Lapangan bulu tangkis itu sederhana. Hanya tanah padat dengan garis putih kapur, net-nya tambalan bekas, dan tiangnya dari besi pagar tua. Tapi bagi warga Kampung Anjangsini, lapangan itu adalah tempat kebanggaan.
Dan sore itu, dua remaja berdiri di tengahnya: Tono dan Dipo, mewakili kampung mereka di Turnamen Bulu Tangkis Antar-Kampung Se-Kecamatan LemariBiru.
“Tempatmu ke belakang sedikit lagi, Dip. Servismu kemajuan,” kata Bapak Dipo dari pinggir lapangan, tangan kirinya masih lihai memutar raket kayu meski usianya sudah lima puluh lebih.
“Ama kamu, Ton, jangan buru-buru smash kalau posisi belum siap. Main sabar,” tambah Bapak Tono, mantan koki yang ternyata dulu pernah jadi atlet bulu tangkis di masa mudanya.
Tono dan Dipo hanya bisa mengangguk. Keringat mengalir, tapi semangat mereka belum habis.
Beberapa hari sebelumnya…
Kampung Anjangsini nyaris ngga ikut turnamen. Belum pernah menang. Bahkan sering jadi bahan ejekan kampung tetangga.
“Kampung yang jago ngarit, bukan jago nyemash kok,” ejek anak dari Kampung Sukamaju tahun lalu.
Tapi tahun ini berbeda. Pak RT menunjuk langsung: “Tono dan Dipo. Kalian wakil kita. Anak muda harus bisa bawa nama kampung.”
Bapak Tono dan Bapak Dipo langsung turun tangan jadi pelatih dadakan. Latihan digelar setiap sore, disaksikan warga, bahkan disemangati ibu-ibu yang bawa teh panas dan gorengan.
“Mainlah dengan hati. Kalau kalian kalah, biar kalah karena berjuang. Tapi kalau menang… biar semua tahu, kampung kecil juga bisa bikin kejutan,” kata Bapak Tono sambil melempar kok ke udara.
Babak demi babak dilalui. Di semifinal, mereka berhasil mengalahkan tim favorit dari Kampung HatiKesepian, setelah Dipo nekat mengambil bola yang jelas-jelas sudah out, tapi karena lawan yang refleksnya bagus bisa mengembalikan dengan tangkisan tinggi, langsung dieksekusi oleh Tono dengan smash.
Final pun tiba.
Lawan mereka: Kampung Sukamaju. Anak-anak kaya, raket mahal, sepatu bermerk, dan sorakan satu geng supporter dengan terompet.
Dipo gemetar. “Kalau kalah, Ton, kita bakal dibully satu kecamatan.”
Tono menepuk pundaknya. “Kita main bukan buat takut. Kita main buat Anjangsini.”
Laga berlangsung ketat. Set pertama mereka kalah 21–17. Set kedua Tono dan Dipo membalas dengan skor 21–19. Set ketiga jadi penentuan.
Skor imbang 19–19. Penonton tegang. Bahkan bayi yang tadinya menangis mendadak diam.
Servis Tono masuk. Rally panjang terjadi. Smash dari lawan, diangkat Dipo. Lob silang dari Tono, diambil lawan. Dipo bergerak maju. Lawan mengira dia akan drop shot.
Tapi Dipo melambungkan kok tinggi ke belakang.
Lalu dengan reflek musuhnya melakukan lob tinggi. Dan di saat itulah, Tono melompat raketnya seperti kilat. Smash!
Kok menghantam garis belakang lawan.
20-19
“Ton, kita harus bisa!”
Servis oleh Dipo dan diikuti rally yang sangat menegangkan, dan saat musuh dive kedepan, Dipo langsung menggerakkan raketnya kedepan dan boom.
Masuk!
21–19. Kampung Anjangsini menang.
Warga bersorak. Pak RT melompat dari bangku bambu. Ibu-ibu menjerit kegirangan. Bahkan lawan dari Sukamaju terdiam, tak percaya kalah dari kampung yang katanya “cuma bisa cari rumput.”
Tono dan Dipo menatap pelatih mereka. Bapak Dipo dan Bapak Tono hanya tersenyum bangga, tidak banyak kata. “Sukamaju, sukamundur kaleee” kata adeknya tono.
Hari itu, bukan hanya piala yang dibawa pulang. Tapi juga harga diri.
Dan bukti, bahwa kadang yang kecil hanya butuh satu smash untuk bersuara.
Tamat