Percakapan ini saya lakukan dengan seorang teman saya, ketika saya memperingati hari ulang tahun saya, beberapa bulan yang lalu. Selesai makan malam sekadarnya yang kami lakukan berdua, teman saya memberi saya pertanyaan sederhana. Pertanyaan yang lazim ditanyakan oleh seseorang di saat hari ulang tahun. “Seandainya kamu bisa mengulang waktu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, apa yang akan kamu lakukan?” begitu tanya teman saya.
Saya berpikir sejenak, lalu menjawab.
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, itu berarti saya sedang mempersiapkan waktu untuk masuk ke perguruan tinggi. Saya akan belajar dengan keras dan tekun. Saya akan masuk ke sebuah jurusan favorit, maksud saya favorit karena gampang kemungkinan untuk mendapat pekerjaan setelah lulus. Tidak seperti jurusan yang saya ambil kemarin saat kuliah, yang hanya berbekal rasa suka pada bidang tertentu. Begitu diterima, saya akan langsung mengikuti berbagai kursus bahasa asing, mungkin dua, bahkan tiga. Dan di sela-sela itu, saya juga akan mengambil kursus program-program komputer yang akan menunjang karir saya kelak. Saya tidak akan ikut kelompok studi tertentu, atau aktif dalam kegiatan politik mahasiswa. Saya tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu.
Menginjak tahun kedua, saya akan memilih pacar di fakultas yang berbeda, dari jurusan yang juga favorit. Ingat, dong….pemasukan istri juga penting untuk dipikirkan, jika kelak membangun rumahtangga. Pagi sebelum saya berangkat kuliah, saya akan mengampiri kekasih saya untuk sama-sama pergi ke kampus. Di saat makan siang, saya akan bertandang ke kampus kekasih saya untuk sama-sama makan siang, kadang saya menraktir dia, kadang dia menraktir saya, kadang bayar sendiri-sendiri. Ketika saatnya pulang, kami akan jalan-jalan sebentar untuk sejenak melepas lelah, mungkin enak sekali menikmati jagung rebus di pinggir jalan yang teduh. Setelah itu, kami menyelesaikan masalah kami sendiri-sendiri, mengikuti kursus-kursus yang berguna, atau mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Saat terjadi demonstrasi besar-besaran di tahun 1998, saya akan sesekali mengikuti. Syukur bisa bersama kekasih saya. Cukup romantis bergandengan tangan dengan kekasih di sela-sela teriakan protes. Kalau kepanasan, kami akan berteduh, kalau suasana memanas karena hadangan polisi, kami akan pulang. Di saat-saat seperti itu, paling nikmat minum coca-cola dingin, apalagi jika diminum berdua dengan berbagi sedotan….Srut..srut…srut…
Pacar saya lulus lebih dulu dengan predikat cum laude. Ia pergi ke Jakarta, bekerja di bilangan Sudirman. Sementara saya menyusul lulus kemudian, selang beberapa bulan, sekalipun tidak menyandang predikat cum laude, tapi dengan indeks prestasi yang cukup tinggi. Paling tidak, tiga koma lima, lah…..Setelah itu, saya menyusul kekasih saya untuk bekerja di Jakarta, mmm…sepertinya saya akan bekerja di bilangan Thamrin.
Saat istirahat siang, kalau cukup waktu, saya dan kekasih saya akan saling bertemu untuk sekadar makan siang bersama. Saat pulang, kami akan pulang berdua, mungkin sebelum pulang kami akan mampir dulu di kafe, atau di toko buku untuk sejenak melepas lelah, sekalian menghindari macet.
Pacaran tidak perlu lama-lama, karena kami harus berpikir soal anak kami kelak. Kalau kami menikah segera, tentu kami tidak akan kuwalahan dengan perkembangan anak-anak kami. Maksud saya, saat ketika kebutuhan anak-anak kami mencapai puncak-puncaknya, karir kami berdua juga sedang moncer-moncernya. Kami menikah di tahun kedua setelah kami bekerja.
Awalnya kami mengontrak rumah. Sebagian gaji saya dipakai untuk mencicil mobil, dan sebagian gaji istri saya dipakai untuk mencicil beli rumah. Selang beberapa tahun, ketika anak pertama kami sudah mulai tumbuh, cicilan mobil lunas, dan kami sudah menempati rumah mungil yang benar-benar milik kami sendiri.
Karir saya melejit, karir istri saya melompat. Mobil satu tidak lagi cukup buat kami, dan rumah kami terlalu kecil buat kami dan anak kami, yang makin bertambah jumlah mereka, dan makin bertambah umur mereka.
Dan inilah keluarga ideal di zaman modern. Umur saya dan istri saya belum empat puluh tahun, kami punya tiga anak yang lucu-lucu dan sehat, kami menempati rumah besar dengan dua mobil di garasi. Lalu kami butuh mengukuhkan diri bahwa kami mahluk yang beradab dengan cara ikut berbagai kegiatan sosial; membantu yatim-piatu dan orang-orang jompo, menyumbang pembangunan tempat ibadah dan para korban bencana alam.
