Oooh… Ini yang namanya Alfa?” begitu ucapnya ketika pertama kali kami berjabat tangan saling memperkenalkan diri. Saya hanya mengangguk dan tersenyum kecil, sembari berfikir mungkin dulu dia pernah dengar nama saya, mungkin.
Tahun 2012 kira-kira waktu itu, bertemu di Salemba untuk membicarakan sesuatu yang cukup serius. Seorang kawan lama bernama Panel Barus mengajak saya bertemu dengannya membicarakan soal isu kretek. Sebelumnya yang saya tahu soal kretek ya hanya mengisap dan menikmatinya, tak lebih.
Ternyata perihal tembakau dan cengkeh itu punya aspek yang cukup banyak, menyangkut jutaan orang yang hidup dari hulu hilir kretek, dan sedang terancam kelangsungan kehidupannya karena kampanye dan kebijakan antirokok. Dan mulai saat itu, bergabunglah saya bersama Komunitas Kretek.
Namanya memang kerap kali saya dengar dalam ber- bagai kesempatan. Pertama dia sebagai seorang penulis cerpen, dan kedua dia sebagai ketua presidium pertama di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), organisasi non-formal yang saya ikuti ketika masih aktif di kampus. Namun saat saya aktif di organisasi itu, dia sudah tak lagi menduduki posisi itu, sehingga tak pernah juga mengenal dan bekerja sama dengannya.
Dia sebagai penulis cerpen juga hanya saya dengar- dengar dari orang saja, saya tak pernah membaca satupun cerpennya, hanya tahu beberapa judul cerpennya saja. Bukan karena meremehkan cerita fiksi karyanya, tapi lebih karena saya memang tak menikmati membaca cerpen. Pernah membaca beberapa cerpen saat SMA dulu, lalu saya berganti membaca buku-buku tentang tokoh-tokoh revolusioner saat kuliah. Buku bacaan yang mengantarkan saya menjadi bagian dari organisasi mahasiswa yang berbedera Merah itu. Sekian tahun setelah tak lagi menjadi anggota LMND dan sejak bergabung dengan Komunitas Kretek lah saya mulai mengenalnya. Bukan saja hanya mengenal, namun juga bekerja sama membawa misi untuk mempertahankan kretek sebagai warisan budaya nusantara dari serangan modal asing yang dibawa oleh industri farmasi. Kerja bersama yang mengubah pertemanan itu menjadi perkawanan.
Andai dulu saya membaca cerpen-cerpen karyanya, mungkin ketika bersua, berjabat tangan lalu akan menjadi teman atau penggemarnya, bukan seorang kawan. Ber- syukur saya memilih membaca buku-buku yang sedikit banyak berbobot cukup berat, sehingga perjalanan memilih kami untuk berkawan.
Kiprahnya di masa lalu saya dapatkan dari cerita orang-orang terdekat. Diantaranya adalah cerita dari Daru Supriyono, si lawyer punk, dan Abhisam Demosha, pimpinan saya di Komunitas Kretek. Mereka telah lama bersamanya cukup lama, sebelum Orde Baru tumbang sampai saat Orde Baru berhasil mereka tumbangkan.
“Dulu dia begini, coy… bla, bla, bla…,” ujar si lawyer yang senang dengan botol-botol bir bercerita penuh se- mangat.
“Dulu aku sama dia tuh begitu, coy… bla, bla, bla…,” kata Abhi, lelaki yang ketika makan di warung selalu nambah.
Puja-puji dan kekaguman dari mereka tentangnya. Namun cerita yang sering saya dengar karena selalu diulang-ulang adalah ketika Daru diajak pergi jalan-jalan ke Jember untuk ngobrol-ngobrol dan ngopi rame-rame. Satu cerita jalan-jalan yang berujung pada terbentuknya Komunitas Kretek. Daru merasa terjebak, walau cara berceritanya menunjukan bahwa ia senang oleh jebakan itu. Dan saya selalu tersenyum tertawa tiap mendengar cerita yang berulang-ulang masuk di kuping saya.
Lain lagi cerita dari Redmonsky soal dia. Tak ada puja-puji, selalu blackprop tentangnya yang saya dengar. “Yaaah… Die lu percaya. Die mah orangnya begini-begitu, bla, bla, bla…,” ucap penggemar berat klub Internationale Milan.
Saya tahu tak ada maksud buruk dari kawan sebayanya ini, memang begitulah gaya perkawanan mereka berdua. Tak henti saling meledek di depan atau di belakang, tapi selalu berangkulan ketika berjalan berdua bersama. Saling mengagumi di dalam hatinya masing-masing.
Cerita mereka melengkapi cerita kurang lebih empat tahun yang saya jalani bersamanya. Tak selalu menyenang- kan cerita tentang dia, saya atau kami semua yang bergelut dengan isu kretek. Tentu saja selalu ada cerita tak buruk dari perjalanan kami atas keyakinan bahwa kretek harus diperjuangkan. Jika ada kesenangan dalam perjalanan itu, pasti dinikmati bersama. Begitu pula dengan cerita buruk, harus pula diatasi bersama.
