Siapa yang Menangis Paling Keras?

Siapa yang Menangis Paling Keras?

“Coy, Sinnal meninggal dunia…”

Pesan dari salah satu sahabat itu tidak langsung saya jawab. Saya butuh waktu, bahkan untuk sekadar merespons. Sialnya, respons saya adalah sebuah pertanyaan yang punya derajat ketololan tertentu, “Sakit apa, Coy?”

Kanker. Jawabnya. Lalu terjadi obrolan ringan lewat aplikasi pesan. Kemudian yang tersisa adalah jeda yang sangat panjang.

*

Semarang, sekian minggu setelah Soeharto jatuh. Kurir memberi saya arahan menuju kota itu, seorang diri. Saya sampai di sebuah rumah kecil, dan di sana sudah berkumpul orang-orang yang tidak pernah saya kenal. Sebelumnya, bertemu dengan sesama aktivis di luar kota bukanlah pekerjaan saya. Posisi saya tidak memungkinkan untuk itu.

Di ruang yang sempit itu, mungkin 9 atau 10 orang yang bertemu, bicara terus selama dua hari. Dan saya mungkin orang yang irit bicara. Karena saya paham, banyak bicara di situ bisa berarti akan harus lebih banyak bekerja.

Saya selamat dari mandat kerja di forum itu, tapi tidak selamat mendapatkan mandat kerja di forum selanjutnya—yang isinya masih tetap orang-orang yang sama. Itu karena orang-orang yang ditunjuk tidak optimal bekerja. Dan yang mendampingi saya dalam bekerja adalah Sinnal. Semenjak itu, hubungan kami makin dekat.

Tugas kami tidak mudah. Intinya saja—karena babak ini gak penting-penting amat nanti dikira saya sedang ingin menjadi orang penting—mempersatukan organisasi-organisasi perlawanan mahasiswa menjadi satu wadah. Para petugas ini berganti terus, datang dan pergi, kecuali saya dan Sinnal. Dan di babak akhir, ketika sudah setahun lebih kami bekerja, ada satu panduan dari ‘pusat’ yang saya lawan. Organisasi itu jadi, tapi strukturnya berbeda dengan apa yang didesain dari ‘pusat’. Baru kali ini saya akui, itu adalah salah satu bentuk ‘perlawanan’ saya terhadap ‘pusat’.

Di saat rehat, ketika ketetapan kongres sudah dibacakan, Sinnal mendekati saya. “Put, kowe ki ngawur tenan…”

“Tenang, Nal. Aku sing tanggungjawab.” Kami memang biasa ngobrol memakai bahasa Jawa jika hanya sedang berdua. Mendengar jawaban saya yang singkat itu, muka Sinnal masam. Dia kecewa. Tapi kami kenal dan bekerja sudah cukup lama. Saya tahu, kekecewaan dia bukan soal membuat manuver di luar dugaannya. Dugaan saya—karena sampai Sinnal meninggal dunia tidak pernah saya tanyakan lagi: karena dalam bagan organisasi itu, artinya, dia harus ke Jakarta, sementara saya ‘selamat’ dengan tetap tinggal di Yogya.

Tinggal di Jakarta adalah kutukan yang berusaha keras saya hindari. Kota itu, sampai sekarang, adalah tempat yang paling tidak menyenangkan di muka bumi ini. Mungkin jika harus saya toreh prestasi terbesar dalam hidup saya ini hanyalah setidaknya sampai tulisan ini jadi, tidak tinggal di Jakarta.

Sinnal kembali mendatangi saya secara terus-menerus dan tidak kenal lelah adalah ketika saya mengundurkan diri dari organisasi yang saya bentuk. Hal yang harus saya akui hebat dari Sinnal adalah sikap ngotot sekaligus kesabarannya dalam melakukan persuasi. Bahkan ketika dia tahu, kecil kemungkinan itu terjadi. Termasuk dalam kasus membujuk saya. Tetap saja dia datang ke kos saya, hal yang sebetulnya mengherankan karena saat itu tidak banyak yang tahu di mana saya tinggal. Saya dicegatnya di bonbin (kantin fakultas Sastra UGM), bahkan di Filsafat. Melihat dia saat itu, saya merasa mirip penjahat yang selalu dibuntuti oleh seorang detektif perempuan yang terampil. Ketika kemudian dia tahu percuma membujuk saya, barulah dia mengatakan satu hal yang ingat persis: yang penting kami masih bisa bersahabat.

Tentu saja hal itu saya iyakan. Persahabatan selalu diuji oleh perbedaan pendapat.

