Saat saya kecil, orangtua saya melarang minum kopi. Tapi sebagaimana sebuah larangan, malah menimbulkan rasa penasaran.
Saya tidak tahu persisnya kapan dan bagaimana melanggar larangan itu. Tapi saya bisa mengingat beberapa hal yang membuat saya akrab dengan minuman berwarna hitam pekat itu. Setiap kali nenek saya dari ibu datang berkunjung ke rumah, ia selalu dibuatkan kopi setiap pagi dan petang. Nenek saya termasuk orang yang memanjakan saya. Dengan dia, saya senantiasa bisa berlindung dan minta ayoman untuk melanggar aturan-aturan yang ada. Kalau pas orangtua saya tidak ada, saya meminta kopi bagian nenek saya. Dan ia selalu memberi dengan senang hati. Kalau kebetulan orangtua saya marah mengetahui polah tersebut, nenek saya selalu membela.
Maka, berkunjung ke tempat nenek, adalah sesuatu yang saya sukai. Baik liburan pendek maupun liburan panjang, saya selalu pergi ke sana. Jarak rumah saya dan rumah nenek saya sebetulnya tidak begitu jauh, hanya sekitar 30an kilometer. Di sanalah saya bebas melanggar setiap aturan. Saya bisa minum kopi dan bisa merokok dengan bebas, padahal saya belum lulus sekolah dasar.
Minum kopi juga akrab saya lakukan di langgar. Almarhum Pak Misron, kiai di langgar tersebut, selalu minum kopi. Setiap selesai salat Magrib, kami anak-anak kampung, duduk mengitarinya untuk mengaji. Di tangannya ada sebilah bambu kecil yang dipakai untuk melecut pelan ke paha anak didiknya, jika ada yang salah di dalam melafalkan ayat-ayat Al Qur’an. Lalu biasanya, di tengah mengaji, anak perempuan Pak Misron, kadang-kadang juga istrinya, akan datang membawakan segelas kopi. Di tengah-tengah prosesi mengaji itu, sesekali ia menyeruput kopi, yang aromanya sangat memikat itu.
Jika saat mengaji usai, sebentar kemudian, azan salat Isa’ dikumandangkan. Sholat jamaah dilakukan. Zikir sebentar, berdoa, lalu biasanya Pak Misron pergi meninggalkan musala. Gelas kopinya, seringkali tidak habis. Di saat itulah, kami berebut duluan untuk meminum kopi sisa. Menurut banyak orang, meminum kopi sisa guru ngaji akan membuat kami dapat berkah dan jadi anak pintar.
Saya biasanya selalu dapat. Karena biasanya saya yang diminta Pak Misron untuk azan, dan itu artinya, saya punya kesempatan untuk duduk di saf paling depan, persis di belakang Pak Misron.
Tetapi minum kopi paling intens saya lakukan saat saya sudah menginjakkan kaki di bangku SMA. Saya kos di kota Rembang. Jauh dari orangtua, membuat saya merasa lebih bebas untuk melakukan banyak hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan kalau berada di rumah. Merokok, minum kopi, ngamen, mabuk-mabukan, juga menulis di media massa, saya lakukan di fase-fase itu.
Minimal sebulan dua kali, saya mendapatkan honorarium dari media massa. Jumlahnya saya ingat persis: 20.000 rupiah. Uang sebanyak itu bisa saya pakai untuk menraktir mabuk-mabukan dan minum kopi teman-teman saya. Sebagai gambaran, saat itu harga vodka gepengan Bekasi, baru 3.700an rupiah; harga sebungkus rokok Gudang Garam atau Djarum tidak sampai 500 rupiah, mungkin sekitar 350 rupiah; harga secangkir kopi baru 250 rupiah.
Kopi yang saya sukai, terletak di Lasem, yang jaraknya hanya sekitar 12 kilometer dari Rembang, naik bus dengan membayar 200 rupiah. Kenapa harus di Lasem? Karena di saat itu, sudah menjamur kopi lelet, kadang disebut juga kopi cethe atau kopi bolot. Kopi itu dibuat dengan cara khusus, sehingga ampasnya bisa dipakai untuk menghias rokok dengan berbagai ragam hiasan yang indah.
