Aku bangun pukul satu dini hari, di malam satu Suro. Sebagai orang Jawa, aku merasa getun.
Mestinya, aku tidak tidur. Melekan. Dan mestinya lagi, untuk kali ini, aku pergi ke Samigaluh. Kalau perlu menjalankan laku tirakat tertentu. Biasanya begitu. Bertahun-tahun yang lalu selalu begitu. Hanya malam ini, yang entah mengapa, aku tertidur lama sekali. Kemudian kuingat rentetan dini hari di sebuah rumah, di kompleks perumahan dosen UGM di Bulaksumur.
Tak seperti bayanganku, obrolan tujuh orang, delapan jika ditambah aku, tak membosankan. Sekalipun diawali dengan hal yang tidak mengenakkan hati, sebab salah seorang di antara mereka bisa menebak kejadian apa yang barusan kualami di bioskop XXI.
Obrolan itu menarik sebab dibuka dengan sebuah pertanyaan, mungkin juga paparan, mengenai kenapa banyak leluhur kita, orang-orang tua zaman dulu, bisa tahu kapan akan dijemput maut. Banyak di antara mereka yang sempat mengumpulkan anak, cucu, cicit, membersihkan badan, lalu memberi wasiat dengan jernih dan terang, dan tak lama kemudian seperti tertidur. Ternyata sudah meninggal dunia. Bahkan orang seperti Ronggowarsito, jauh hari sudah memberitahu kapan persisnya dia akan mati.
Kematian memang rahasia Tuhan. Jika kita percaya Dia ada. Tapi rahasia itu oleh banyak orang di masa lalu, bisa didekati dengan presisi.
Obrolan itu sungguh menarik. Mereka berbicara dalam bahasa campuran, kadang Bahasa Indonesia, kadang juga Bahasa Jawa. Dari cara bicara, sampai isi omongan mereka, aku sungguh sadar, mereka orang-orang terpelajar. Sesekali, kalau perlu sekali, mereka menyebut nama para filsuf dari berbagai penjuru dunia, lengkap dengan judul buku, dan itu semua dilakukan dengan tepat eja dan tepat lafal. Menunjukkan bukan semata pengetahuan mereka yang hebat, namun juga penguasaan bahasa asing yang bagus.
Aku hanya sebagai pendengar. Ikut tertawa ketika ada yang lucu.
Ketika mendekati pukul 3 pagi, mendadak aku merasa ada yang sedikit ganjil. Ketika benar-benar kuperhatikan raut muka, bentuk tubuh, dan gestur mereka, ternyata orang-orang itu memiliki kemiripan dengan orang-orang yang kutemui beberapa hari belakangan ini.
Tiba-tiba ada yang mirip Rus, sopir yang pernah minum cairan baygon ketika patah hati. Tentu Rus dengan usia hampir 60an tahun. Ada yang mirip sekali dengan Cak Aam. Dari mulai suaranya sampai cara memasang dan mencopot kacamata plusnya. Tentu Cak Aam dengan usia 60an tahun. Ada juga yang mirip Eka Pocer, penjual buku online. Tentu saja Eka Pocer dengan usia 60an tahun. Ada yang mirip Don, wartawan yang memanduku mengenali kasus Salim Kancil. Tentu Don dengan usia 60an tahun. Ada juga yang mirip sejarawan sekaligus paleograf yang memberiku informasi tentang dunia di Timur. Tentu dia dengan usia 60an tahun.
Hanya ada dua orang yang benar-benar tampil tanpa ada kemiripan dengan siapapun. Sosok pertama adalah kawanku yang mengajakku hadir di forum ini, dan sosok satu lagi yang menebakku. Sosok terakhir ini tampaknya yang punya rumah. Orang-orang di forum itu menyebutnya dengan nama: Tan. Akhirnya, aku memanggil dia dengan: Om Tan. Aku tak tahu nama lengkapnya, dan aku pikir tak penting-penting amat tahu nama lengkapnya.
Tapi kemiripan orang-orang di pasamuhan itu dengan kawan-kawanku sungguh sangat menakjubkan.
“Datang ya di Samigaluh nanti malam, pas malam satu Suro. Kami juga akan datang. Ada banyak yang datang.” ajak temanku.
Om Tan tersenyum. Giginya rapi. “Tidak usah diiyakan atau ditolak. Nanti ada yang memandumu untuk datang atau untuk tidak datang…” ucapnya datar.
Aku mengangguk mantap. Aku akan datang.
“Kalau misalnya tidak jadi datang karena satu hal, tak usah menyesal atau merasa bersalah.” Om Tan menanggapi omonganku masih dengan nada datar.
Aku akan datang, Om.
Om Tan tersenyum. Tapi aku merasa dia bilang, “Ah, kamu pasti tidak akan datang.”
Dan hal seperti itu sempat membuatku agak tersinggung. Tapi aku kembali tenggelam dalam obrolan yang menarik. Tentu masih sebagai pendengar.
Ketika azan Subuh terdengar, aku pamit pulang. Tampaknya mereka bakal meneruskan obrolan sampai pagi. Om Tan mengantarku sampai keluar rumah. Dia menyalamiku sambil berkata, “Kalau misalnya nanti malam tidak jadi datang, aku ucapkan: Selamat tahun baru Jawa, ya…”
Kembali aku agak tersinggung. Segera kujabat tangannya erat. Nanti malam aku akan datang, Om!
