Sewaktu kuliah dulu, setidaknya ada 5 mata kuliah saya yang berhubungan dengan Pancasila. Sayang, saya bukan mahasiswa yang pintar. Semua lewat begitu saja.
Kata banyak orang, Pancasila sempat bermasalah di sila pertama. Tentang ketuhanan. Berat banget ya… Tapi akhirnya masalah ini kelar karena konon kebijaksanaan para pemimpin kita saat itu. Benar tidaknya, saya tak tahu. Sebab saya yakin zaman itu belum marak politik uang dan saling telikung suara.
Bagi banyak pengamat sosial, sila yang paling bermasalah adalah sila kelima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konon, sistem ekonomi yang sedang berjalan jelas tidak kompatibel dengan sila kelima ini. Di Mojok saja keadilan juga susah didapat. Terutama keadilan asmara. Bayangkan, Edo sudah pacaran lebih dari 5 kali tapi Agus Mulyadi pacaran sekali saja tak pernah. Keadilan macam apakah itu?
Lanjut. Ini serius.
Tapi bagi saya, dari kelima sila Pancasila itu, sila keempat yang paling bermasalah. Pertama, sewaktu saya kecil, sila inilah yang paling susah dihapal. Kalau meleset sedikit, bakal muter-muter seperti sebuah surah pendek di Al qur”an yang saya lupa namanya, tapi dimulai dari: Qul yaa ayyuhal kaafiruun…
Mbeleset sedikit bakal mbundet. Persis ketika anak-anak yang mestinya masih suka-sukanya menyanyi Bintang Kecil terpaksa harus pucat berkeringat ketika melafalkan: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaaan dalam kerakyatan oleh kebijaksanaan eh… Kerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan dalam perwakilan eh … kerakyatan oleh hikmat permusyawaratan eh… dan seterusnya…
Sila keempat itu juga bermasalah karena setiap dibacakan oleh pembina upacara dibacakan dengan cara yang berbeda. Ada yang langsung: Permusyawaratan perwakilan. Ada yang: permusyawaratan garing perwakilan. Ada pula yang: permusyawaratan atau perwakilan. Macam-macam.
Padahal hanya di sila keempat inilah, menurut hemat saya yang cetek pikir ini, sebuah sila memuat nilai sekaligus metode. Hm…
Di sila lain, misalnya: Kemanusiaan yang adil dan beradab, kita tidak tahu bagaimana melakukannya. Tapi di sila keempat ini, kita diberitahu: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Caranya jelas lewat musyawarah, bukan pemilihan langsung atau lewat perwakilan. Yang dipilih langsung adalah perwakilannya. Lalu mereka berembuk. Bermusyawarah. Seperti para dewan adat dan para kepala suku di berbagai daerah di Indonesia (sebab konon Pancasila ini bukan ditemukan melainkan digali dari nilai-nilai yang ada di masyarakat kita).
Masalahnya adalah, sila ini memang paling rumit. Apa yang dimaksud dengan “kerakyatan”, lalu frasa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” itu maksudnya apa? Kemudian bukalah kamus bahas Indonesia, lalu buka lema “hikmat” dan “kebijaksanaan”. Kok bisa numpuk begitu?
Kemudian “permusyawaratan/perwakilan” itu garis miringnya bermakna apa? Pilihan kah? Atau bagaimana?
Mungkin karena sila keempat itu ruwet maka demokrasi kita juga ruwet. Tapi yang jelas, apakah benar demokrasi kita dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan? Buktinya apa?
Selamat tidur…