Untuk mempermudah memahami soal kopi lelet, beginilah gambarannya. Bubuk kopi untuk lelet, ditumbuk atau diselep dua kali sehinga sangat halus, nyaris seperti tepung. Ketika kopi sudah diseduh, kita aduk. Lalu kita diamkan kira-kira 3 sampai 5 menit. Baru kemudian kopi itu kita tuang di dalam lepek sampai cairan hitam itu hampir memenuhi lepek. Kita diamkan lagi. Kali ini sebaiknya agak lama. ‘Sak rokok-an’ atau sekali merokok sebatang hingga habis. Barulah cairan itu kita minum pelan-pelan. Nanti akan tersisa ampasnya yang sangat halus di lepek tersebut. Nah, barulah kita habiskan masukkan tisu di lepek itu untuk menyerap sisa-sisa air. Hasilnya: bubuk kopi yang kental. Supaya agak tahan lama menempel di rokok, bisa kita kasih sedikit susu kental. Sedikit saja. Kemudian kita aduk pelan. Bahan utama nglelet atau nyethe atau mbolot sudah siap. Kini tinggal mempersiapkan alat yang dipakai untuk nglelet. Bisa sebatang lidi yang sudah diruncingkan ujungnya, bisa memakai silet, bisa juga memakai benang. Tergantung selera kita mau melukis dengan motif apa. Setelah semua siap, saatnya berkreasi!
Teman-teman saya menandai kalau saya suka kopi dari fase itu. Kebanyakan kawan yang lain hanya cukup memesan secangkir kopi. Sementara saya, langsung memesan dua cangkir kopi. Sambil nglelet, kami biasa melakukan banyak hal, dari mulai ngobrol, main karambol atau main catur.
Tahun 1995, saya kuliah di Yogya. Di kota inilah, referensi saya tentang kopi bertambah. Yogya saat itu tidak seperti sekarang, di mana kedai-kedai kopi bertebaran di mana-mana. Dulu kalau mau ngopi, cukup di kos atau kalau keluar ya di warung angkringan atau di kantin kampus. Kos pertama saya berlantai dua, lantai satu kebanyakan dihuni oleh orang-orang dari Sulawesi, sementara lantai dua banyak dihuni oleh orang-orang dari Sumatra. Dari sana saya mengenal semakin banyak jenis kopi, karena biasanya mereka akan membawa banyak sekali kopi dari kampung masing-masing untuk stok.
Tetapi yang paling membuat saya semakin mengilai kopi adalah karena saya dekat dengan dua orang, Steve dan Zakir. Steve dari Palembang, dan Zakir dari Mandar. Keduanya peminum berat kopi. Dalam sehari, Steve minum 6 sampai 8 gelas kopi. Sampai sekarang, saya bisa mengingat bagaimana prosesi dia dalam menikmati kopi. Steve merebus air, sembari merebus, ia menyalakan sebatang rokok. Begitu air mendidih, ia menyeduh kopi. Sebatang rokoknya habis. Kemudian ia menyalakan lagi sebatang, duduk mencangkung, segelas kopi diletakkan di lantai. Dia terlihat sangat menikmati hal itu. Dalam waktu kurang dari 15 menit, gelas kopinya sudah kosong, tinggal ampas. Sementara Zakir punya kebiasaan sendiri. Ia punya ceret besar. Pagi hari, ceret itu diisi kopi, gula dan air. Lalu direbusnya. Ketika sudah mendidih, ia akan meminum segelas. Kalau di siang, sore atau malam hari, ia mau ngopi, tinggal memanaskan lagi kopi di dalam ceret.
Di antara puluhan orang yang kos di tempat itu, saya menempati urutan ketiga soal kopi. Paling-paling saya ngopi hanya 3 atau 4 kali dalam sehari.
Pengalaman saya dengan kopi semakin menyenangkan ketika saya bergabung dalam keluarga Insist. Di sana, saya bertemu dengan para penyuka kopi seperti Pak Don Marut, Saleh Abdullah dan Pak Roem Topatimasang. Mereka bertiga sering minum kopi enak dari berbagai daerah. Tapi saya paling senang kalau Pak Don sudah membawa Kopi Manggarai dari kampung halamannya. Sampai sekarang, Kopi Manggarai tetap berada di jajaran kopi favorit saya.