Tak mungkin juga menuliskan di sini cerita tentang ba- gaimana kami bergelut dengan isu itu, pasang dan surutnya, baik dan buruknya, dan sebagainya.
Satu hal yang cukup saya kagumi dari dia adalah ke- tika menghadapi satu masalah, apapun itu. Tak terlihat kepanikan dari dirinya ketika masalah itu hadir, tak se- lalu reaksioner dan gegabah dalam upayanya mengatasi masalah. Ada ketenagan dalam dirinya, mencoba memotret lebih luas dan dalam masalah itu dan dari mana akarnya, hingga mampu mengambil jalan keluar yang tepat. Jika memang tak mampu menemukan jalan keluarnya, maka dia siap bertanggungjawab atas masalah itu, apapun bentuk dari tanggung jawab itu.
Sepanjang perkawanan ini, justru itulah yang ingin saya tauladani darinya. Tentang bagaimana seseorang harus tetap tenang dalam menghadapi masalah, memikirkan dengan baik, untuk mencari jalan keluar yang tepat. Penting saya kira meneladani itu, mengingat jalan keluar adalah sebuah jalan yang paling sulit untuk dicari. Tak semua orang memiliki kemampuan seperti itu, mungkin karena dia adalah anak kesayangan Tuhan, sehingga dia beruntung dianugerahi kemampuan itu.
Cerita bersamanya dalam perjuangan kretek ini tentu tak esklusif hanya saya yang memilikinya, ada banyak kawan yang terlibat dan pasti memiliki cerita bersamanya. Begitu juga saya kira cerita tentang klub sepakbola kesayangannya, AS Roma. Saya yakin semua temannya, semua kawannya, pernah diceritakan olehnya tentang bagaimana digdayanya AS Roma. Namun dulu, kisaran awal mileneum kedua. Romantisme memang selalu menyenangkan.
Pernah sekali waktu saya dan Redmonsky diajak dia menemani nobar di GOR Jakarta Timur, saat AS Roma uji coba melawan timnas U-23. Saya tak menggenakan jersey Arsenal, sekadar untuk menghormatinya. Begitu juga Redmonsky tanpa kaos biru-hitamnya, saya kira alasannya sama dengan saya. Kami dibelikan polo-shirt AS Roma, kami kenakan saat nobar itu. Wajahnya nampak sumringah senang, saya kira bukan karena AS Roma menang 3-1 lawan Timnas U-23 – kemenangan yang wajar – tapi wajah gembirannya saya kira karena dia dapat melihat kami berdua menggenakan kaos AS Roma, semakin lebar senyumnya ketika kamera smartphonenya berkali-kali memotret kami, lalu diunggah di Facebook dengan kalimat demi kalimat yang lebay.
“Biar, biarin aja. Biar die seneng,” ujar saya dan Redmonsky kompak.
Kini dia sudah 40 tahun lamanya ia bernafas di bumi. Satu usia istimewa yang dianggap sebagai titik kematangan seseorang. Kematangan akan konsep dirinya, meninggalkan masa mudanya dan beralih menapaki usia yang benar- benar dewasa, paruh baya.
Usia 40 tahun merupakan suatu fase usia yang disebut secara khusus dalam Al-Qur’an di Al-Ahqaaf:15, yang arti- nya:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtuanya, ibunya yang mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila Ia dewasa dan umurnya sampai 40 tahun Ia berdoa: Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhoi. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang orang yang berserah diri. “ (QS. Al- Ahqaaf:15)
Mungkin dia adalah orang yang cukup beruntung ketika memasuki usia 40 tahun. Sejarah besar pernah dia torehkan dengan membebaskan ratusan juta orang dari cengkeraman ketakutan dihadapan moncong bedil, sehingga saat ini kita bisa membaca tanpa dihinggapi rasa was-was, sehingga kita bisa bersuara dan berteriak dengan sekerasnya, sehingga kita bisa menulis dengan kata-kata sesukannya. Tugas sejarahnya telah selesai, selanjutnya kita yang dibebaskannya yang harus menuliskan sejarah baru dengan mengambil inspirasi darinya dan dari kawan-kawan seperjuangannya.
Namun dia bukan nabi Muhammad SAW yang justru mulai berjuang membebaskan perbudakan manusia di usia 40 tahun. Dia adalah Puthut EA, anak kesayangan Tuhan yang bebas memilih jalan apa yang hendak ditempuh di usia istimewa ini.
Entah apa pula ucapan yang tepat ketika saya menjabat tangannya pada 28 Maret 2017 nanti. Mungkin hanya sekadar ucapan “Selamat ulang tahun, coy.” Tak pandai saya berkata-kata puitik sepertinya. Namun sebatang kretek kesukaannya akan saya bakar, dan setiap isapannya adalah doa untuk segala kebaikannya.