Saya tidak biasa membunuh rasa penasaran. Saya tidak makan babi, tapi karena penasaran dengan babi guling Bu Oka di Bali, saya datang dan makan babi. Selebihnya sehari-hari saya tetap tidak makan babi.
Begitu juga ketika saya akhirnya bisa datang ke warung kopi legendaris Tak Kie di daerah Glodok, saya memesan semangkuk mi babi dan sup pio alias bulus. Kalau bulus, saya sudah biasa makan karena di kampung saya, selain biawak dan celeng, bulus adalah salah satu tambul istimewa menenggak arak Tuban.
Di kedai kopi yang buka sejak tahun 1920-an itu, saya tidak memesan kopi hitam melainkan kopi susu. Sebab saya lihat kopinya robusta dan disajikan dengan model tiam. Kalau Anda pencinta kopi pasti mafhum kalau robusta diseduh model tiam, rasanya sama di seluruh Indonesia. Hanya beda sedikit di Aceh karena saat disangrai, biasanya diberi margarin agar ada rasa gurihnya. Selebihnya dari Pontianak sampai Makassar, semua mirip.
Saya datang ditemani dua teman saya, Aunurrahman Wibisono dan Aditia Purnomo. Anunurrahman atau akrab dipanggil Nuran adalah wartawan musik muda yang liputan-liputan musiknya banyak digandrungi para penikmat tulisan musik. Dia juga kolega saya di www.minumkopi.com dan pernah menulis kedai Tak Kie. Jadi dialah yang memandu saya blusukan di sana.
Benar, baru saja duduk, Nuran sudah disapa vokalis band top yang kebetulan sedang ada di sana untuk ikut pameran “recollecting memories”. Benar-benar wartawan yang kondang. Saya curiga, Nuran termasuk sedikit wartawan yang sering diajak ngopi Ariel Noah untuk membantu memberi masukan soal musik. Tapi kecurigaan saya tentu tidak bisa dibuktikan.
Wabah akik juga sampai di kedai tersebut. Beberapa orang terlihat ngobrol asyik sambil menyenter batu. Saya hampir tertarik untuk nimbrung tapi urung karena mereka berbicara dalam bahasa yang tidak saya mengerti. Mungkin bahasa China.
Di kedai itu yang paling terkenal adalah minuman es kopi. Agar tahu kenapa bisa terkenal, Anda perlu meluncur dan mencari liputan Nuran tentang Tak Kie di www.minumkopi.com. Tapi saya sedang tidak berani minum es. Saya baru reda dari sedikit sakit demam.
Sekitar dua jam berada di sana, teman saya Alfa Gumilang menyusul ditemani Mbak Shinta. Kami memang janjian sehari itu untuk khusus melakukan kegiatan seruput kopi. Mbak Shinta punya usaha kopi siap seduh kelas premium. Mungkin nanti akan saya tulis sedikit soal produk kopinya. Situasi yang sedikit pikuk, lalu lintas orang yang keluar dan masuk, tidak menjadi kendala terjadinya obrolan asyik di meja kami. Sejam kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Catatan perjalanan dari kedai kopi satu ke kedai kopi lain di hari itu akan ditulis oleh Nuran.
Saya kira Nuran tepat membawa kami memulai perjalanan seruput kopi dari Tak Kie. Selain membuat perut kenyang, rasa puas juga kami kantongi. Makanannya enak, kopi susunya boleh, harganya masuk. Dengan bekal itu kami bersemangat melanjutkan perjalanan ke kedai lain.