Kabut turun pelan. Dingin merambat pelan. Cahaya senja susut pelan. Gerimis turun. Walaupun hanya sebentar, semua terasa menyejukkan. Magrib sedikit basah.
Shalawat Tarhim bergema. Aku masuk ke dalam kamar setelah menikmati sejenak semua yang terjadi di sebuah teras kamar hotel. Azan Magrib menyusul. Rus sedang keluar sebentar, katanya beli rokok. Tapi aku yakin sebetulnya dia makan. Aku tak pernah teratur makan. Kebiasaan sejak awal menjadi mahasiswa. Sementara Rus makan sehari 4 kali. Sekali makan selalu dua porsi. Jadi wajar selama bersamaku, kadang dia pergi sendiri untuk makan.
Tak lama kemudian istriku menelepon. Dia memberi kabar. Sedikit kabar tak bagus, dan banyak kabat baik.
Dia sedang sakit. Batuk. Cuaca Yogya memang sedang panas-panasnya. Konon sampai 37 derajat celcius. Sangat panas untuk ukuran Yogya. Banyak orang terserang sakit batuk.
Akhirnya dia periksa ke dokter bersama anak laki-lakiku yang berumur 3,5 tahun. Begitu masuk ruang pemeriksaan, anakku berkata ke dokter perempuan yang memeriksa, tentu dengan lidah pelo, “Dokter, Ibu sakit batuk. Obati dia, ya. Periksa dia, ya.”
Lalu dia berpaling ke istriku. “Ibu jangan takut diperiksa ya. Tidak sakit, kok. Supaya sakitnya cepat sembuh. Ibuk tidak boleh makan kerupuk. Nanti batuk lagi.”
Ibu Dokter kontan tertawa. Dan dia nyaris tak percaya kalau anak yang sedang dihadapinya baru berusia 3,5 tahun.
Usai berbagi kabar dengan istriku, aku membaca buku. Hendak bermalas-malasan. Tanpa dinyana, Cak Amrullah menelepon. Dia sedang berada di kota Batu. Kami berbincang pelan. Janjian. Juga aku ingin memberi kejutan kepada Rus.
Ketika Rus tiba, aku langsung bilang kepadanya: Rus, kita makan malam, ya…
Kami lalu keluar. Sekira 15 menit perjalanan, Rus sedikit heran dan akhirnya bertanya, “Ini mau makan ke mana, Mas?”
Ke Malang, Rus…
“Wah, jauh amat, Mas?”
Tidak begitu jauh, Rus. Hanya sejam perjalanan.
Rus diam. Dia menyetir. Kami tak banyak bicara. Sementara aku berhubungan dengan Cak Amrullah, wartawan gaek yang juga seorang bloger kondang. Mendekati pertigaan dekat pabrik rokok Bentoel, aku meminta Rus berjalan lambat. Hingga aku melihat seorang laki-laki dengan postur ramping, rambut agak gondrong dengan warna yang mulai memutih.
Berhenti, Rus…
Mobil berhenti. Aku keluar mobil dan menyapa hangat laki-laki berusia 48 tahun itu. Kami pun masuk ke mobil.
Rus, ini Cak Amrullah yang kamu kenal dengan nama Cak Mathari. Cak, ini Rus, dia mantan wartawan yang memilih profesi menjadi sopir. Dia pengagum tulisan-tulisanmu.
Rus kelihatan syok. Dia tidak mengira akan bertemu dengan idolanya. Sepanjang perjalanan, mereka ngobrol dengan hangat. Cepat akrab. Ternyata mereka berdua berasal dari kota yang sama: Situbondo. Semenjak saling tahu kalau mereka berdua dari kota yang sama, sesekali mereka bercakap dalam bahasa Madura.
“Kita mau makan di mana ini?” tanya Cak Amrullah.
Di Malang, Cak. Kamu dulu kuliah di kota itu, kan?
Cak Amrullah diam. Lalu pelan dia menjawab, “Aku keluar dari kota itu tahun 1990 Januari. Ketika menjadi wartawan, tahun 1995 aku kembali masuk ke kota itu lagi untuk sebuah liputan. Dan baru sekarang aku akan memasuki kota itu lagi.”
Ada nada sedih. Tak ingin hal semacam itu mengurung kami, aku bertanya sedang ada acara apa di kota Batu?
“Menonton acara Mata Najwa. Acara teve itu sedang tampil di publik secara langsung.”
