Setiap Kali tertidur, setiap menatapnya, saya pun tak tahan untuk memeluknya, menciuminya, lalu mengembalikannya ke keadaan yang lebih aman agar tidak terjatuh dari tempat tidur, saat itu pula ada banyak hal yang hinggap di kepala saya. Saya sering merasa masih kurang sebagai seorang bapak. Kurang bijak, kurang cermat, dan kadang masih sering marah. Padahal dia masih kanak-kanak. Tumbuh dengan dunianya yang serba nakal, ingin tahu, membangkang, dan mau menang sendiri.
Kalau kata Gus Baha’, banyak bapak yang sering tidak berkaca, anak mereka adalah cerminan diri sendiri. Ingin anaknya saleh, padahal bapaknya mbejujak. Ingin anaknya pintar, padahal bapaknya tak pernah berusaha meninggalkan zona goblok. Ingin anaknya berprestasi padahal bapaknya oportunis sejati. Ingin anaknya jadi orang besar padahal bapaknya berjiwa kerdil. Segala apa yang diimpikan para bapak yang enggan dicapai, atau mustahil dicapai, tiba-tiba dibebankan kepada para anak. Hasilnya adalah anak-anak yang tumbuh dengan terlalu banyak beban.
Padahal dunia anak adalah dunia bermain. Dunia mengembangkan imajinasi. Bukan saat mereka menggotong beban berat impian orangtuanya.
Setiap Kali tidur, saya selalu ingin memeluknya. Meminta maaf. Mungkin saya masih bagian dari kebanyakan bapak yang ingin anaknya hebat tanpa pernah terlebih dulu mengubah diri sendiri menjadi manusia yang lebih baik lagi.