Bagaimana sebuah pertunjukan pantomim, dengan durasi yang nisbi panjang, sejam lebih sedikit, bagi orang awam macam saya? Seluruh adegan seutuhnya hendak diberikan hak tafsir sepenuhnya kepada penonton.
Pertunjukan ini dimulai dari gerakan empat aktor, yang mencoba berinteraksi kepada penonton. Ini sebuah pembukaan yang mungkin dilatari oleh strategi memecah kebekuan, sekaligus ‘mencicipi’ bagian paling penting kepada penonton. Seluruh gerakan, sekalipun diolah oleh keempat aktor yang diperankan oleh Andy Eswe, Ficky Tri Sanjaya, Yudha Rena Mahanani, dan Dinarto Ayub Marandi atau lebih dikenal dengan panggilan Odon, dengan ekspresi yang berbeda, namun sepertinya punya pola yang mirip. Setiap penonton disapa, diajak bersalaman, didandani, dimandikan, disisiri, diberi pakaian, bahkan kadang dipeluk—yang sialnya, Andy mendekati lebih banyak perempuan agar bisa dipeluk, tapi untung kebanyakan dari mereka tidak mau—tapi kemudian diakhiri dengan ditembak kepala mereka. Atau dipukul. Atau seolah-olah dibacok. Dari sana, penonton mencoba diajak dan dijembatani ke tema pertunjukan ini.
Saya sengaja tidak membaca terlebih dahulu buklet pertunjukan, karena saya benar-benar ingin membebaskan diri dari sinopsis cerita atau apa pun itu, yang biasanya ada di sana. Dan benar, ketika pertunjukan usai, saya membaca sinopsi yang amat ringkas sebagai berikut:
“Anak-anak itu telah tumbuh besar. Mereka dilahirkan dari rahim satu ibu. Tapi kini mereka tak lagi saling kenal. Bahkan mereka tak lagi saling mengenali ibundanya sendiri. Mereka saling berkelahi hingga saling bunuh. Anak-anak itu telah kerasukan hasrat kekuasaan, racun teknologi, dan ambisi untuk menjadi binatang bernama: manusia. Perang.”
Saya beruntung tidak membacanya sebelum pertunjukan, karena bukan saja itu sinopsis yang tidak jelas, nggladrah, dan tidak akan mengarahkan saya ke mana-mana, dan mungkin juga teramat klise. Terlampau umum. Itu hampir mirip dengan jika ada cerita atau pertunjukan tentang korupsi atau penguasa yang lalim.
Perhatian saya diselamatkan oleh sebatang pohon pisang yang menjadi ornamen utama panggung. Dan makin dibetot oleh sebuah adegan ngentot di bawah pohon pisang, yang dilakukan dengan dramatis dan ekspresif oleh Rena dan Ficky. Pohon pisang, menjadi simbol dunia orang biasa. Banyak tumbuh di halaman dan kebun masyarakat Indonesia. Dikonsumi sebagai penganan sehari-hari masyarakat. Tanaman yang bisa kita jumpai dari Aceh sampai Papua. Adegan ngentot di bawah pohon pisang atau bisa ditafsiri ngentot di sembarang tempat seperti kebun, pinggir sungai, semak-semak, dan semacamnya, mengingatkan saya atas isu yang agak rame di dunia medsos tentang ‘privilese’ beberapa saat lalu.
Saya sempat mengomentari dengan sederhana di Twitter: “Dari ngentotnya saja gak sama. Yang satu di hotel atau apartemen, yang lain di pinggir selokan yang sepi. Atau di rumah mertua yang berdinding anyaman bambu. Mau njerit-njerit (karena aktivitas ngentot) takut mertua terbangun. Masak ketika (kelak) bayinya mbrojol njuk bisa setara?”
Perkara privilese terlalu dibikin rumit oleh para intelektual. Tapi di pikiran saya sederhana. Dan adegan ngentot di bawah pohon pisang pada pertunjukan ‘Tawa Air Mata’ yang disutradarai oleh Andy Eswe ini, cukup mewakili perasaan saya, dan dengan mudah atau gegabah saya tafsirkan sebagai dunia orang biasa. Dunia orang-orang yang tidak punya banyak ‘hak istimewa’ dalam hidup mereka.
Adegan demi adegan selanjutnya, lebih mudah membuka jalan penafsiran bagi saya. Kehidupan orang biasa yang kadang menangis dan kadang tertawa. Mereka yang menghibur diri dengan menonton televisi, bermain hape, dan semacam itu. Lalu perkelahian demi perkelahian. Juga munculnya manusia-manusia berkepala kardus yang mirip zombie.
