Beberapa teman yang berusia 4 atau 5 tahun di atas saya, ‘berkonsultasi’—istilah ini sungguh tidak tepat, dalam bahasa Jawa lebih enak dan pas yakni ‘mbat-mbatan’—ketika mereka mau memilih perguruan tinggi untuk anak mereka.
Saya merasa bukan ahli dalam hal ini. Tapi semoga kita semua bisa saling belajar.
Kebanyakan pertanyaan penting yang saya dapat misalnya, apakah kalau anak mereka kuliah di Hubungan Internasional bisa menjamin kelak mendapatkan pekerjaan dan sukses? Batin saya, lha kalau HI saja diragukan, apalagi Sosiatri, Sastra Indonesia, Sastra Nusantara, Seni Kriya, dan Filsafat seperti saya?
Menurut saya, pertanyaan itu wajar. Mungkin ketika saya belum punya anak, pertanyaan semacam itu ‘lebay’, rasa khawatir khas orang tua yang cenderung otoriter. Padahal kekhawatiran itu belum tentu diekspresikan dengan cara otoritarian.
Persoalannya adalah sistem pendidikan di Indonesia itu belum sepenuhnya terkait dengan pekerjaan. Coba cek sekeliling kita. Kalau logikanya begitu, ada banyak sekali filsuf di negeri ini. Sialnya, tidak ada profesi filsuf di negeri ini. Gampangnya, para jurnalis yang saya kenal, banyak yang berasal bukan dari jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka ada yang lulusan Biologi, Arsitektur, Perikanan, Hukum, bahkan Filsafat. Itu problem besar pendidikan di Indonesia. Saya sendiri tidak tahu solusinya. Belum lagi banyak universitas membuka program S2 yang judulnya aneh-aneh. Itu juga menimbulkan persoalan tersendiri. Sekolah makin tinggi, harapan makin tinggi, begitu lulus, belum tentu tersedia lapangan pekerjaan. Jangankan yang lulusan S2 dalam negeri, yang lulusan luar negeri saja banyak yang menganggur.
Perdebatan soal pendidikan ini sudah berlangsung lama dan involutif. Menteri Pendidikan berganti orang dan nama, tapi persoalan itu tak kunjung ada jawabannya.
Itu satu persoalan. Persoalan lain adalah kata ‘sukses’. Kata ini dalam prakteknya, bukan perkara mudah. Apa itu sukses? Punya keluarga, punya harta, punya jabatan, atau jujur, berintegritas atau apa? Oke. Kita ambil yang paling mudah ukurannya. Anggaplah sukses itu diukur dari materi. Apakah orang yang punya satu sepeda motor, satu mobil, dan satu rumah bisa dianggap sukses? Teman saya, punya lebih dari 5 rumah, punya 3 mobil, sepeda motornya mungkin belasan, masih belum merasa dirinya sukses. Orang yang terlahir dari keluarga seorang konglomerat, mungkin tidak merasa sukses sekalipun punya uang ratusan miliar.
Sementara, bapak saya sudah merasa sukses dalam hidupnya. Sekolah SPG. Kerja. Kuliah di usia lebih dari 30 tahun, sembari terus mengajar. Baru kemudian kuliah lagi meneruskan S1 di usia 40 tahun lebih. Mungkin di usia saya ini, bapak saya baru jadi seorang sarjana pendidikan.
Ada teman saya yang tak melanjutkan kuliah tapi merasa sukses. Punya kebun cengkeh, punya kebun kopi, punya penginapan, dan keluarga yang menyenangkan.
Ada juga teman saya yang nyaris tak punya apa-apa, tak menikah, tapi bahagia karena bisa mengajar anak-anak muda di berbagai wilayah di Indonesia.
Bahkan ada teman saya yang merasa sukses sekalipun gak sarjana, kerjanya serabutan, bikin rumah minta tolong teman-temannya, hidup sehari-hari dengan berkesenian pantomim. Kalau lagi gak laku ya pura-pura jadi penulis padahal yang dia incar adalah supaya ada barang yang dijadikan dagangan untuk ditukar dengan lembar ratusan ribu rupiah. Orangnya juga cengengas-cengenges tiap hari. Setiap hari bisa makan enak karena menggilir teman-temannya menraktirnya. Dia baik-baik saja, dan merasa sukses dalam hidupnya.
Jadi apa itu sukses? Apa parameternya? Mungkin itu dulu yang harus diputuskan.
Dalam situasi seperti itu, kenapa kita tidak menggeser sedikit saja cara pandang kita? Kenapa tidak kita mulai dari biarlah si anak sekolah di jurusan yang dia merasa suka, nyaman, dan bahagia?
“Tapi bagaimana nanti bisa menjamin dapat kerja?”
Lha, disekolahkan di mana saja, tidak ada jaminan dapat kerja. Kecuali sekolah tertentu seperti STAN, AKPOL, AKABRI, atau sejenisnya. Itu pun jika si anak mau dan mampu. Kadang mampu tapi tak mau. Kadang mau tapi tak mampu.
Termasuk, saya kira, ketika si anak memutuskan tidak mau kuliah. Memang berat. Tapi jangan-jangan dia punya pertimbangan lain. Mungkin dia ingin jadi pengusaha sejak muda, sehingga jatah gagalnya bisa dihabiskan sedini mungkin.
Tapi sebagai orangtua, kita juga mesti awas terhadap diri sendiri. Karena sering juga, mencoba melampiaskan dan membebankan apa yang gagal kita raih kepada anak-anak kita. Saya tidak bisa bahasa Arab. Saya merasa gagal. Lalu kegagalan itu saya paksakan kepada Kali. Itu yang tidak adil. Tapi itu nyata ada. Saya juga mengalami sebagai orangtua. Tenang saja.
Sikap kritis terhadap diri sendiri itu persoalan manusia seumur hidup. Jangan cuma bisa kritis pada situasi sosial dan orang lain. Itu bekal yang baik sebagai orang tua.
Selebihnya soal sukses, ya serahkan saja kepada Tuhan. Kalau tidak bisa dipikir, kenapa harus memaksa mikir? Jangan karena melihat Jumaldi Alfi sukses menjadi pelukis, lalu Anda paksa si anak untuk masuk ISI jurusan lukis. Padahal pelukis sukses jauh lebih sedikit dibanding pelukis tidak sukses. Pelukis sukses mungkin hanya ada seratus lebih sedikit, pelukis tidak sukses ada belasan ribu.
Atau kalau tak percaya-percaya amat sama campur tangan Tuhan, ya dipikir nanti-nanti. Jangan sampai kayak ludrukan. Dua orang hampir berkelahi gara-gara diskusi soal bisnis sapi, sementara saweran bisnis sapinya saja belum terjadi.
Saya kira hanya itu sih yang bisa saya bagi…