Saya, Kopi, dan Yogya

saya kopi dan jogja

Sejak kecil, saya suka kopi. Tapi orangtua saya melarangnya. Konon, kopi tidak baik buat anak kecil. Bisa kecanduan, katanya.

Tapi saya tidak kurang akal. Setiap nenek saya datang, beliau dibuatkan kopi oleh ibu saya. Karena nenek saya tahu saya suka kopi, beliau sering memberikan kopinya kepada saya dengan diam-diam. Kalaupun toh ketahuan orangtua saya, mereka berdua agak sungkan menegur nenek saya.

Saya memiliki kemerdekaan minum kopi sesuka saya ketika duduk di bangku SMA. Saat itu saya sudah ngekos. Selain dapat uang mingguan dari orangtua, saya juga sudah punya uang sendiri dari menulis di media massa. Jadi untuk urusan kopi dan rokok (walaupun masih SMA) cukup menyenangkan.

Kopi yang saya kenal saat itu adalah kopi Lasem atau kopi lelet atau kopi cethe. Kopi robusta yang digiling lembut, lalu ampasnya dipakai untuk nyethe di rokok. Aduuuh, nikmat sekali…

Baru ketika saya di Yogya, pengetahuan saya tentang kopi bertambah. Kos pertama saya di Terban. Lantai atas, hampir semua teman saya dari Sumatra. Sementara lantai bawah, rata-rata dari Sulawesi.

Senior kos saya, baik hati dan jagoan. Dia dari Palembang. Penyuka kopi yang sampai sekarang susah ditandingi siapapun. Dalam sehari, dia bisa minum kopi 7 gelas, cangkir besar. Kopinya: Kapal Api. Rokoknya: Gudang Garam International. Caranya menikmati kopi dan rokok, luar biasa. Kalau bang Steve menonton tayangan ini: salam hangat, sehat selalu.

Teman-teman di lantai bawah, yang rata-rata dari Sulawesi Selatan inilah yang sering memperkenalkan saya dengan kopi-kopi dari daerahnya. Saya mulai mencicip kopi lain selain kopi Lasem. Ya kopi-kopi dari Sumatra dan kopi-kopi dari Sulawesi. Yogya jelas bukan penghasil kopi, tapi memperkaya khazanah citarasa kopi di lidah saya.

Semenjak itu, saya suka berburu kopi dengan bertanya kepada setiap orang yang saya kenal. Saya juga mulai kenal kopi AAA dari Jambi, kopi Aceh, dll. Ingat, saat itu tidak ada kedai kopi yang menjamur di Yogya. Saat itu kalau mau membeli kopi ya di angkringan. Tapi kopinya gak kental dan terlalu manis. Di angkringan yang ada teh enak. Bukan kopi enak. Kopinya encer, gelas besar, dan rasanya manis sekali.

Saya kemudian mulai berburu kopi, terutama kopi-kopi dari Bali. Ketika saya sering ke Bali, saya mulai suka berburu kopi-kopi lokal di sana. Banyak sekali.

Kemudian hobi itu melebar ke mana-mana, di seluruh Indonesia. Setiap saya penelitian di sebuah daerah, salah satu yang saya buru selain kuliner daerah tersebut adalah kopinya.

Hingga tampaknya hobi saya menyesap kopi mulai tumbuh. Tahun 2007 atau mungkin 2008, saya ikut kursus cupping kopi di Puslit kopi dan kakao di Jember. Waktu itu biayanya lumayan mahal buat saya. Setahun kemudian, saya kursus barista di Ubud Bali. Mahal juga bagi kantong saya. Dan saya tidak pengen jadi barista. Saya hanya ingin lebih tahu soal kopi. Kala itu, kedai kopi di Yogya jg belum marak. Saya kalau berburu kopi-kopi yang enak harus ke Jakarta. Karena di kota itu mulai tumbuh banyak kedai kopi. Seingat saya, Yogya mulai marak kedai kopi itu di tahun 2010. Semenjak itu rasanya setiap hari ada kedai kopi yang buka dan ada juga yang tutup. Minimal, saya tak perlu pergi jauh untuk menyesap kopi.

Hingga kemudian sesuatu menimpa saya. Ternyata saya mengidap Aritmia, sebuah kelainan di detak jantung. Dan salah satu rekomendasi dokter adalah saya diminta tidak ngopi karena ngopi bisa memicu detak jantung saya lebih kencang.

Dunia rasanya kiamat. Saya ditikam kenyataan dari sudut yang paling tidak saya duga: tidak minum kopi.

Tiga tahun, saya tidak minum kopi. Kalau saya kangen, saya membuat kopi, tapi cuma saya hirup aromanya. Sesedih itu.

Hingga suatu saat, saya menemukan kopi decaf atau decafein. Kopi yang sudah dikuras komponen pentingnya: kafein. Padahal ya kafein itulah yang enak. Itu sama kayak rokok diilangi nikotinnya. Padahal itu yang enak.

Tapi ya gak apa-apa, daripada tidak ngopi sama sekali. Sehari saya mulai ngopi decaf ini secangkir kecil sehari. Hidup saya mulai segar kembali.

Lalu perlahan saya mulai berani minum sedikit demi sedikit kopi Arabika dengan model seduh V60. Ya sesruput dua sruput. Sesekali mulai minum cappuccino.

Dengan tetap berkonsultasi dengan dokter dan berazaskan kehati-hatian, saya mulai menambah porsi ngopi saya sedikit demi sedikit.

Sekarang sudah berani menyesap kopi kendati tdk seperti dulu lagi. Dan kopi sudah tidak saya bikin rumit seperti dulu. Asal ada kopi rendah kafein, itu sudah saya syukuri.

Ketika orang-orang mulai ada yang bilang anti-kopi saset, saya cuma tersenyum. Kopi kok dimusuhi. Kalau suka ya diminum. Kalau enggak ya gak usah diminum. Kopi pabrikan besar itulah yang menyerap terbesar hasil petani kopi di Indonesia. Hidup gak usah anti-antianlah. Anti-kopi saset, anti rokok, anti nasi. Ya kalau nggak suka ngrokok ya gak usah merokok. Gak suka nasi ya enggak usah makan nasi. Kok hidup kayak gak otonom. Mesti anti-antian. Kan keputusan ada di tangan kita sebagai pribadi yang otonom.

Saya pencinta kopi sejak kecil. Saya penikmat dan penghikmat kopi. Saya kursus dengan serius. Saya meneliti dengan serius. Tapi sekarang ke mana-mana kalau keluar kota, di mana saya merasa akan susah dapat kopi, saya selalu membawa Nescafe.

Ini kopi enak menurut saya. Dan sejauh ini tidak mengganggu atau memicu sakit saya.

Hidup yang biasa saja. Tidak usah sok rumit. Ngopi ya ngopi gak usah diberi terlalu banyak teori apalagi filosofi. Hidup sudah ruwet, jangan sampai karena urusan kopi saja menambah makin ruwet.

Kopi saset jg enak. Kalau anda gak suka ya gak apa-apa. Tapi saya suka.

Salam orang biasa

Artikel Terkait