani Cak Nun ternyata. Suatu saat, Cak Nun ditanya salah satu jamaah Maiyah. Ini di sebuah forum terbuka, dengan ribuan peserta. Apakah boleh bersalaman setelah salat?
Jawaban Cak Nun: “Aja maneh salaman, ngising wae entuk nek bar salat!”
Jiancuuuk… Ngekek saya. Kalau gak percaya cari saja di Youtube.
Urip kok tambah ruwet. Salaman wae dadi masalah.