Kekalahan Liverpool melawan Sevilla di Liga UEFA malam ini menyisakan pertanyaan penting bagi saya: benarkan pelatih merupakan sosok kunci dalam sebuah tim sepakbola?
Menurut saya, kalau di level tertentu sebagai salah satu kunci, mungkin iya. Misalnya Roma berubah ketika Spalletti datang. Mancini bisa mengubah Inter Milan. Tapi tidak untuk level yang lebih tinggi.
Kita terbiasa dengan kultur instan untuk melihat apapun. Sehingga pelatih dan bintang besar, selalu lebih menarik perhatian. Menurut saya, kunci paling penting yang mengantarkan sebuah tim sepakbola naik ke level tertinggi adalah keberhasilannya dalam membuat sistem.
Anda tahu bahwa Juventus adalah tim sepakbola yang menjadi rival berat kesebelasan andalan saya AS Roma untuk merebut scudetto. Tapi harus saya akui, Juventus memiliki sistem yang luarbiasa. Sehingga ketika ditinggalkan Antonio Conte, nyaris hanya butuh sedikit penyesuaian dengan gaya Massilimiano Allegri, dan Juve tak terbendung. Hal yang sama terjadi pada Barca, yang fansnya agak nggilani itu. Barca dilatih Luis Enrique maupun dilatih Arman Dhani yang gak ngerti sepakbola itu, hasilnya akan tetap sama. Jadi tidak salah kalau Anda berpikir: Enrique itu ngapain sih? Wong Barca gak ada pelatihnya juga gak apa-apa.
MU pun sama. Seandainya tidak punya sistem yang baik, begitu ditinggalkan oleh rezim Fergie, kesebelasan itu bakalan koit. Tapi kita semua bisa saksikan, memang Tim Setan Merah itu tertatih-tatih. Tapi berkat sistem yang baik, kesebelasan yang fans-nya juga amit-amit itu, setidaknya tetap jadi Tim Tuyul Pink. Masih menyisakan bahaya, dan masih di level demit yang agak menakutkan.
Jadi ketika Jurgen Klopp datang ke Liverpool dan dielu-elukan secara berlebihan, seakan dia adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan Liverpool dari level medioker ke level ecek-ecek, tampaknya itu berlebihan. Sebab yang dibutuhkan kesebelasan seperti Liverpool adalah menambal sulam dan merevisi sistemnya. Tentu itu tidak mudah.
Membangun sistem butuh waktu dan kesabaran. Dan apa yang terjadi pada pembangunan sistem di kesebelasan sepakbola, juga mirip dalam membangun sistem di lembaga yang lain. Mau kanan, kiri, tengah, hijau maupun merah. Mau komunitas, perusahaan atau partai politik.
Mau contoh? Ada dua. Ini bukan soal suka atau tidak. PKS dan Golkar. Dua partai politik ini menurut saya telah sanggup membuat sistem yang baik sehingga dihantam apapun, punya daya tahan dan elastisitas yang kuat. Tentu membangunnya pun butuh waktu, terlepas saat Golkar tumbuh, disokong oleh rezim politik yang kuat. PKS juga sama. Sejak sebelum menjadi partai, para aktivisnya sudah terbiasa dengan sistem organisasi yang rapi. Tertata dengan baik, dari sistem ekonomi sampai sistem organisasi.
Sekarang coba Anda bayangkan, dengan menafikan sebab, jika mendadak Gerindra ditinggalkan oleh Prabowo, SBY tak aktif di Demokrat, atau Megawati absen dari PDIP. Kira-kira apa yang terjadi? Partai boleh beda. Tapi semua persoalan di ketiga partai itu diputuskan sepenuhnya oleh satu sosok kunci.
Mungkin di sekeliling kita juga banyak terjadi. Organisasi-organisasi terus bermunculan. Tapi terkadang lupa membangun sistem. Ingin apa yang ditanam pagi ini bisa dipetik sore harinya. Banyak organisasi yang diisi oleh orang-orang baik, dengan niat baik, berantakan hanya karena gagal membangun sistem, tak sabar mengelola perbedaan dan friksi, tak punya energi yang cukup untuk menata selapis demi selapis pondasi yang kuat.
Ya, membangun sistem itu tidak mudah. Kalau mudah, pagi ini Liverpool sudah pasti menggondol satu gelar sekalipun bukan gelar yang wah.
Selamat menunaikan ibadah salat Subuh…