Saya baru sempat menonton televisi malam itu. Kebetulan sedang ada acara talk show ILC yang dipandu oleh Karni Ilyas yang sedang membahas topik panas. Topik apalagi kalau bukan soal KPK dan Polri? Sayang, saya ketinggalan dua jam lebih. Acara itu hampir rampung.
Namun saya beruntung, setidaknya masih sempat mendengarkan pendapat Taufiequrachman Ruki. Saya tidak kenal orang ini. Jadi pendapat saya soal sosok mantan ketua KPK ini melulu saya dapat dari media massa.
Ruki membuka dengan pernyataan yang lugas sekaligus biasa: korupsi adalah kejahatan luar biasa. Kita semua tahu. Maka, lanjut dia, di situlah pentingnya KPK harus dibela dan dipertahankan. Lagi-lagi, kita juga tahu itu.
Tapi yang menarik kemudian dia bicara bahwa pimpinan KPK juga manusia biasa yang punya hasrat. Salah satunya hasrat “mulia” untuk berkuasa. Mulia. Karena menjadi penguasa pada konteks tertentu, adalah pekerjaan yang mulia.
Di sinilah persoalan muncul karena begitu hasrat itu ingin dipenuhi, bisa melanggar etika. Karena hasrat itu manusiawi, maka dibuatlah sistem agar para pimpinan dan orang-orang yang bekerja di KPK tidak terjerat untuk melanggar etika.
Sebagai seorang penulis dan peneliti, saya pernah sedikit bersinggungan dengan KPK dan merasakan sendiri waktu itu bagaimana etika ini dijaga. Pada level pimpinan tertentu, seorang pimpinan KPK tidak boleh sendirian. Harus ada pimpinan lain. Kenapa? Supaya ada saksi. Kalau Anda pernah mengikuti lokakarya tentang advokasi, lobi itu dalam ilmu advokasi boleh dan sah. Tapi ada aturan mainnya. Salah satunya tidak boleh dilakukan sendirian. Sebab ada potensi pelanggaran. Kira-kira mirip itulah aturan kenapa pimpinan KPK tidak boleh menemui orang sendirian.
Selain pernah menemui pimpinan KPK di kantor KPK, saya pernah dua kali bertemu deputi KPK di luar. Waktu itu di sebuah restoran di daerah Jakarta Selatan. Pertemuannya tentu saja dengan banyak orang. Sang Deputi sekalipun hanya minum es teh, dia tidak mau dibayari. Etika lembaganya melarang dia dibayari. Saya juga pernah bertemu dengan orang ini di bandara, pas dia sedang makan. Tentu dia dengan rombongannya. Saya sendirian. Malah saya yang dibayari.
Dari situ saya paham kenapa sistem dibuat dengan detail, supaya upaya pelanggaran tidak terjadi. Mungkin maksud Ruki mengatakan itu, dan saya mengalami hal itu.
Persoalannya, Ruki melanjutkan, pimpinan KPK yang sekarang kadang melakukan hal “aneh” yang mestinya dulu tidak boleh dan tidak layak dilakukan oleh pimpinan apalagi ketua KPK. Dia mencontohkan misalnya ketika Abraham Samad ikut talk show acara Mata Najwa di luar kota Jakarta bersamaan dengan para tokoh lain, yang tidak ada hubungannya dengan persoalan korupsi. Kira-kira Ruki bilang begini, “Itu apa-apaan? Itu tidak boleh!”
Lebih jauh kemudian laki-laki berambut putih yang usianya hampir 70 tahun itu mengakui, memang kadang di dalam pemberantasan korupsi, butuh “kebijaksanaan”. Dia mengibaratkan ada sebuah candi tua. Di dalamnya ada batu lain selain batu candi. Batu lain itu diibaratkan korupsi. Kalau diambil, candi itu bisa rontok dan hancur. Kalau tidak diambil, batu lain itu mengganggu. Maka di situlah, penegakan hukum butuh kebijaksanan, butuh strategi dan langkah yang tidak mudah.
Di forum itu Ruki juga mengakui bahwa sebagai mantan ketua KPK pun dia punya kekeliruan. Bahkan dia pernah diperiksa komite etik KPK. Saya agak lupa, kalau tidak salah kasusnya adalah dia dianggap melanggar kode etik tidak boleh bermain golf. Ruki kemudian juga meminta agar permainan-permainan lain dilarang. Termasuk renang, misalnya. Kenapa golf saja yang dilarang? Baru kemudian muncul aturan baru, dilarang melakukan aktivitas apapun dengan orang atau pihak yang ditengarai punya konflik kepentingan.
Jelas. Dari semua penjelasan Ruki, ada kejujuran di sana. Ada potensi manusiawi sekaligus upaya untuk mencegahnya. Bahkan dimulai dari hal yang sangat kecil: Kalau Anda pimpinan KPK, Anda dilarang ditraktir walaupun sekadar segelas es teh manis.
Persoalannya sekarang, apakah aturan-aturan kecil dan detil itu masih berlaku di KPK. Saya tidak tahu. Tapi soal acara Mata Najwa, semua orang tahu. Kalau tidak tahu bisa ditonton di Youtube. Jangan remehkan hal-hal kecil karena pelanggaran hal besar tidak serta merta terjadi. Semua niscaya melewati pelanggaran-pelanggaran kecil.
Maka kalau hal itu sudah dipahami, tidak ada lagi yang bertanya: Kalau memang Samad menemui orang-orang PDIP untuk melobi agar bisa menjadi wakil Jokowi, apa yang salah? Bukankah itu hak politik dia?
Dan tidak perlu lagi kita harus menjawab lebih dalam: Bagaimana jika harus dibarter dengan sebuah kasus?
Jangan sepelekan hal kecil. Saya saat itu sangat bangga dengan KPK hanya bermula dari segelas es teh.