Di dalam dunia kopi, banyak orang kadang kala membaurkan dua hal yang sangat berbeda: selera dan harga. Penjelasannya sebetulnya agak mudah jika dicontohkan di hal lain. Durian, misalnya.
Ada durian kecil, sedang, dan besar. Rasanya juga macam-macam. Ada durian kecil tapi manis. Manisnya pun macam-macam, dari manis biasa sampai manis yang bikin eneg. Ada juga durian kecil yang rasanya pahit. Pahit pun bermacam-macam, ada yang pahitnya sedap, ada yang ya pahit lah. Belum dagingnya. Ada durian kecil yang tipis dagingnya. Ada yang teksturnya mudah mblenyek. Demikian juga durian sedang dan besar. Mirip sama durian kecil.
Sekarang soal selera. Ibu saya suka durian kecil, tekstur daging agak mblenyek, dan ada rasa pahitnya sedikit. Bapak saya suka durian besar dengan biji kecil, tidak terlalu manis, dan teksturnya yang masih agak kenyal. Sementara saya, terserah deh, saya doyan durian, tapi tidak dalam kategori suka banget, sehingga mau kecil atau besar, mblenyek atau kenyal, manis atau agak pahit, paling saya makan hanya beberapa pongge saja.
Namun, dalam dunia perdagangan, durian yang mahal jelas kategorinya: besar, manis, bijinya kecil, tidak mblenyek, dll. Apalagi jika persediaan durian seperti itu terbatas. Sementara permintaan tinggi. Mulailah masuk dalam variabel lain yakni persediaan-permintaan plus kelangkaan.
Biji kopi juga begitu. Citarasa kopi, arabika tentu saja, lebih rumit dari durian. Tentu saja kesukaan orang makin berbeda. Tapi kopi berharga mahal punya ciri-ciri tertentu. Perdagangan kopi dunia sudah membuat kategori masing-masing. Jadi, kopi yang kita sukai, belum tentu harganya mahal. Karena suka kopi tertentu itu soal selera, sementara harga kopi ditentukan oleh hal yang berbeda. Termasuk keterbatasan dan kelangkaan.
Soal rasa, kita tak perlu berdebat. Soal harga, soal harga kalau kita berdebat juga kadang percuma. Karena yang menentukan harga, variabelnya juga banyak, dan disusun berpuluh bahkan lebih dari 100 tahun lalu.
Jadi wajar jika sebetulnya kopi Blue Tamblingan ini nisbi mahal bahkan di antara kopi premium lain. Biji kopinya besar. Citarasanya khas dan kuat karena dalam ketinggian tertentu, cuaca tertentu, tanaman sekitar yang juga tertentu. Selain itu, faktor lain adalah kelangkaan. Karena di lahan dengan karakter tertentu itu, hanya memungkinkan menghasilkan biji kopi basah sebanyak 2 ton saja. Terlalu sedikit jumlahnya untuk diburu oleh para pencinta kopi premium di seluruh dunia.
Hanya saja, Bli Putu Ardana masih menjual di taraf ‘biasa’. Sebab selain beliau ini sudah banyak uang, kopi baginya adalah persembahan dan cara bersilaturahmi. Silaturahmi sebagai kawan yang berprofesi sebagai wiratani. Serta persembahan dari Munduk untuk pencinta kopi seluruh dunia.
Saya pernah ditanya, apakah mungkin kekhasan Blue Tamblingan diterapkan di biji lain?
Jawaban saya, kalau pola tanam, pasti bisa. Kalau ketinggian, sepertinya mungkin. Tapi bagaimana dengan cuaca dan iklim? Bagaimana mengatur di jam tertentu, pohon kopi terkena sinar matahari pagi. Bagaimana mengatur uap air dari sebuah danau di jam tertentu menguap dan aliran uap-nya menerpa pohon-pohon kopi itu? Bagaimana cara mengatur kelembaban alam semacam itu?
Jawaban lain adalah kenapa harus ditiru rasanya. Setiap kopi dengan biji yang sama jika ditanam di tempat yang berbeda, rasanya pasti berbeda. Bukankah karakter kopi seperti itulah yang membuat Indonesia kaya akan ratusan citarasa kopi arabika? Bahkan paling kaya di seluruh dunia?
Kenapa harus dibuat sama? Yang perlu ditingkatkan adalah standar tertentu misal: cara budidaya supaya optimal, berkelanjutan, dan punya dampak ekologis yang baik; atau proses petiknya sehingga bisa di harga optimal dan nyaris bisa dipanen dalam kurun lama; proses pasca-panen sampai branding dan penjualan.
Salam sruput penggemar berat Blue Tamblingan…