Di meja gelap kecoklatan itu, Komang meletakkan 5 buah cawan. Dua berisi sambal. Tiga berisi cairan kemerahan. Rahung menatap kelima cawan itu dengan muka bingung.
“Dua cawan itu sambal sederhana. Bahan kedua sambal itu sama persis. Hanya cabe merah diulek dengan bawang putih. Warnanya tampak sama. Rasanya juga hampir mirip. Hampir.” Komang menatap Rahung dengan tatapan mata tajam, memberi penekanan pada kata ‘hampir’.
“Sambal yang satu diolah dengan cara berbeda. Salah satu sambal itu dibuat dengan cara mengulek bawang putih dan cabai, lalu diguyur minyak jelantah panas. Sedangkan satunya lagi, bawang putih dan cabe merah digangsa dulu di bersama minyak, baru diulek.”
Muka Rahung mulai pucat. Tidak salah lagi. Jam terbang dan ketrampilan memasaknya sedang diuji oleh salah satu maestro bumbu dari daerah Buleleng Bali.
“Cicipilah…” Komang menyandarkan punggungnya ke kursi. Mengambil sebatang rokok. Menyalakan. Mengisap dalam-dalam sambil tetap memandang tesmak ke arah Rahung.
Pelan, pemuda berusia hampir 27 tahun itu mendulitkan ujung telunjuk kanannya ke cawan. Lalu meletakkan ke lidahnya. Dia memejamkan mata. Mencoba menajamkan indera pengecapannya. Pelan dia memejamkan mata. Lalu telunjuk kirinya mendulit cawan satunya lagi. Meletakkannya di lidah. Dipejamkan matanya.
“Bisa membedakan?”
Rahung hampir mengangguk. Tapi mendadak dia ragu.
“Keraguan menunjukkan ketidakmatangan ketrampilan seseorang…”
Rahung tersentak. Dengan muka pasrah, dia menggelengkan kepala.
Komang mengambil dua cawan berisi sambal. Disisihkan ke arah samping meja, mendekati cangkir kopinya yang masih menguarkan wangi tubruk.
“Tiga cangkir berisi cairan sama-sama air cabe. Air cabe yang satu, dibuat dari cabe yang diiris-iris. Lalu direndam air. Lalu disaring. Satu lagi, cabe digeprek, lalu dikum dengan air. Sedangkan satunya lagi, cabe diulek, diberi air. Sama-sama air cabe. Cicipilah…”
Rahung menarik napas panjang. Bau bunga cengkeh dari kebun yang terletak di belakangnya tercium kuat. Sore masih awet. Suara ayam di pekarangan terdegar kuat.
Dia mencelupkan telunjuknya ke dalam salah satu cawan. Lalu mengulum telunjuknya. Demikian bergantian ke cawan kedua dan ketiga.
Dua ekor anjing melintas di dekat kaki Rahung. Komang memberi isyarak kepada kedua anjing itu untuk pergi. Lalu sepasang mata laki-laki paruh baya itu kembali menatap Rahung. “Bisa membedakan?”
Wajah Rahung memerah. Dia menggelengkan kepala.
“Wijayanto menginap di mana?”
“Di Sanur, Bli.”
“Kamu langsung balik atau mau menginap di sini dulu?”
“Langsung ke Denpasar, Bli.”
“Langsung menemui Wijayanto?”
Rahung mengangguk.
“Sudah tahu apa yang mesti kamu sampaikan kepada gurumu itu?”
Lagi-lagi Rahung mengangguk.
“Apa yang akan kamu sampaikan kepadanya?”
“Saya masih belum bisa memasak.”
Komang mengangguk.
Rahung memanggil sopir yang mengantarnya. Dia berpamitan dengan wajah agak murung.
Sepanjang perjalanan, dia merutuki nasibnya. Dia tidak bisa membayangkan betapa marah gurunya. Dia adalah murid ketiga Wijayanto yang dikirim sepanjang 5 tahun untuk diuji oleh Komang. Gurunya adalah juru masak istana. Punya pengalaman melanglang buana ke berbagai wilayah di luar negeri untuk mempelajari masakan.
Tapi gurunya tak pernah bisa mengalahkan Komang. Laki-laki tukang masak kelas kampung di pelosok Bali itu, sudah tiga kali membanting murid-murid Wijayanto dengan ujian sepele.
Tepat di sebuah kelokan tajam di sekitar danau Tamblingan, kabut tebal menerjang dan mengemuli mobil yang dinaiki Rahung. Sopir memperlambat laju mobil. Tiba-tiba sesuatu melintas di kepala Rahung. Lintasan cepat di pikirannya itu, membuka lembar awal dari kisah panjang ini…