Soal angka, saya mau menyingkirkannya jauh. Ada yang bilang 7 juta. Ada yang bilang 2 juta. Ada yang bilang ratusan ribu orang saja.
Soal waktu, ini saatnya merenungkan, karena sudah cukup ada jeda. Dan sebagai pembuka, saya akan memulai dengan pertanyaan:
Apakah benar, sejuta lebih orang datang menyemut ke Jakarta, berpakaian putih-putih, sebagian besar di antaranya urunan, menyewa bis. Ibu-ibu. Anak-anak digandeng. Bapak-bapak. Semua tenggelam dalam lautan, yang mestinya jika sebuah gerakan politik formal, sebuah rezim bakal tumbang.
Tapi tidak. Ada yang merayap di balik kulit bangsa ini yang belum terungkap.
Kalau semata soal nista agama, saya agak tidak percaya. Pertama, karena pasti kemarahan yang timbul besar sekali. Kedua, apa yang kelak disebut sebagai penistaan agama itu sebetulnya sudah tersebar jauh hari di dalam buku dan kanal Youtube.
Saya melihatnya tidak begitu. Ada yang sedang bergerak dan ini bukan semata persoalan agama. Kalau kita tidak mempelajari fenomena sosial ini, kita tidak dapat menangkap apa yang kelak menjalar dan terjadi.
Ilmu dalam tradisi Islam, tidak bisa dipisahkan dari amal dan dari akhlak. Bukan ilmu kalau tidak diamalkan, dan bukan ilmu kalau tidak untuk memperbaiki akhlak.
Agak mirip dengan tradisi keilmuan Jawa (atau sesungguhnya berpaut?); bukan ilmu kalau tidak dengan laku. Tidak bisa dipraktekkan, tidak bisa dikerjakan. Bahkan menuntut ilmu sendiri itu sudah laku. Mlaku. Lumaku.
Lalu apa yang merayap di sana? Di balik kulit tipis kebangsaan kita?
Mungkin kita harus membaca lagi Diponegoro dengan lebih hati-hati. Sebab ini bukan fenomena yang benar-benar baru. Ibarat aliran air, ada ceruk di belakang kita yang memberi kontribusi aliran.
Terlalu jauh membaca Diponegoro? Saya kira tidak. Hanya mungkin kita belum jujur membacanya. Belum mau mengakuinya bahwa pada pergolakan besar itu, terpumpun lebih dulu hasrat kolektif yang merayap lembut.
Jadi apa yang berkumpul dan menyemut di sana, tak lebih dari hasrat kolektif, yang mungkin belum menemukan kanal ekspresinya secara tepat, sehingga yang menjadi mula dari ekspresi itu adalah apa yang kemudian terlihat bergolak di permukaan: penistaan agama.
Tapi yang menyemut itu, ibu-ibu dari Tapal Kuda Jawa Timur, ibu-ibu dari lorong-lorong kota Jakarta, dari Sunda, dan banyak lagi yang lain. Bapak-bapak sederhana yang tidak mau ikut menghardik dan terbakar. Tetap teduh dan tenang dalam barisan.
Pada muka-muka mereka yang tak mudah diletuskan, ada hasrat yang memancar. Ada emosi kemerahan. Bukan rasa marah.
Lalu apa hasrat itu?
Itu tugas kaum intelektual kita yang masih lembut batinnya, masih tajam pikirannya, masih adil hatinya.
Bukankah pada Perang Jawa itu, bukan semata perang biasa? Tapi ini bukan perang…
Ya, ini bukan perang. Ini prosa pendek untuk kisah yang bakal panjang. Semua bisa punya potensi keliru membaca, jika tidak berhati-hati mengkajinya. Sebab ternyata bukan soal agama. Bukan soal penista.
Sangat bisa jadi, yang berdiri dua kutub dan saling berbenturan itu, keliru memindai batin massa.
Dan mereka terus bergerak. Merayap. Lembut. Mengalir…