Di tengah polemik kasus Teluk Jakarta, ada satu peristiwa politik yang sempat mampir ke publik namun tidak mendapatkan respons yang cukup oleh netizen: perseteruan antara Susi Pudjiastuti sebagai menteri Kelautan dan Perikanan, dengan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
Perseteruan ini menarik untuk disimak, sebab mewakili dua cara pandang pembangunan yang berbeda. Sengaja saya menjauhkan dan menyingkirkan semua variabel konspirasi dan kepentingan-kepentingan tertentu yang mungkin ada, supaya lebih fokus memaparkan soal cara pandang, yang diturunkan dari paradigma berpikir.
Alasan Kalla saya bikin sederhana agar mudah dipahami. Di kepala dia, ada banyak pabrik ikan yang tak beroperasi. Ada banyak sekali kapal-kapal besar dengan jumlah tenaga kerja “nelayan-pekerja” yang terancam menganggur. Transaksi ekonomi penjualan legal sektor perikanan menurun, dll.
Sementara alasan Susi juga saya bikin sederhana. Dia ingin laut tetap lestari sebagai sumber pangan dan ekonomi, sehingga semua jenis dan corak penangkapan ikan yang mengancam keberlanjutan ekonomi berbasis kelautan, harus dilarang. Nelayan-nelayan kecil juga berhak hidup. Mereka selama ini makin susah mencari ikan karena semua sudah dibabat oleh kapal-kapal dari perusahaan besar.
Maka jangan heran, mereka yang melakukan demontrasi terhadap Susi adalah yang merepresentasikan pihak yang dipikir dan dibela oleh Kalla: para pemilik kapal besar, para pemilik perusahaan pengepakan dan pengolahan ikan, para nelayan-pekerja, dan para pekerja pengepakan ikan. Ada sektor pekerjanya. Bukan hanya pebisnis saja. Atau mudahnya ada sektor buruh.
Sementara yang membela Susi juga jelas, yakni para nelayan kecil yang terhimpit kehidupan mereka sejak lama. Alat produksi mereka sudah tidak bisa lagi bertanding dengan para pemilik kapital besar. Mereka tersingkir dari alam dan mata pencarian mereka.
Di sinilah, kalau kita tidak hati-hati berpikir dan menganalisis, maka jebakan-jebakan klise akan mudah memerangkap kita. Yang satu dibela bukan hanya oleh pemilik modal besar, melainkan kelas pekerja (buruh pengepakan dan pengolahan ikan, dan nelayan-buruh). Sementara yang lain juga dibela oleh sektor yang terpinggirkan: para nelayan kecil.
Hal seperti di atas, juga sangat bisa dan biasa terjadi di sekeliling kita. Dalam kisah sehari-hari. Misalnya seorang kepala desa yang mengizinkan mini market ada di wilayahnya. Kalau benar dia seorang pemimpin, dia akan memikirkan misalnya: berapa jumlah toko kelontong yang akan mati, apakah mini market itu bakal mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya entah sebagai pekerja, pengusaha sampingan, dll.
Mari kita perdalam dengan contoh. Anggaplah satu mini market akan mematikan 10 toko kelontong, yang itu artinya ada 10 keluarga yang terancam secara ekonomi. Lalu dengan berdirinya mini market, ada 10 orang pekerja yang terserap. Ada 5 orang yang bisa menjadikan lahan di depan mini market sebagai lahan bisnis baru, entah jual martabak atau penganan lain. Lalu bagaimana menyelesaikan antara masyarakat yang rentan kena dampak ekonomi, dengan potensi ekonomi baru. Dan lain-lain. Kalau kita hitung secara lebih cermat tidak bakal sesederhana itu. Tapi pemimpin harus memutuskan. Misalnya iya.