Tapi sebetulnya ada satu ikon topeng yang menyita perhatian saya yakni topeng gajah. Gajah di kepala saya selalu lekat dengan cara mudah mempelajari bagaimana hegemoni bekerja. Dalam kurikulum belajar yang disusun oleh Insist, almarhum Mansour Fakih dengan jeli menggambarkan ‘Sekolah Gajah’ sebagai cara mudah memahami hegemoni. Saya akan memberikan ringkasannya di sini. Ada sekawanan gajah mengamuk karena habitat mereka diganggu oleh manusia. Hutan tempat mereka hidup ditebangi lalu ditanami pohon sawit. Hingga kemudian didatangkan para guru dan gajah itu ‘disekolahkan’. Setelah ‘sekolah’ gajah-gajah itu kemudian lulut, dan dijadikan pertunjukan seperti misalnya sepakbola gajah. Bukan hanya itu, gajah-gajah yang telah lulut itu, bahkan membantu manusia untuk mengangkat kayu yang terus ditebangi. Gajah yang semula mengamuk karena habitat mereka dirusak manusia, kini menjadi lulut bahkan membantu manusia untuk mengangkuti pohon-pohon yang mereka tebangi.
Mungkin bukan itu maksud pertunjukan Andy Eswe dkk, tapi saya tak peduli. Pantomim yang hadir sebagai teater tanpa dialog, membuka kesempatan besar bagi saya untuk bermain-main dengan apa pun yang disajikan di panggung.
Orang-orang biasa itu, termasuk tentu orang-orang yang terhegemoni, kemudian berkelahi satu sama lain. Konflik mereka sudah bukan lagi struktural, karena logika struktural kandas dan dibutakan oleh pemikiran hegemonik. Penguasa harus dipuja. Pemrotes penguasa juga akhirnya meladeni para pemuja penguasa. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat versus masyarakat. Ini kerap dan jamak terjadi dalam dunia digital dan medsos. Penguasa dijaga oleh masyarakat yang berkepentingan atau terhegemoni, dan pengkritiknya meladeni mereka.
Juga mungkin orang yang tak tahu berkelahi dengan orang lain yang tak tahu. Tanpa mau saling tahu duduk masalahnya. Berkelahi saja, bukan sekadar membela siapa yang bayar. Tapi karena ada juga yang sama-sama tak tahu menahu, lalu gebuk-gebukan.
Hingga berdatanganlah para zombie penguasa. Mereka bermain di antara mereka sendiri. Terus menikmati permainan mereka. Merasa sudah sukses dengan tidak diganggu oleh masyarakat karena di antara masyarakat sudah saling menikam dan menghajar. Tapi hukum kekuasaan sesungguhnya berada di dua level. Level pertama adalah berbagi. Tapi bagi-bagi kekuasaan bukanlah hal alamiah di diri para penguasa. Pada akhirnya mereka akan masuk ke babak selanjutnya, hasrat memonopoli. Selain tentu saja, sifat penguasa pasti saling curiga satu sama lain. Sebab untuk sampai di lingkaran elite, pertarungan dan pengkhianatan adalah hal biasa. Jika mereka pernah mengkhianati seseorang, maka sesungguhnya mereka tak akan pernah percaya kepada siapa pun.
Di antara mereka kemudian saling bertikai. Rebutan sumberdaya alam yang direpresentasikan di panggung dengan tumpeng. Secara visual, tumpeng itu dibuat seperti gunung, dan lauk-pauk yang mengitarinya sebagai representasi sumberdaya alam yang melimpah. Mereka bertarung sendiri di sana, di saat orang-orang biasa sudah dalam keadaan sakaratul maut dan tidak berdaya.
Para penguasa terus berebut, terus merusak, terus memakan, dengan rakus. Dengan terus berkompetisi menyingkirkan satu sama lain. Hingga mereka semua jatuh tersungkur. Bukan karena mereka tak kuat. Tapi tak ada lagi sumberdaya alam yang bisa menopang kerakusan mereka.
Di akhir pertunjukan yang disajikan dengan ekspresi yang paripurna itu, semua mampus. Pertama, tentu orang-orang biasa. Kedua, hancurnya sumberdaya lingkungan. Kemudian konflik para elite penguasa. Tapi ketika tak ada lagi daya dukung ibu bumi, siapa yang bisa bertahan hidup di dunia ini?