Beberapa hari lalu, ada seseorang yang bertanya kepada saya, apakah saya masih suka di stasiun kereta api?
Saya jawab, sudah tidak lagi. Sebelum saya terangkan kenapa, saya ungkap dulu hal yang penting. Setiap penulis, seniman, atau kreator, biasanya punya semacam ‘sanctuary’ atau semacam suaka, tempat di mana ide dan gagasan diendapkan dan diolah. Tentu saja tempatnya juga bermacam-macam. Kalau dulu biasanya orang suka tempat-tempat yang sepi: vila, pantai, gunung, dll. Tapi makin ke sini, tampaknya makin banyak pilihan. Iwan Simatupang, misalnya, memilih tinggal di hotel. Karena di hotel, dia merasa ada pada batas ambang kehadiran, antara pergi dan menetap. Bertahun-tahun dia hidup di hotel, dan dari sana lahir karya-karya cemerlangnya.
Dulu, saya suka stasiun kereta api. Terlebih di malam hari. Suara lengking kereta, bau embun yang jatuh di rel, kepak burung yang tersesat, orang-orang yang pergi dan pulang. Bau orang pulang, berbeda dengan bau orang pergi. Percakapan-percakapan lirih. Simbok-simbok penjual yang terkantuk, dll.
Dulu, kita bisa masuk ke dalam stasiun tanpa harus membeli tiket. Dulu, kita bisa tidur di stasiun. Dulu, saya pergi ke Solo, Bandung, atau Surabaya hanya untuk duduk di bangku stasiun, lalu tidur dan balik ke Yogya. .
Sekarang, stasiun sudah ketat. Saya tak lagi merasa punya suaka batin di sana. Tapi saya juga tak bisa seperti banyak anak muda zaman sekarang yang bisa berkarya di kafe. Walaupun kalau dipaksa ya bisa saja. Tapi jelas itu bukan ‘sanctuary’ bagi saya.
Saya tetap suka tempat sepi. Sendirian. Atau berdua. Di jam yang paling sunyi. Salah satunya tempat ini. Di sini, saya bisa duduk berdua dengan guru saya, bicara soal makanan sampai puisi, hingga pagi.