Atau dia akan pertahankan supaya tidak ada mini market di desanya. Namun dia menyadari bahwa ancaman itu tetap ada jika mini market tersebut muncul di desa tetangga. Sehingga warganya juga memutuskan belanja di mini market tersebut. Apa yang harus dilakukan? Membuat jaringan distribusi antarwarung kelontong supaya bisa bersaing? Membuat inovasi-inovasi pada masing-masing warung kelontong tersebut sehingga tetap bisa bersaing? Dll. Dan itu juga harus diputuskan dan dikerjakan.
Dalam kasus Susi dan Kalla, juga dalam kasus kepala desa yang memutuskan mini market bisa berdiri di daerahnya atau tidak dengan segala pertimbangan, semua tidak bisa dinilai benar atau salah. Karena semua lewat pertimbangan yang matang, keputusan yang jelas, dan tujuannya apa. Keputusan bisa berbeda. Tapi bisa jadi sama. Itulah yang membedakan seorang pemimpin dengan yang bukan seorang pemimpin. Kalau bukan pemimpin, urusannya lebih sederhana lagi: dapat upeti berapa dia dari mini market itu.
Seorang pemimpin, tidak bisa menyenangkan semua orang. Tidak mungkin. Integritasnya diuji bukan karena keputusannya, melainkan argumen, landasan moral, cara pandang, dalam mengambil keputusan. Seorang kepala desa yang runtut, berhati-hati, menghitung dengan cermat demi kemaslahatan warganya lalu memutuskan: Oke, mini market boleh berdiri. Akan berbeda dengan seorang kepala desa yang memutuskan hal yang membuat keputusan sama, tapi pertimbangannya berdasarkan dia dikasih upeti 50 juta rupiah, lalu perbulan diberi 1 juta rupiah. Sekali lagi: keputusannya sama.
Seorang pemimpin itu berselancar dalam sekian hal yang rumit. Untuk itulah dia menjadi pemimpin. Kalau tidak ada pertentangan dan hal yang rumit, buat apa ada pemimpin?
Kadang, persoalan menjadi tidak segampang yang kita kira. Misalnya untuk kasus semen di Pati dan Rembang. Seorang aktivis harus berani bertanya kepada diri sendiri. Menantang dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih keras. Masyarakat tempatan punya hak hidup. Pabrik semen tidak boleh mengganggu kehidupan mereka. Terlebih pegunungan karst itu penting untuk keberlanjutan kehidupan.
Tapi di sisi yang lain, dia harus terbuka untuk berpikir: Lalu kalau semen itu tidak ada, bagaimana keberlanjutan pembangunan? Pembangunan infrastuktur yang menyerap banyak tenaga kerja itu butuh semen. Masyarakat juga butuh semen. Kalau semen mahal, daya saing kita akan lemah. Lalu di mana harus dibangun pabrik semen? Kalau di tempat lain, bukankah msyarakat tempatan di sana juga butuh hidup? Apa kita lebih baik tidak usah membangun saja? Apa ada alternatif selain paradigma pembangunan yang sekarang ini bekerja? Dll. Dll.
Kalau kita tidak memikirkan itu, tidak berani menantang diri dengan pertanyaan-pertanyaan itu, maka problem itu akan terus berulang.
Susi, Kalla, Kepala Desa, kasus semen, dll, hendaklah menjadikan kita selalu berpikir. Sehingga kita mungkin bisa mengingat sebuah kata di Pancasila yang nyaris terlupakan, juga salah satu kata kunci dalam berpikir secara meluas dan mendalam: kebijaksanaan.
Maka itu, untuk kasus yang selama ini ramai soal Ahok, KPK, DPRD DKI, sudah cukup segala caci maki. Karena sudah muncul ruang dengan level kepentingan yang lebih tinggi yakni soal reklamasi. Pentingkah? Kenapa penting? Untuk siapa? Bagaimana caranya? Dan lain sebagainya.
Menjadi pemimpin itu berat. Tapi menjadi tukang protes juga berat. Kecuali hanya sekadar tukang protes yang mbambung dan asbun.
Dan jujur saya akui, saking beratnya menjadi seorang pemimpin, sampai sekarang untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa pun, saya belum berani.
Selamat pagi…