Wah, kok sampai bela-belain datang ke Batu untuk menonton Mata Najwa? Aku bertanya dengan sedikit takjub. Kalau kamu menonton God Bless main, aku masih percaya. Ini menonton Mata Najwa?
“Soalnya Najwa Shihab cantik…”
Wih!
“Itu alasan pertama. Alasan kedua, aku kebetulan ada janjian dengan salah satu narasumberku di acara tersebut.”
Aku mengangguk. Kami memasuki kota Malang. Tampak Cak Amrullah tidak jenak. Berkali-kali dia menarik nafas panjang. Batuk. Kakinya bergerak-gerak. Sepasang tangannya mengusap berkali-kali ke rambutnya.
Kenapa, Cak?
“Boleh aku minta tolong?”
Kenapa, Cak?
“Kita putar balik saja.”
Aku memberi kode ke Rus agar putar balik. Tak lama setelah putar balik, Cak Amrullah meminta mobil minggir. Dia keluar, lalu merokok.
Kami berdua ikut keluar. Suasana agak ganjil. Tak ada yang bicara. Sepasang mata Cak Amrullah berkaca-kaca. Akhirnya dia bersuara:
“Ini kota yang menyakitkan bagiku… Tahun 1990 Januari aku keluar dari kota ini.”
Aku mencoba mendengarkan.
“Kejadiannya di awal bulan. Waktu itu, aku dan teman-teman kontrakanku minum-minuman keras. Kami semua mabuk. Seperti biasa, kami pun akhirnya tidur di kamar masing-masing….
“Tiba-tiba kami dibangunkan paksa. Aku bingung apa yang terjadi. Dan aku makin bingung ketika ada seorang perempuan hampir telanjang di antara kami. Orang-orang yang membangunkan kami adalah orang-orang kampung. Banyak di antara mereka yang membawa parang.”
Cerita berlanjut. Jadi ketika acara minum-minum usai, mereka tidur, salah satu orang yang ikut minum pergi. Dia pulang sambil membawa seorang pekerja seks. Mereka berhubungan intim di sebuah kamar, yang memang dibuat khusus untuk menyimpan buku dan melakukan salat.
Tak disangka orang kampung menggerebek. Mereka membawa polisi. Rambut mereka yang rata-rata gondrong dicukur paksa oleh polisi disaksikan orang-orang kampung. Lalu mereka diusir pergi.
Tapi tampaknya nasib tak berpihak ke mereka. Dua hari kemudian, muncul berita di koran lokal: 7 Mahasiswa usai mabuk-mabukan, melakukan pesta seks, dan pesta seks dilakukan di tempat sembahyang. Keesokan harinya lagi, muncul berita sambungan: Ketujuh mahasiswa itu berasal dari keluarga broken home.
Mereka bertujuh lalu dipecat dari tempat mereka kuliah. Cak Amrullah malu sekali. Apalagi dia dibilang dari keluarga broken home. Padahal bapak-ibunya tak punya masalah apa-apa. Semua itu karangan wartawan belaka. Berita didramatisir begitu saja tanpa ada upaya klarifikasi. Tidak ada pesta seks.
“Kalau dikeluarkan dari kuliah, mungkin bisa kuterima. Tapi yang susah kuterima adalah aku telah mencoreng muka dan harga diri ibuku.”
Semenjak itu Cak Amrullah pergi dari kota Malang, menanggung malu, dan bersumpah menjadi wartawan. Tapi sebelum pergi, dia mencari wartawan yang menurunkan berita itu, lalu diajaknya duel. Duel sengit terjadi. Si Wartawan babak belur sampai terjungkal di sebuah parit. Dan Cak Amrullah memukulinya sampai benar-benar puas.
“Sampai habis. Sampai hanya tinggal nafasnya. Dia masuk rumah sakit sampai sebulan.” ujar Cak Amrullah.
Dan itu belum cukup. Dia datangi kawannya yang membawa perempuan di kontrakannya.
“Tidak aku apa-apakan dia. Hanya kutendang keras sekali pas bagian kontolnya. Dia terlempar jauh ke belakang. Pingsan. Lalu kutinggal pergi.”
Kami diam. Suasana terasa sunyi walaupun lalu-lalang kendaraa sangat ramai.
Tidur mana, Cak?
“Belum tahu. Yang jelas tidak tidur di Malang.”
Tidur saja di hotel tempatku menginap.
Dia mengangguk. Kami bertiga lalu masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan ke hotel tak banyak obrolan.
Kami bertiga lupa makan malam.