Atmosfer di Roma gerah tapi bukan karena perburuan rangking untuk lolos di Liga Champions. Bagi kesebelasan serigala itu, mengejar Napoli bukan prioritas lagi, dan dikejar Inter bukan persoalan lagi. Sementara gelar scudetto sudah pasti didapat oleh Juventus. Udara lengas itu muncul dari kuatnya gesekan dua orang besar: Spalletti vs Totti.
Semenjak Spalletti menukangi Roma, dia berhasil membawa kesebelasan yang mulai terpuruk di klasemen tengah itu mendadak bangkit dengan hanya dikalahkan sekali. Sekaligus, dia seperti ingin membuktikan hal yang sebetulnya tak diinginkan oleh Romanisti: Tim Serigala Ibukota bisa besar tanpa Totti.
Kita tahu, Sang Legenda Hidup, Franscesco Totti, sudah mulai uzur. Usianya menginjak 39 tahun. Sangat tua untuk seorang pesepakbola. Tapi Totti adalah magista. Dia bukan ingin melawan takdir, dia hanya ingin menundanya. Dia hanya ingin membuktikan bahwa menjadi tua bukan persoalan untuk pemain sepakbola. Totti merasa masih bisa main satu atau dua musim lagi.
Totti juga bukan orang yang rakus. Bahkan semenjak kesebelasan itu dipegang oleh Rudi Garcia pun, Il Capitano sudah bukan menjadi pilihan utama. Dan semua berlangsung baik-baik saja. Totti hanya ingin bermain bola. Tak ada lagi yang mau dibuktikan oleh pemegang rekor pencetak gol terbanyak ketiga di Italia padahal dia bukan berposisi sebagai penyerang, dicintai oleh semua fans lebih dari siapapun, pernah membawa Roma sebagai scudetto, dan pernah membawa Italia sebagai juara piala dunia, serta masih banyak lagi prestasi yang lain, termasuk pencetak gol tertua di Liga Champions. Prestasi yang kemput.
Tapi Totti disayang fans Roma bukan semata karena prestasi. Dia mendulang hujan sayang karena kesetiaan, dedikasi, kepemimpinan, dan sekian untai sikap lain termasuk rasa humornya yang tinggi.
Tapi entah kepongahan macam apa yang ngendon di batok kepala Spalletti sehingga memaksa Totti berseteru dengannya. Padahal pelatih itu sangat dekat dengan Totti ketika dulu dia melatih Roma. Pemantiknya tentu saja karena Totti nyaris tak pernah dimainkan lagi, sekalipun sebagai pemain pengganti, sekalipun semua fans Roma tahu, ada detik-detik yang membutuhkan kehadiran Er Pupone tersebut.
Anak kesayangan kota Roma itu akhirnya bersuara. Di situlah perseteruannya dengan Spalletti mencuat. Pelatih berkepala pelontos itu seakan satu suara dengan tim manajemen Roma: Kami ingin memainkan Totti, tapi kekuatannya sudah tak sesuai dengan keinginannya.
Padahal apa sih keinginan Totti? Dia sadar diri kalau tak dimasukkan dalam skuat awal, mengerti kalau tak selalu dibutuhkan dalam setiap permainan. Tapi pemain besar seperti dia tahu kapan seharusnya dia masuk. Dan Spalletti sebetulnya juga tahu. Hanya tak mau tahu. Batok kepalanya terlalu keras untuk tahu apa artinya rendah hati.
Bahkan ketika Totti menjadi penyelamat saat dimasukkan saat Roma hampir dipecundangi Bologna. Umpan cerdasnya yang diberikan kepada Mohamed Salah berakhir dengan indah. Hal yang sama terjadi ketika Roma hampir dipermak Atalanta. Lagi-lagi Totti yang dimasukkan di menit-menit akhir membuat perubahan. Satu gol dilesakkan dengan tangkas oleh Totti sebelum pertandingan diakhiri.
Tapi apa komentar Spalletti untuk kedua penyelamatan yang nyaris tak masuk akal yang dilakukan oleh Totti untuk Roma itu? “Totti tidak membawa perubahan apapun.”
Perubahan? Mungkin maksud Spalletti adalah perubahan dari kalah ke menang. Kalau dari kalah ke imbang, dianggap bukan perubahan.
Puncaknya adalah semalam. Lagi-lagi, Totti dimasukkan sesaat sebelum laga usai dalam kondisi Roma dipermalukan oleh Torino. Dan dalam waktu sangat singkat, Totti bukan hanya bisa menaikkan semangat tanding kawan-kawannya, namun mempersembahkan dua gol yang membalik keadaan dari kalah menjadi menang.
Ketika permainan usai, tampak tertangkap kamera, Spalletti memberi selamat kepada Totti. Tapi Sang Kapiten hanya menanggapi dengan dingin. Seakan dia mau bilang: “Kamu keliru, Spalletti. Usia tidak bisa menyentuh saya terlalu jauh.”
Dan semenjak pertandingan dinihari tadi, semua orang di kota Roma tahu, kalau ada hal yang membuat Spalletti bersitegang dengan Totti, maka Spalletti berada di posisi antagonis.
Itu jelas sekali.