Di SMPN 9 Yogyaraya, nama Dipo, Tono, dan Bingus dikenal seperti satu paket tak terpisahkan. Mereka disebut Trio Taring bukan karena galak, tapi karena tajam ide-idenya. Dari lomba OSN, O2SN, pramuka, cerdas cermat, sampai video kreatif, nama mereka selalu muncul bersama.
Tapi semuanya mulai berubah sedikit demi sedikit.
Awalnya Dipo mengira Bingus hanya sedang lelah. Lalu Tono mulai curiga ketika Bingus tiba-tiba duduk di tempat lain saat ada acara, dan tidak pernah lagi ikut nongkrong di bawah pohon beringin favorit mereka. Dari tiga, sekarang cuma dua. Seperti bangku yang kehilangan satu kakinya, goyah.
“Dia bilang mau pulang cepet karena dijemput,” kata Dipo sambil senderan ke batang beringin. “Tapi kemarin aku lihat dia masih di sekolah. Duduk bareng Bangas dan Bingis.”
Tono terlihat bingung “Yang dulunya bully kita waktu SD?” Tono mengangkat alis, wajahnya mengeras. “Bingus ngobrol sama mereka?”
Dipo hanya mengangguk. Mereka berdua diam cukup lama. Angin siang berdesir pelan, membawa aroma tanah dan… perasaan yang tak enak.
Bab Kedua: Daftar yang…
Dua minggu kemudian, pengumuman peserta Lomba Cerdas Cermat terpajang di mading OSIS. Dipo dan Tono sudah menyiapkan konsep tim. Mereka bahkan bikin nama tim sendiri: DTB — dari singkatan inisial nama mereka bertiga.
Tapi kenyataan tidak seindah rencana.
“Dip, ndelok iki…” bisik Tono sambil menatap daftar peserta. Suaranya seperti kecewa.
Bingus memang mendaftar lomba itu. Tapi bukan dengan Dipo dan Tono. Melainkan dengan dua orang yang paling mereka benci: Bangas dan Bingis, dua orang dari kelas 9A yang dulunya hobi mengejek, mem-bully, dan pernah menjebak Tono hingga hampir diskors karena tuduhan plagiat.
“Ga mungkin…” gumam Dipo.
Tapi yang lebih menyakitkan datang beberapa hari kemudian. Seorang teman dari pengurus OSIS membocorkan bahwa Bingus-lah yang menyarankan agar Dipo dan Tono tidak dimasukkan. Alasannya? Mereka dianggap “tidak serius”, “kebanyak main”, dan “engga akan membawa kemenangan”.
Tono mendengar semua itu langsung dari mulut pengurus OSIS sendiri. Ia berdiri dan membeku cukup lama setelahnya.
“Memang anak yang-“
Tono memotong: “dip!”
Dipo menggertakkan gigi. “Sori, ya. Tapi itu bukan cuma bohong, No. Itu fitnah.”
Bab Ketiga: Rahasia yang Terbongkar
Malam itu, Dipo tidak bisa tidur. Ia membuka grup chat mereka bertiga yang sudah lama sepi. Scroll ke atas. Melihat pesan-pesan lama yang penuh tawa dan rencana-rencana yang kini terasa seperti sisa reruntuhan.
Pagi harinya, Dipo menyelinap ke ruang OSIS saat istirahat. Ia membuka lemari arsip, mencari daftar revisi tim peserta. Di situ, ia menemukan fakta mengejutkan: Bingus sudah mendaftar tim baru sejak dua minggu sebelum mereka sempat bicara soal ikut lomba bersama.
Jadi, selama ini Bingus cuma berpura-pura. Bermain dua wajah.
Dan lebih buruk lagi ada jejak usulan dari Bingus agar Dipo dan Tono dipasangkan dengan siswa lemah dari kelas lain, agar tim mereka terpecah dan tidak punya peluang menang.
Itulah pengkhianatan kedua.
Babak Terakhir: Pertemuan yang Tak Menyembuhkan
Tiga hari sebelum lomba, Bingus akhirnya menghampiri mereka di bawah pohon beringin.
“Guys… aku bisa jelasin,” katanya, mencoba tersenyum. Tapi senyum itu terasa seperti tempelan.
Dipo hanya memandangnya dingin. “Monggo, awak dewe iso ngrungoke cocot mu sing ngapusi iku”
Bingus terlihat sedikit lemas “Aku iki pengen punya peluang menang. Aku tahu kalian oke, tapi Bangas dan Bingis punya koneksi ke pembina. Mereka udah latihan lebih dulu. Aku… aku harus realistis.”
Tono berdiri. “Realistis? Jadi kamu rela ngejatuhin dua sahabatmu sendiri?”
“Enggak gitu maksudku…”
“Kowe reti ra?,” ujar Dipo pelan, “nek ono siji kebohongan sing metu saka cocotmu uwes cukup buat ngancurin semuanya. Tapi kamu gak cuma bohong. Kamu dua kali hancurin kita pertama pas kamu daftar diam-diam, kedua pas kamu sebarin fitnah ke OSIS. Dan yang ketiga… kamu coba jatuhin kita dengan ngusulin kita dimasukin tim lemah.”
Bingus terdiam. Matanya mulai berkaca. Tapi tak ada permintaan maaf. Hanya penyesalan yang terlambat.
“Nek wes ngene wes salah meh nangis, seng salah sopo?!”
“Persahabatan bukan soal siapa yang paling cerdas,” lanjut Tono. “Tapi siapa yang tetap tinggal ketika yang lain sibuk cari menang sendiri.”
Tanpa kata lagi, Dipo dan Tono pergi meninggalkan Bingus. Mereka tahu, luka itu tidak akan sembuh hari itu. Tapi mereka juga tahu, mereka tak butuh tiga orang untuk jadi kuat. Dua sahabat sejati masih lebih baik daripada satu pengkhianat berkulit teman, berhati pengkhianat.
Epilog
Di hari lomba, tim Bingus memang menang. Tapi sorak-sorai dari panggung tidak mampu menutupi ruang kosong dalam dirinya. Dipo dan Tono justru jadi bintang tamu di sesi “Duta Integritas” yang diadakan mendadak, karena video pidato persahabatan mereka viral di media sosial sekolah.
Dan di antara semua sorotan, Bingus hanya bisa berdiri di balik panggung.
Menatap dua sahabat yang dulu ia tinggalkan.
“Satu dusta menghancurkan segalanya. Dua sahabat yang patah bukan karena kalah, tapi karena dikhianati. Dan tiga pengkhianatan… membuatmu berdiri sendirian.”
“One lie can collapse an entire world.” – A very wise man.