Sehari Bersama Anak Kesayangan Tuhan

kuliner puthut ea

Siang belum begitu terik. Sisa-sisa matahari pagi masih menyinari halaman kantor. Sementara mobil berwarna

merah itu sudah mulai dipanaskan di bahu jalan. Saya sendiri masih belum tahu ke mana akan diajak bepergian. “Jadi kita nanti akan ke bengkel servis mobil dulu, makan, baru kemudian kita nonton,” kata seorang laki-

laki begitu ia duduk di belakang kemudi.

“Oke, siap mas!” saya yang duduk di sebelah kirinya menimpali.

Seperti biasa, Puthut EA dengan gayanya yang tenang dan santai selalu mudah mengajak siapa saja. Baik kepada yang lebih tua, sepantaran, atau yang jauh lebih muda seperti saya.

Mobil mulai berjalan. Obrolan-obrolan dalam mobil kali itu masih seputar warung-warung dan aneka kuliner yang dilewati di sepanjang perjalanan. Ada warung ikan manyung, mie ayam, sate kambing, soto bathok, hingga ikan bandeng. Sesekali obrolan berlanjut ke film-film terbaru yang sedang diputar di bioskop.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba saya teringat akan sosok yang sedang mengemudikan mobil itu. Tentang bagaimana dulu saya pertama kali mengenalnya, semua hadir begitu saja dalam kepala.

Kira-kira beginilah ingatan-ingatan itu.

Barangkali ada lebih banyak orang yang lebih dulu kenal Puthut EA melalui karya-karya fiksinya. Namun, tidak dengan saya.

Saya mengenalnya justru bukan dari karya fiksinya, melainkan melalui akun Twitternya lebih dulu. Saya memfollow @puthutea sejak gambar profilnya masih me- ngenakan kupluk berwarna hitam. Twit-twitnya yang se- ringkali menggelitik membuat beberapa orang yang saya follow meretwit akun yang di bionya hanya tertulis ‘anak kesayangan tuhan’ atau pernah ‘detektif partikelir’.

Karena penasaran, saya ketika itu bahkan sempat men- cari tahu lewat Google dan Wikipedia, siapa sebenarnya Puthut EA itu? Dan benar, namanya memang ada di se- buah halaman Wikipedia berbahasa Indonesia. Setelah membaca beberapa sumber yang lain, beberapa waktu kemudian saya baru tahu bahwa ia adalah salah satu aktivis mahasiswa gelombang 1998 yang sering ikut aksi di Jogja.

Pertemuan saya pertama kali dengan Puthut EA adalah saat ia meminta saya untuk memperbaiki situswebnya melalui seorang kawan. Ia pernah bercerita bahwa sudah beberapa kali ia merasa ditipu oleh pembuat situsweb dengan berbagai kelakar. Memperbaiki web yang tak pernah usai atau tiba-tiba ditinggal dan dibiarkan begitu saja oleh si pembuat. Saya baginya adalah orang kesekian yang bisa bertahan lama memperbaiki dan mengelola webnya hingga sekarang.

Banyak artikel lama yang harus dimuat ke situswebnya, sehingga saya sendiri justru mengenal tulisan-tulisannya lewat arsip di situswebnya. Baru kemudian saya mulai mencoba membaca buku-buku fiksinya, termasuk tulisan- tulisan nonfiksinya yang lebih sering ditulis lewat Facebook. Selain itu, banyak sekali karya cerita pendeknya yang menarik untuk disimak.

Satu karya fiksi yang memikat adalah novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Novel cinta yang memuat banyak kisah gundah gulana pencarian jati diri masa muda. Novel itulah yang membuat saya merasa perlu membaca tulisan- tulisan Puthut EA yang lain. Lepas dari benar atau tidaknya kisah dalam novel itu, saya justru melihat isinya sebagai penggambaran kisah hidup penulis.

Ingatan-ingatan itu buyar begitu ia menawarkan untuk mencari warung makan. Sementara sebentar lagi kami akan segera sampai di lokasi servis mobil.

“Dit, kita mau makan apa, makan sate atau soto?” “Wah, warung sate yang enak sepertinya sudah kelewatan tadi, mas. Jadi sebaiknya kita cari makan sambil nunggu antre saja nanti.”

