Banyak kawan bertanya, apakah menulis bisa dijadikan sandaran hidup? Ini pertanyaan yang rumit. Tapi akan saya coba jawab berdasarkan pengalaman saya.
Penulis sebagaimana profesi lain, ada yang ‘sukses’ dan lebih banyak yang tidak. Sama seperti perupa. Ada puluhan perupa sukses, tapi ada juga ribuan, belasan, bahkan puluhan ribu perupa tidak atau belum sukses. Musikus juga begitu.
Maka pertama, yang mesti ditetapkan adalah definisi setiap orang atas kesuksesan. Apakah sukses secara materi, kekaryaan, atau kepuasan batin. Atau bauran antara ketiganya. Tapi entah diakui atau tidak, penulis sebagaimana semua orang, butuh uang untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Berdasarkan pengalaman saya, ketika awal menjadi penulis, tak bisa bertahan hanya mendapatkan penghasilan dari menulis di media massa dan royalti buku. Maka saya menyambi jadi editor buku, terlibat di berbagai penelitian, dan mengajar menulis di berbagai lembaga, bahkan menjadi ‘ghost writer’. Intinya semua kegiatan yang masih ada hubungan dengan menulis.
Belakangan saya sadari bahwa itu semua bukan hanya menolong saya secara finansial, tapi membantu perkembangan kapasitas kepenulisan saya. Membantu menjadi lebih disiplin; tahu bagaimana membaca data dan menganalisis suatu fenomena; punya pengalaman dengan berbagai isu sosial; menguasai beberapa metode penelitian; pendek kata banyak hal yang membuat kapasitas pribadi saya lebih berkembang.
Sampai sekarang, saya bertahan menjadi penulis. Saya memang sudah tidak mau menyunting buku, lebih selektif dalam ikut penelitian, jarang mau mengisi pelatihan penulisan, dan tidak mau lagi jadi ‘ghost writer’ kalau tidak dibayar sangat mahal ?
Tapi saya tetap menyarankan bagi penulis muda untuk memperkaya pengalaman kepenulisan mereka. Tapi ya jangan terlalu jauh dari dunia inti penulisan, dan tetap konsisten menulis dalam keadaan dan medium apapun. Termasuk medsos.