Banyak orang menduga saya punya masalah besar dengan dokter. ‘Masalah’ dalam hal ini berarti pengertian negatif. Anggapan itu keliru total.
Saya justru punya hubungan yang baik dengan para dokter. Saya banyak belajar dari mereka. Dan sejauh ini, saya tidak pernah menghina profesi lain. Penulis, dokter, guru, tukang jual soto, tukang sate, presiden, semua sama. Kalau bekerja demi kebaikan, sama-sama mulia.
Tahun 2003 sd 2005, saya ikut penelitian kesehatan. Di sana saya berinteraksi dengan banyak dokter. Hingga suatu malam, seusai makan malam, saya bertanya ke seorang dokter: bagaimana metodologi dan piranti penelitian yang mereka lakukan sehingga bisa membuat konklusi: 80 persen penderita penyakit jantung itu karena merokok. Kemudian dokter tersebut memberitahu caranya:
Pertama, dipilih 10 penderita masalah jantung. Lalu ditanya, apakah mereka merokok? Jika ada 4 orang yang menjawab, mereka centangi. Lalu tanya lagi: apakah ada yang pernah merokok? Ada dua yang menjawab, centang. Diteruskan: apakah ada yang keluarganya merokok? Ada dua lagi, dicentang lagi. Ada 8 orang dari 10 penderita penyakit jantung yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan rokok. Kesimpulan didapat dari sana.
Malam itu saya bilang bahwa model penelitian itu mengganggu akal sehat saya. Mestinya, kalau mau adil, ambil 10 orang perokok, periksa mereka. Atau ambil 10 perokok dan 10 bukan perokok kemudian diperbandingkan. Kompleksitas variabel kuantitatif kesehatan orang tidak bisa disederhanakan seperti itu. Ketidaksetujuan saya yang lain, penelitian kesehatan tidak bisa kuantitatif saja, mestinya ada kualitatifnya.
Tapi dokter tersebut bilang: itu sudah ‘template’ dari atas. Tidak bisa diganggu. Semenjak itu saya sangat hati-hati dengan penelitian kesehatan.
Ketika istri saya mengandung Si Kali, saya ganti beberapa dokter supaya dapat dokter yang pas. Bukan yang lebih cerdas. Kadang kesehatan itu soal psikologis juga. Rasa nyaman istri saya terhadap dokter juga penting. Dari beberapa kali ganti dokter saya juga tahu hal baru. Misalnya, setiap dokter saya tanya pantangan makanan. Karena saya memang tidak tahu, saya sempat tanya: boleh tidak istri saya makan nanas?
Dokter tersebut menjawab: boleh dan bagus.
Saya tentu saja kaget. Bukankah konon orang hamil dilarang makan nanas?
Dokter itu menjawab, kisah itu tinggalan kolonial. Waktu itu, supaya perkebunan nanas tidak dicuri oleh kaum kita, maka dibuat mitos bahwa nanas muda (karena kalau tua kan sudah dipanen) akan membahayakan janin. Faktanya tidak demikian. Nanas bagus untuk orang hamil. Tentu saja nanas tua dan matang, ngapain menyiksa diri makan nanas muda yang masam. Sialnya kisah bahaya nanas buat kandungan dipercaya sampai sekarang.
Dokter yang lain pernah saya tanya, apa yang tidak boleh dikonsumsi istri saya?
“Anda dan istri muslim?”
Saya mengangguk.
“Kalau begitu jangan makan babi dan anjing.”
Saya ketawa ngakak. Intinya dokter tersebut bilang makan apa saja boleh, yang tidak boleh adalah makan makanan dengan cara berlebihan.
Si Kali punya dokter langganan. Karena kami rajin berinteraksi, akhirnya dokter tersebut tahu kalau saya seorang penulis. Suatu saat, ia meminta tolong untuk dibuatkan tulisan bahaya orang yang melarang mengkonsumsi garam dan gula.
“Sekarang orang-orang ini gila semua. Dikit-dikit dilarang makan garam. Dikit-dikit dilarang makan gula. Garam itu penting buat tubuh kita. Gula juga penting. Bahaya hanya jika orang tersebut dalam kondisi tertentu. Seruan itu tidak boleh bersifat umum.”
Saya mengangguk pura-pura paham. Tapi saya mengerti substansi apa yang dimaksud dokter tersebut.
Saya juga pernah berantem keras dengan dokter karena waktu itu istri saya dikondisikan agar mau memberi sufor ke Kali. Saya maki-maki dokter tersebut sampai ia pucat di depan banyak pasien dan di depan paramedis anakbuahnya.
Jadi saya tidak punya masalah dengan dokter. 🙂