“Oke, kita makan soto Klaten di seberang jalan situ saja ya”

Akhirnya kami bergegas ke warung soto itu sembari menunggui proses servis mobil yang makan waktu berjam- jam. Di sela-sela waktu itu kami banyak ngobrol soal

beberapa pekerjaan yang melibatkan kami. Soal Mojok, soal Fandom, juga soal Mojok Store.

Sebelum mengenalnya lebih jauh, pikir saya dulu Puthut EA adalah pribadi yang serius dan sulit diajak bercanda karena punya latar belakang sebagai seorang aktivis. Ternyata dugaan saya salah. Ia justru orang yang mudah bergaul dengan siapa saja. Punya banyak jaringan pertemanan yang sekali waktu akan dikenalkan kepada kami-kami yang masih muda.

Selalu ada hal-hal menarik jika berbincang dengannya. Menghabiskan malam-malam yang panjang dengan ber- gelas-gelas kopi dan kepulan asap. Dari obrolan-obrolan yang ringan sampai yang berat.

Ia bisa tiba-tiba melempar pertanyaan semacam ini ‘Dit, kamu kalau pacaran ke mana saja?’, ‘Dit, kenapa kamu bisa putus sama pacarmu?’, atau ‘Dit, kenapa kamu suka musik Peterpan?’. Jenis pertanyaan jebakan agar bisa dikomentari lebih jauh. Apalagi jika kami sedang nongkrong bareng bersama teman-teman yang lain. Pembicaraan bisa pecah, diselimuti dengan canda tawa yang meriah.

Hari menjelang sore saat servis mobil usai. Ia kemudian mengajak saya untuk berburu kuliner mie ayam, satu jenis makanan favoritnya. Tanpa pikir panjang, kami langsung bergerak ke arah selatan Jogja, menuju warung makan mie ayam terlezat seJogja: mie ayam Bu Tumini. Semangkuk mie ayam dengan bumbu saus pekat ditambah segelas teh anget menjadi santapan yang pas di sore itu.

Seharian itu kami akhiri dengan menonton film di bioskop. Orang sudah bisa menebak selera filmnya, film aksi

kriminal dan detektif ala Hollywood. Sebagai penyuka film The Godfather, ia bukanlah jenis penyuka film superhero atau fiksi sains, apalagi film animasi dan film Indonesia.

Film ‘Live by Night’ yang dibintangi oleh Ben Affieck (memerankan Joe Coughlin) menjadi pilihan terbaik malam itu. Film aksi kriminal yang bercerita tentang persaingan antar gangster untuk menguasai kartel perdagangan barang-barang ilegal.

“Filmnya bagus banget ya. Skenarionya gak biasa, bisa menggabungkan beberapa potongan cerita ke dalam satu kisah yang utuh,” komentarnya atas film itu.

Hari sudah larut malam dan mobil dipacu kembali ke utara. Di dalam mobil yang dingin itu saya hanya menunggu dan mendengarkan komentar-komentarnya atas film itu. Seperti halnya orang lain yang suka membaca isi status- status Facebooknya yang mencerahkan dan terkadang punya analisis yang masuk akal.

Puthut EA bagi saya adalah kawan diskusi yang me- nyenangkan. Seorang ‘guru’ yang darinya saya mendapatkan banyak pengalaman. Seorang kakak yang banyak memberi nasehat dan pelajaran berharga buat kami-kami yang berusia lebih muda. Seorang pemimpin yang lihai mengatur strategi bertahan dan menyerang layaknya pelatih sepak bola.

Selain kepiawaiannya dalam menulis, ia bagi saya adalah seorang pebisnis yang bisa diandalkan dan berani mengambil keputusan dengan segala risikonya.

Selamat berulang tahun ke-40, Mas. Usia kepala empat yang bagimu ingin memulai masa istirahat dan melepas hal-hal yang sudah dirintis sejak lama.

Semoga ketabahan dan hal-hal baik selalu menyertai di setiap langkah menuju pagi yang cerah. Saya merasa harus berterima kasih untuk semua ini dan sangat beruntung bisa mengenal seorang Puthut EA. Tak hanya pada hari itu saja, tetapi juga pada hari-hari yang lain.

Artikel Terkait