Setiap kali pulang kampung saat Lebaran, Nody selalu menyempatkan diri mengunjungi salah satu temannya saat SD. Hanya satu itu. Tidak ada yang lain. Mengunjungi Supardi.
Saat kelas 5 SD, lebih dari dua puluh tahun lalu, ada pencurian beruntun terjadi di kelasnya. Dari mulai uang tabungan, uang arisan kecil-kecilan yang dilakukan anak sekelasnya yang hendak meniru ibu-ibu mereka yang suka arisan, sampai uang saku beberapa anak. Pencurinya tidak pernah tertangkap. Tapi pasti salah satu atau lebih anak di kelas itu. Tidak mungkin yang lain.
Hingga mungkin saking judeg tak kunjung menemukan pencurinya, para guru melakukan sesuatu yang mirip orang linglung dalam menyelesaikan tindakan. Mereka pergi ke seorang dukun, lalu dukun itu memberi air kendi, dan setiap bocah di kelas itu diberi minum dengan cara ditumpahi air dari kendi.
Siapa yang keesokan harinya sakit, maka dialah si pencuri.
Tapi Nody tahu, sebetulnya siapa yang dicurigai para guru dan teman-teman sekelasnya. Supardi. Siapa lagi? Pertama, karena ketika kelas 4, dia pernah dilabrak tetangganya karena mencuri jambu air yang hendak ditebas ke pengijon. Dia terbiasa melompat pagar sekolah, dan sering tak masuk sekolah karena ikut enaknya pergi ke persil.
Bapak Supardi tak diketahui dengan pasti di mana berada. Kabar yang sesekali didengar di kampung, si bapak didor di alas Ngablak oleh Petruk. Kelak ketika Nody besar, dia tahu bahwa istilah yang benar bukan ‘Petruk’ melainkan ‘Petrus’.
Keesokan hari setelah cucupan kendi mancur di setiap mulut anak-anak di kelasnya, Nody bangun tidur dengan muntah-muntah. Dia gelimbungan sembari mengerang. Bapak-ibunya panik. Dia dibawa ke Puskesmas. Tapi tidak ditemukan penyakitnya. Dibawa ke rumahsakit kabupaten, tetap tak ditemukan penyakitnya. Dua hari kemudian, Nody sudah sehat. Ceria. Bisa bermain kelereng dan berangkat sekolah.
Di sekolah, teman-teman dan gurunya gugup menyambutnya. Mereka justru yang merasa bersalah. Tidak mungkin Nody, anak seorang kepala sekolah SD, ibunya juga seorang guru, anak dari keluarga yang dianggap priyayi saat itu, dituduh mencuri uang. Mereka mulai menyalahkan cara menyelesaikan masalah, menyalahkan dukun yang didatangi, sampai akhirnya menyalahkan diri mereka sendiri.
Sementara Supardi yang hendak ditarget, yang cucuran air ditumpahkan ke mulutnya lebih banyak dibanding anak-anak yang lain, terlihat afiat. Bugar. Dan seperti biasa, cengengesan.
Pencurian terhenti. Kasus ditutup. Tidak pernah dibicarakan lagi.
Setiap Lebaran tiba, Nody hanya pergi ke satu rumah temannya di waktu SD. Rumah Supardi.