Anak kami yang pertama masuk sekolah dasar yang tersohor kualitasnya. Uang bulanan untuk sekolah itu saja lebih mahal dari gaji sebulan seorang dosen. Anak kedua kami masuk TK yang juga terkenal. Uang bulanannya lebih mahal dibandingkan gaji seorang guru SD yang telah mengabdi selama dua puluh tahun. Anak ketiga kami masuk play-group yang juga ternama. Uang bulanannya lebih mahal dibandingkan jumlah gaji sopir pribadi kami dan pembantu di rumah kami.
Begitulah waktu beranjak, dan begitulah nasib berpihak pada kami.
Ketika anak pertama kami mulai masuk SMA, sudah kami persiapkan uang deposito di bank untuk keperluannya sehari-hari. Sedangkan untuk masa depannya sudah kami persiapkan dana investasi yang sudah kami rancang. Semua anak kami, hanya punya satu kepastian: mereka akan nyaman hidup, dan mereka akan berterimakasih kepada kami sebagai orangtua yang bertanggungjawab.
Kami adalah keluarga ideal untuk zaman modern. Menjelang pensiun, inilah daftar kesuksesan kami. Kami memang tidak kaya, hanya punya satu rumah besar, satu rumah kecil dan satu vila. Mobil kami juga tidak banyak, cukup satu mobil untuk satu anggota keluarga. Pendapatan sampingan kami juga tidak besar, kami hanya punya satu rumah makan, satu butik, dan beberapa puluh hektar kebun buah-buahan di luar kota. Uang kami juga tidak begitu banyak, tidak cukup untuk tujuh keturunan, tapi mungkin cukup untuk tiga keturunan.
Hanya orang tolol yang tidak tahu kalimat bijak ini: Kalau kamu lebih di satu hal, kamu akan kurang di hal yang lain. Jelas itu kami tahu, dan kami siap menanggung risikonya. Ada orang yang sakit hati karena karir mereka tersingkir dan tergusur akibat melejitnya karir saya dan istri saya. Kami tidak sempat merawat hobi dan kesenangan kami karena kami senantiasa kekurangan waktu. Kami baik dengan orangtua kami karena mereka kami beri cukup uang. Kami baik kepada anak-anak kami karena kami penuhi dengan uang. Kami baik dengan kawan-kawan kami karena kami rajin membantu soal uang. Hanya orang bodoh yang tidak tahu faedah uang.
Kami telah kehilangan banyak waktu di masa lalu, dan kini saat membayarnya. Kami ingin jalan-jalan dan berpetualang. Tapi ternyata kami sudah tidak punya tenaga lagi. Kami ingin rajin membaca buku dan mempelajari hal-hal yang baru. Tapi sayang kemampuan mata kami sudah terbatas, dan ingatan kami sudah soak. Kami ingin semakin berguna bagi masyarakat dengan lebih banyak mendermakan harta kami. Tapi setelah kami timbang-timbang dengan matang, uang tabungan kami sayang kalau dihabiskan untuk hal begituan, lagipula kami tidak mungkin memberantas kemiskinan dengan mengentaskan satu-dua orang. Kami ingin merawat cucu-cucu kami, tetapi anak-anak kami lebih mempercayakan anak-anak mereka diasuh oleh baby sitter dan tempat-tempat penitipan anak. Kami ingin meluangkan waktu untuk bercengkerama mesra dengan orangtua kami, tapi mereka sudah lama meninggal dunia. Kami ingin banyak berbincang dengan anak-anak kami, tapi yang selalu datang hanya hadiah-hadiah dari mereka. Kami ingin berbaik hati dengan teman-teman dan tetangga-tetangga, tetapi jarak kami sudah bergerak semakin jauh.
Jauh di dasar hati kami, hujan pertanyaan mengucur dengan deras: Jika kami mati, apa yang kami tinggalkan di dunia ini selain uang untuk anak dan cucu kami? Pertanyaan seperti itu semakin menajam menjelang tidur, juga ketika kami mulai sering sakit-sakitan karena usia tua. Kini, kami hanya punya rasa sepi.
Suatu saat, ketika saya dan istri saya merayakan hari ulangtahun saya yang ke-enam puluh, istri saya bertanya, “Seandainya kamu bisa memutar waktu, kira-kira empat puluh tahun yang lalu, apa yang akan kamu lakukan?”
Saya terdiam sejenak, merenung, lalu menjawab, “Saya tidak ingin memulai dari sesuatu yang akan membuat saya menjadi seperti ini….”
Istri saya memeluk saya sambil menangis. Ia merasakan apa yang saya rasakan. Kami adalah potret orang modern di usia senja, begitu cepat menapaki waktu, begitu cepat menjadi usang, telah begitu lelah, dan merasa hidup ini sia-sia.
Mendengar cerita saya itu, teman saya langsung menimpuk saya dengan gumpalan tisu, yang dari tadi diremas-remasnya ketika saya bercerita.
Saya hanya bisa tertawa cekikikan. Kik…kik…kik…
Puthut EA
9 Agustus 2006