Di Jawa pada umumnya, ketika Anda bertamu ke rumah orang, Anda akan tahu posisi Anda bagi si tuan rumah.
Kalau Anda diterima di ruang tamu, itu artinya ada jarak formal yang membentang. Tapi kalau Anda sudah dipersilakan duduk di teras, berarti sangat akrab. Kalau Anda diajak masuk ke ruang makan, dapur atau ruang privat lain, itu artinya Anda diterima dan dianggap teman baik.
Orang Jawa punya kepekaan soal tamu. Tamu yang pencilakan, mau ngisruh, tak kenal subasita, pasti akan ditaruh di ruang tamu. Di situ, tamu akan diberi jangkar psikologis. Pura-pura diperhatikan tapi radar awasnya bekerja paripurna.
Bagi orang Jawa, memalukan sekali jika ada tamu mengacak-acak ruang privatnya. Ada level bodoh yang akan ditertawakan orang. “Tamu kok diwenehi kunci, kuwi pertandha cah goblok…”
Di Jawa, tamu adalah tamu. Dia disambut baik dan dimuliakan. Tapi tetap tamu. Tidak pernah menjadi anggota keluarga. Apalagi pemilik rumah.
Konsep tamu di Jawa tentu bukan hanya tamu sebagai orang yang datang ke rumah. Tapi juga ‘tamu sosial’. Makanya ada istilah “Kae ki mung cah dolan”, jika ada orang yang tiba-tiba memasuki habitat atau ekosistem tertentu. Di Yogya apalagi. Kental sekali. Istilah “cah mertamu” atau “cah dolan” sudah menjadi kode sosial dalam pertemanan.
Mungkin di tempat lain juga begitu.