Seorang kiai yang dikenal telah melahirkan santri-santri cemerlang, tidak bisa menyimpan rasa resah yang ditahannya selama hampir dua tahun ini. Akhirnya dia memanggil salah satu santri seniornya yang sudah malang melintang di jagat intelektual, dan dikenal sebagai salah satu intelektual muda Islam yang cukup terkenal karena kedalaman ilmunya, dan keluasan cakrawala pengetahuannya.
Begitu Sang Santri menghadap, setelah saling berbagi kabar karena cukup lama tak bertemu, sambil makan lumpia dengan minuman teh nasgitel, Sang Kiai bertanya, “Nak, kenapa kamu dan kawan-kawanmu sering menyebut orang lain yang berbeda pandangan dengan kalian, dengan memberi sebutan mereka sebagai “Santri Google” atau “Murid Youtube”?”
Awalnya, Sang Santri cukup terkejut ditanya seperti itu. Tapi akhirnya dengan gamblang dia menjelaskan, “Pak Yai, mereka itu jenis orang yang ngajinya hanya lewat internet. Cukup menggoogling, atau menonton Youtube. Ilmu mereka tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ngaji seminggu lewat internet saja kemlinthinya minta ampun…”
“Lho, apa yang salah dengan mencari ilmu lewat internet?” tanya Sang Kiai dengan nada sabar.
“Internet itu kan sumbernya gak jelas. Susah dipertanggungjawabkan.” jawab Sang Santri.
“Kan di internet ada juga sumber-sumber yang jelas. Banyak kiai-kiai besar yang ceramah mereka diunggah di Youtube. Ada kitab-kitab bagus yang tersimpan di dunia maya…”
“Ya, tapi kan mereka mengaji tidak sistematis. Tidak dari dasar. Tidak terstruktur. Tidak seperti kita di pondok pesantren yang butuh waktu sangat lama untuk belajar ilmu agama.”
“Siapa yang mengharuskan seperti itu?”
“Maksud Pak Yai?”
“Siapa yang mengharuskan orang mencari ilmu, harus di pesantren, dan lama?”
“Lho bukannya memang begitu, Pak Yai?”
“Ilmu bisa datang dari mana saja. Pelajaran bisa muncul dari mana saja. Bahkan bisa dari pepohonan, hewan, alam, termasuk internet.”
“Tapi mereka gemar mengkafir-kafirkan orang lain, dan kalau diajak berdebat maunya menang sendiri. Dalil-dalil yang dipakai juga tidak jelas.”
“Apakah semua begitu?”
“Ya tidak, Pak Yai…”
“Kalau tidak, kenapa kamu menyebut mereka semua seakan sama? Seakan kalau belajar lewat internet itu keliru, lewat Youtube itu salah?”
Si Santri diam sejenak. Sedang berusaha memikirkan jawaban. Tapi Sang Kiai melanjutkan omongannya. “Dan sejak kapan seorang santri diajari untuk merasa begitu tinggi ilmunya hanya karena belajar lebih lama? Kalau Tuhan mau, beliau bisa turunkan ilmu apa saja kepada siapa saja, dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan kalau perlu tidak perlu belajar. Suka-suka Tuhan.”
“Tapi mereka sombong sekali, Pak Yai…” suara Si Santri agak lirih.
“Bukankah kamu diam-diam juga sombong dengan memberi cap seperti itu kepada mereka?”
Si Santri diam lagi. Kemudian di berkata, “Jumlah mereka makin banyak dan suka mengkafir-kafirkan orang lain, Pak Yai.”
“Bukankah orang yang suka mengkafir-kafirkan orang lain juga banyak yang dari pondok pesantren, bahkan kemudian kuliah di universitas-universitas Islam yang sangat terkenal di penjuru dunia?”
“Iya juga sih, Pak Yai…”
“Terus kalau google, Youtube, dan medsos tidak boleh dipakai sebagai media mencari ilmu, bukankah isinya malah makin banyak hal buruk?”
Si Santri diam. Sebetulnya dia masih ingin membantah. Tapi dia mulai kehabisan kata-kata.
“Nak, orang seperti aku ini juga selalu butuh mencari ilmu. Karena merasa kurang terus. Merasa bodoh terus….
“Kadang aku sowan ke kiai-kiai yang lebih sepuh dan senior untuk mengaji. Kadang aku bertanya ke pedagang dan petani. Kadang juga aku bertanya ke santri-santriku sendiri. Tidak semua hal aku dalami dan aku mengerti…
“Dan aku sering bertanya juga ke Google, termasuk sering mengaji lewat Youtube. Mengaji lewat Youtube itu ada bagusnya. Bisa diulang berkali-kali sampai kita paham. Satu tema bisa kita cari dari berbagai versi para ulama…
“Jadi berhentilah menyalahkan alat dan cara mencari ilmu. Kalau ada hal yang kurang baik di diri mereka, persoalannya bukan karena Google, Youtube, atau media sosial. Persoalannya ada pada mental mereka.”
Si Santri tambah diam. Kali ini dia mulai kehabisan argumen.
“Setelah kamu tahu aku juga sering ngaji lewat internet, kamu terus mau memanggil aku: Kiai Google?” tanya Sang Kiai sambil mengulum senyum.
“Ya tidak, Pak Yai…”
“Ya sudah. Sekarang kita makan dulu. Aku masak sayur ikan kepala manyung dengan sambal terasi kesukaanmu…”
Mereka kemudian makan lahap sekali. Usai makan, Si Santri mengunggah foto dirinya yang sedang makan bersama Sang Kiai di dinding Facebooknya.
Sang Kiai hanya tersenyum.