Ketika saya tinggal di sebuah kota yang paling tidak saya sukai di muka bumi ini selama kurang-lebih dua tahun untuk memimpin sebuah lembaga, Sinnal mungkin adalah orang yang paling sering menyambangi saya. Kami sering ngobrol berdua atau bertiga dengan sahabat lain. Tertawa bersama. Sesekali makan bareng. Sesekali ngopi bareng. Sesekali ngebir bareng. Mungkin hanya Sinnal yang membuat saya geli, minum bir dicampur Coca-cola. Tapi itu saya anggap sebagai sebuah ikhtiar, bagaimana Sinnal tetap mencoba melebur dalam berbagai suasana sekalipun harus memanipulasi selera lidahnya sendiri. Dia, setahu saya, tidak suka minum alkohol, tapi mencoba tetap melebur dengan membuat campuran sendiri yang ganjil.

Beberapa pertemuan terakhir saya dengan dia, tampak dia makin langsing, sehat, dan bugar. “Kowe diet po, Nal?”

“Ho’oh, Put. Tur aku saiki sregep olahraga.”

“Apa olahragamu?”

“Renang. Kowe ya kudu olahraga, Put.” Di saat menyatakan itu, saya lihat raut muka yang serius. “Kowe tambah lemu lho…”

Saya lupa apa jawaban saya saat itu. Tapi itu adalah pertemuan fisik terakhir saya dengan dia.

*

Hingga kira-kira setahun (atau mungkin dua tahun?) lalu, kembali Sinnal membombardir saya dengan telepon dan pesan. Intinya: saya diminta datang ke acara reuni LMND. Wajar jika itu dia lakukan, karena apa yang saya ceritakan di awal, memang berujung pada lembaga ini. Tapi saya bergeming. Pesannya tidak saya jawab, telponnya tidak saya angkat. Saya memang saat itu sedang kecewa dengan beberapa orang yang mengomentari miring demonstrasi mahasiswa. Terlepas bahwa banyak teman sudah berada di barisan pendukung Jokowi, tidak etis berkomentar buruk pada demonstrasi mahasiswa. Kami pernah lama jadi aktivis, bagaimana bisa berkomentar miring soal itu. Bahwa saya tidak tahu persis apakah Sinnal ikut berkomentar miring atau tidak, tapi ajakannya untuk reuni sudah saya anggap punya cacat etis. Bagaimana bisa masih berani mengaku alumni LMND, kalau sebagian yang datang adalah orang-orang yang mencerca demonstrasi mahasiswa. Kalau tidak setuju, ya diam saja. Secara historis, mereka tidak punya sisi etis untuk menyalahkan mahasiswa. Saya bisa bicara banyak soal ini, tapi tentu hal itu tidak saya lakukan. Saya kecewa, saya tidak datang. Titik.

Tentu saya sadar, kekecewaan saya dengan para mereka adalah ujian persahabatan. Saya pasti tetap mau bertemu mereka. Tapi dengan mengatasnamakan ‘alumni LMND’ tentu bukan momentum yang baik. LMND harusnya tetap dihuni para mahasiswa yang kritis. Itu tugas sejarah mereka. Saya khawatir organisasi ini dikooptasi kekuasaan oleh para seniornya. Dulu, saya pernah melawan ‘instruksi pusat’ karena saya anggap asal main perintah tanpa tahu kondisi lapangan. Maka kalau cuma tidak datang ke acara semacam temu alumni LMND, itu terlalu ringan buat saya.

*

Seorang kawan lama menelepon saya. Dia meminta semacam tulisan untuk mengenang Sinnal. Tentu saja saya iyakan. Walaupun saya tidak tahu mesti menulis apa. Terlalu banyak cerita saya dengan Sinnal.

Sang Kawan itu kemudian bercerita, saat jenazah Sinnal hendak diberangkatkan dari Jakarta ke Solo.

“Simon menangis paling keras…” ucap Sang Kawan lewat telpon.

Detik itu pula, ada yang terasa rontok di diri saya. Persahaban kami memang tidak semata saya dengan Sinnal. Buka seperti itu arahnya. Tapi seperti pola bola di meja biliar. Semua saling bisa terpantul satu sama lain. Tidak pernah ada dua orang yang berdiri dengan relasi antara A dan B. Antara Puthut dan Sinnal. Ada jalinan relasi lain yang membuat jejaring persahabatan itu tidak mudah dipetakan.

Ketika tahu Sinnal meninggal dunia, tentu saya sedih. Sedih sekali. Tapi ketika saya tahu Simon orang yang menangis keras sekali, semua yang saya miliki di diri ini, jatuh ke bumi dengan keras sekali.

Yogya, 2 Maret 2025

Artikel Terkait