Hampir bersamaan dengan itu, saya kenal dengan almarhun Mas Tanto, seorang aktivis pertanian. Ia juga sering berpergian ke banyak tempat, dan selalu membawa kopi. Biasanya, kalau ia pulang, pasti selalu mengontak saya, “Dik, main ke sini… Aku ada kopi enak untuk kamu.”
Kalau saya sedang berpergian, juga membawa oleh-oleh kopi untuknya. Pesan almarhum soal kopi sangat jelas dan dikatakan berkali-kali: Indonesia itu surga kopi, maka jangan minum kopi yang biasa-biasa saja. Maksudnya ‘kopi yang biasa-biasa saja’ adalah kopi kebanyakan yang dijual di toko-toko.
Saya juga beruntung punya sahabat baik yang tinggal di luar negeri, namanya Mas Sigit Susanto atau biasa saya panggil Kang Bo. Selain membuat saya gampang sekali jika ingin mendapatkan buku-buku dari luar negeri, ia selalu membawakan kopi dari berbagai negara. Maklumlah, ia gemar sekali melancong ke banyak negara. Tahun kemarin, ia bawakan saya 5 kopi dari 5 negara, tahun ini ia bawakan saya kopi dari 7 negara.
Jika saya berpergian, baik sebagai penulis, peneliti atau fasilitator, selalu saya memburu kopi. Saya rela ‘blusukan’ berjam-jam atau kadang berhari-hari hanya untuk berburu kopi di berbagai daerah yang saya kunjungi. Mungkin hampir seluruh jenis kopi di Indonesia dari Aceh sampai Papua, saya pernah mencicipinya. Kalau kebetulan saya jadi fasilitator workshop, saya selalu mempunyai permintaan khusus: kopi yang enak, dengan ‘ancaman’ kalau tidak ada kopi, workshop tidak berjalan lancar. Tentu saja itu gurauan. Tapi kebanyakan pasti direspons dengan baik.
Kini, ada begitu banyak kawan yang tahu kalau saya sangat menyukai kopi. Ada saja yang memberi oleh-oleh kopi enak dari berbagai daerah. Tetapi tidak jarang, bagi yang sedang tidak punya kopi, mengirimkan pesan, “Punya kopi enak?”
Pertanyaan itu jelas retoris belaka. Saya pasti punya. Di rumah kontrakan saya, minimal selalu ada beberapa jenis kopi dari berbagai daerah dan luar negeri. Saya, semoga tidak sombong, tidak akan berat hati untuk membagi kopi-kopi yang saya miliki untuk teman-teman saya. Saya bahkan kerap melakukan eksperimen kecil-kecilan, misalnya Kopi Bali dicampur dengan Kopi Jember; Kopi Aroma Bandung dicampur dengan Kopi Banaran; Kopi Semendo dicampur dengan Kopi Toraja; Kopi Lombok dicampur dengan Kopi Bengkulu; Kopi Merauke dicampur dengan Kopi Aceh. Kegiatan seperti itu saya anggap sebagai kegiatan yang menyenangkan, sama halnya seperti ketika saya memasak makanan.
‘Kegilaan’ saya kepada kopi membuat saya punya niat untuk membuat sebuah buku khusus tentang kopi di Indonesia. Gayung bersambut. Senior saya, Nezar Patria yang juga penyuka kopi ternyata ingin melakukan hal yang sama. Mbak Laksmi Pamuntjak, salah satu pakar kuliner, juga menyimpan hasrat yang sama. Jadilah kami mulai proyek penulisan kopi. Maka, saya mulai belajar bukan hanya mencicipi kopi belaka, namun dimensi lain dari kopi. Seperti dimensi sosial, sejarah, dan ekonominya. Hanya saja, karena kesibukan masing-masing kami, proyek ini tertunda.
Bagi saya, kalau sudah ada keinginan, pantang tidak menjadi kenyataan. Kemudian saya dipertemukan oleh dua sahabat saya, Arys Aditya dan Irsyad Zaki. Keduanya peminum kopi. Arys dari Jember dan Zaki dari Lombok.
Kami bertiga lalu sepakat untuk membuat situsweb tentang kopi. Situsweb ini sedang dibangun. Harapan saya, jika memang saya belum bisa membuat kopi, setidaknya situsweb ini bisa menjadi ‘target sementara’ untuk melangkah ke sana.
Indonesia memang kaya akan kopi. Maka, jangan tidak ada kopi di antara kita.
Yogya, 16 Agustus 2011