Seorang lelaki yang sedang menyepi di sebuah tempat dengan didampingi oleh seorang sahabatnya, ketika menjelang pukul dua dinihari, memutuskan pergi ke masjid terdekat. Mereka berdua menerobos hujan deras.
Di masjid itu, hanya ada seorang laki-laki agak sepuh, sedang berzikir seorang diri. Ketika kedua orang itu memasuki masjid, laki-laki itu menoleh dan tersenyum.
Setelah kedua orang yang baru datang itu memperkenalkan diri, ketiganya lalu duduk mengobrol di teras masjid. Hujan masih turun dengan deras.
“Pak, saya tidak tahu harus bicara dengan siapa. Tapi malam ini tadi, hati saya terdorong untuk datang ke masjid ini, dan bicara dengan siapapun yang ada di sini. Semoga saya tidak merepotkan dan mengganggu ibadah Anda…”
“Silakan, Nak… Semoga saya bisa membantu. Setidaknya membantu menjadi pendengar…”
“Saya sudah kena serangan jantung dua kali. Tidak ada yang tahu. Istri saya tidak tahu. Orangtua saya tidak tahu. Sahabat-sahabat saya tidak tahu. Satu-satunya orang yang tahu hanyalah teman saya ini,” ujar laki-laki itu sambil menolehkan kepalanya ke sahabatnya yang diam tertunduk. “Itu pun saya memberi pesan kepada dia agar tidak mengatakan kepada siapapun. Dan menjawab tidak tahu jika kelak ditanya oleh siapa saja. Biarlah sakit saya menjadi rahasia saya dengan Tuhan.”
Hujan makin deras. Tampiasnya sesekali mengenai tubuh mereka bertiga.
“Ketika serangan jantung yang kedua datang, saya dilarikan teman saya ini ke rumahsakit. Setelah menjalani perawatan intensif, saya sadar diri. Tiba-tiba saya punya kesimpulan: jatah hidup kita mungkin diberikan Tuhan lewat berapa banyak detak jantung kita. Apakah benar pemikiran saya itu, Pak?”
“Mas, saya ini bukan orang yang tahu soal ilmu kesehatan. Saya hanya seorang takmir masjid…”
“Tapi tentu Anda punya pendapat. Rasanya tidak mungkin saya menerjang hujan malam-malam begini, jika memang tidak ada yang menggerakkan saya dan teman saya ke sini…”
Laki-laki sepuh itu menarik nafas panjang. Dia lalu berkata, “Mas, saya bisa salah. Setahu saya, Tuhan memang mencintai orang-orang yang berjiwa tenang. Mungkin orang-orang semacam itu, punya detak jantung yang lambat. Detak jantung yang cepat terjadi karena kekhawatiran. Kalau dalam piwulang Ki Ageng Suryomentaram: “getun” dan “sumelang”. Getun itu terkait masa lampau. Sedangkan sumelang itu terkait masa yang akan datang…”
“Pak, sebetulnya saya tidak takut mati. Toh semua orang pasti mati. Hanya saja, anak saya masih kecil. Terus bagaimana kehidupan anak dan istri saya kalau saya meninggal dunia?”
“Bukankah pada tiap-tiap nyawa sudah ada jaminan rezeki dari Tuhan, Nak?”
“Ya, tapi sebagai seorang bapak dan seorang suami, salahkah kalau saya berpikir dan khawatir soal itu?”
“Tentu tidak salah, Nak. Itu wajar terjadi. Namun kekawatiran-kekhawatiran itu mungkin justru akan makin mengganggu kesehatan Anda. Lagi pula, Nak… Mati itu memang urusan sederhana. Yang tidak sederhana itu adalah setelah kematian. Kalau setelah kematian tidak ada apa-apa lagi, sungguh mati itu perkara sederhana. Masalahnya, akan ada sesuatu setelah kematian…”
“Lalu bagaimana agar saya bisa berjiwa tenang, Pak?”
“Belajar ridha dan ikhlas, Nak…”
“Ridha dan ikhlas itu tidak mudah, bukan?”
“Kalau mudah, Tuhan tidak menghargai kedua sifat itu dengan begitu mulia.”
Hujan terdengar mereda. Tapi tidak lama kemudian deras lagi.
“Bagaimana caranya agar saya belajar ridha dan ikhlas, Pak?”
“Seperti ketika Anda tetap menuju ke sini, sekalipun hujan deras, dan tidak tahu pasti apakah ada orang di masjid ini atau tidak.”