Lagi-lagi dia tersenyum. Senyum yang ramah tapi seakan jelas tersampaikan di sana: Kamu tak akan datang.
Sampai di rumah, hal pertama yang aku kerjakan adalah menulis pesan kepada istriku supaya aku dibangunkan pukul dua siang. Sebab aku mau pergi. Pesan itu, untuk kali pertama, aku tulis via pesan pendek, aku tempel di meja kerjanya, dan aku tempel di pintu kulkas. Sebelumnya, aku tak pernah senorak dan berlebihan seperti itu.
Kemudian aku masak mi instan goreng, lalu tidur.
Aku dibangunkan istriku persis pukul dua siang. Tubuhku terasa sangat segar. Langsung aku mandi, makan siang, kemudian berangkat menuju Samigaluh dengan membawa kertas undangan. Karena di undangan itu ada alamat yang harus kutuju. Alamat tempat acara dihelat.
Nyaris tidak ada halangan yang berarti. Jalanan Yogya yang biasanya ramai tampak agak lengang. Keluar dari kota Yogya, aku berhenti di sebuah toko swalayan kecil, membeli beberapa botol minum, dan tiga bungkus rokok. Ketika aku masuk mobil, tiba-tiba terasa mengantuk sekali. Aku melihat jam tanganku. Baru pukul 4 sore lebih sedikit. Samigaluh, paling lama 30 menit lagi dari tempat ini. Akhirnya aku memutuskan bersandar di jok mobil, memejamkan kepala sejenak.
Tapi begitu aku bangun, aku langsung terkejut. Jam tanganku menunjukkan pukul satu, dan aku masih berada di rumah. Di kasurku. Oh, aku terbangun sendiri sebelum istriku membangunkan. Aku sempat bermalas-malasan sejenak sehingga aku kaget ketika melihat ke arah jendela. Kok tak ada cahaya di balik jendela? Seperti sudah gelap? Apakah mendung?
Aku bangkit cepat. Membuka tirai jendela, dan aku syok: di luar gelap. Ini jam satu malam!
Aku keluar kamarku, membuka pintu belakang untuk memastikan. Benar, hari telah malam. Aku lemas. Campur dongkol. Lalu aku masuk ke kamar anakku. Kulihat istriku sedang tidur pulas di samping anakku.
Pelan aku bangunkan istriku. Dia bangun. Aku meraih gelas minum dan kuulungkan ke istriku. Dia minum dengan tenang. Baru kemudian aku bertanya, setengah marah: Kenapa dia sampai tidak membangunkanku?
Istriku kaget. Dia agak bingung. Lalu dia keluar kamar. Duduk di ruang televisi. “Maksudmu aku tidak membangunkanmu itu bagaimana, Mas?”
Kamu kan sudah kukasih pesan agar membangunkanku pukul dua siang. Sekarang jam satu malam lebih.
Istriku mengernyit. Lalu bilang, “Lho, aku membangunkanmu…”
Aku makin emosi. Lho, ini buktinya aku baru bangun tidur?
“Maksudmu bagaimana sih, Mas? Kamu itu sudah bangun, sudah mandi, sudah pergi naik mobil. Bahkan sempat makan sebelum berangkat!” Istriku juga agak emosi.
Apa?
“Kamu mungkin sudah pulang, terus tidur… Lalu bangun lagi.” ucap istriku mulai melembutkan suaranya.
Apa? Aku tadi siang pergi?
“Iya…”
Ke mana?
“Ke Samigaluh, kan?”
Aku linglung. Kamu tidak bohong kalau aku tadi pergi?
“Masyaallah, masak aku bohong sama kamu?”
Istriku lalu membuka pintu belakang. Menggeretku. Dia menunjukkanku tempat cucian piring? “Piring kita makan berdua masih ada. Belum aku cuci.”
Dia lalu mengambil handukku. “Ini handukmu masih basah!”
Aku segera keluar rumah. Vespa kuhidupkan, lalu menuju pos satpam. Ternyata giliran Pak Kris yang jaga. Dia sedang terkantuk-kantuk sambil menonton televisi.
Pak Kris…
Dia membuka matanya dengan cepat. Lalu tersenyum saat melihatku. Aku sempat berpikir agak keras, bagaimana cara bertanya yang tepat agar dia tak curiga?
“Ada apa, Pak?” tanya Pak Kris dengan ramah.
Mmm… di kampung sekitar sini ada pertunjukan wayang malam satu Suro?
Pak Kris diam sejenak. “Sepertinya tidak ada, Pak…Kalau melekan biasa, banyak sekali, Pak.” Dia lalu menyebut beberapa kampung terdekat berikut tempat melekan.
O ya sudah, Pak Kris… Kalau ada wayang kulit, waktu sekarang ini pas bagus-bagusnya…
“Iya, Pak. Biasanya pas adegan Goro-goro ini…”
Pak Kris tadi pas saya pulang sekitar jam berapa, ya?
“Belum lama, Pak. Mungkin sejam yang lalu.”
Rasanya aku mau pingsan. Segera aku pamitan kepada Pak Kris. Sampai di rumah, istriku masih duduk di sofa depan televisi sambil menatapku heran.
“Kamu kenapa? Kok wajahmu pucat sekali? Masuk angin?”
Aku diam. Lalu masuk lagi ke kamar. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang kualami. Ini mengerikan sekali.