Awal tahun 2015, jadi kurang-lebuh setahun yang lalu, hanya karena bermotif ingin tahu bagaimana rakyat kecil mencoba bertahan dalam badai krisis yang tengah bertiup, saya melakukan wawancara dengan beberapa sopir taksi Blue Bird dan Express.
Tentu acak, dan tidak memakai metodologi penelitian yang baik. Saat itu kebetulan saja saya sedang di Jakarta selama seminggu, dilanjut jeda sekian hari kemudian ke Jakarta lagi selama 5 hari. Karena saya ke mana-mana naik Blue Bird dan Express, maka merekalah yang saya wawancara.
Ada sekira 50 sopir taksi kedua armada tersebut yang saya wawancara. Saat itu Gojek sudah ngetren. Tapi jujur saya lupa, apakah Grab dan Uber sudah semasif sekarang ini.
Dari wawancara tersebut, hampir semua sopir taksi itu tahu kalau memang situasi ekonomi sedang tidak baik. Penghasilan harian mereka melorot sampai rata-rata sepertiga dari yang biasa mereka dapat. Itu artinya, hampir sebagian besar nombok atau sekadar bertahan. Impas. Dari mereka, saya tahu, pihak perusahaan kedua armada tersebut tidak melakukan apapun, misalnya pengurangan setoran, atau apalah, ketika hal itu terjadi.
Dan ini yang paling penting: mereka tidak menganggap bahwa Grab, Uber, dan Gojek, telah mengganggu turunnya pendapatan mereka.
Kita semua tahu bahwa perlambatan ekonomi itu terjadi sampai sekira akhir tahun lalu. Hingga perlahan mulai membaik. Itu artinya, mereka, para sopir taksi (bukan hanya kedua armada ini), sudah “menahan lapar” cukup lama.
Dari wawancara tersebut sebetulnya saya yakin bakal ada letupan, saya sebut letupan terlalu kecil untuk sebuah ledakan, yang bakal dilakukan oleh sopir taksi di Jakarta. Pemikiran saya sederhana saja: Ada batas kemampuan orang secara ekonomi untuk “mensubsidi” kehidupan mereka. Saya membayangkan, letupan kecil itu terjadi di akhir tahun lalu. Tapi ternyata saya keliru.
Kekeliruan saya yang pertama jelas, letupan ini terjadi pada awal tahun ini. Hari ini. Artinya, elastisitas dan daya tahan ekonomi maupun psikologi para sopir taksi ini, jauh lebih hebat dibanding yang saya kira. Kedua, saya kira ekspresi protes para sopir taksi ini akan ditujukan kepada pihak perusahaan masing-masing dan Pemerintah. Untuk yang di Pemerintah, saya berpikir, mereka akan meminta keringanan-keringanan tertentu. Misalnya subsidi BBM.
Tapi lagi-lagi saya keliru. Para sopir taksi tidak melayangkan protes apapun ke pihak perusahaan. Dan ketika mereka menyampaikan protes ke Pemerintah, sudah dengan isu di luar dugaan saya: kompetisi bisnis. Hal yang setahun lalu sama sekali tidak pernah disinggung oleh para sopir taksi yang saya wawancarai.
Tentu terlalu berlebihan jika saya merasa terkejut dengan kejadian hari ini di Jakarta. Protes yang oleh banyak orang terkesan “brutal”. Sebab mereka sudah lama “lapar”.
Tapi ada yang saya tetap heran, dan ini butuh penelitian lebih dalam lagi, kenapa ekspresi politik mereka ditujukan kepada sesama pekerja? Sesama sopir taksi. Bahasa politik mereka adalah bahasa pengusaha. Bahasa persaingan antarsesama juragan. Ah, tapi saya tidak tahu banyak…
Untuk soal ini, Anda pasti jauh lebih tahu dari saya…