Sejak kecil, orang-orang memanggilnya: Mazpung. Nama aslinya: Purnomo. Dia termasuk salah satu orang yang sejak remaja mengidolakan Bagor. Semua bermula dari hal sepele.
Suatu hari, selesai salat Jumat, Mazpung yang waktu itu masih duduk di kelas dua SMP, tidak segera meningbalkan masjid. Wajahnya muram. Ketika Bagor dkk termasuk dengan takmir masjid mau membuka kotak infak, Mazpung langsung mendekat Bagor. “Assalamu”aialkum, Mas Bagor…”
“Walaiukumsalam, Pung. Weh, ada apa je. Kok belum pulang?”
“Maaf, Mas. Bisa bicara sebentar?”
Akhirnya mereka berdua minggir sejenak. Duduk di sebuah pojokan masjid.
“Begini, Mas Bagor… Saya itu kan tadi pagi diitipi teman-teman untuk beli Lexotant…”
“Pung, kamu keliru kalau mau malak aku. Kamu pikir aku takut sama kamu? Takut sama gali? Apalagi gali piyik kayak kamu!” Muka Bagor tampak merah. Tersinggung. Apalagi dia merasa dipalak di masjid padahal posisinya adalah ketua remaja masjid.
“Bukan begitu, Mas Bagor…” sambil berkata begitu, Mazpung memegang dengkul Bagor sambil menundukkan kepalanya.
Kemarahan Bagor reda. “Terus piye?”
“Nah, pas berangkat ke masjid tadi, saku baju kanan, saya isi uang untuk infak sebesar seribu rupiah. Yang saku kiri, saya isi uang untuk beli lexotant hasil saweran dengan teman-teman sebesar 20 ribu rupiah. Maksud saya, habis jumatan langsung beli.”
“Terus…”
“Lha pas kotak infak beredar, khotbahnya kan membosankan. Saya mengantuk. Pas kotak infak sampai di depan saya, saya masukkan uang yang 20 ribu. Plung! Lha saya baru sadar pas mau pulang tadi. Ini lho, uang yang seribuannya…” ungkap Mazpung sambil mengulungkan uang lecek seribuan, mukanya melas sekali.
Bagor diam.
“Apa ya salah orang mengantuk saat khotbah Jumat berlangsung, Mas?”
Bagor menggelengkan kepala.
“Apa ya salah, orang lupa menaruh uang di saku?”
Bagor juga menggelengkan kepala.
“Lalu apakah Mas Bagor tega, hanya karena hal kayak gitu lalu saya batal membeli lexotant dan dimarahi teman-teman saya? Apakah Mas Bagor tega reputasi saya hancur di mata teman-teman saya?”
Bagor lalu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Diambilnya uang 20 ribu. “Ini tadi aku kebetulan dikasih duit sama simbah kakung. Agak banyak. Ini aku ganti uangmu yang sudah telanjur masuk ke kotak infak.”
Muka Mazpung langsung sumringah. Dia menatap muka Bagor dengan kagum. Semenjak kejadian itu, kalau ada apa-apa mau menimpa Bagor, Mazpung maju duluan.
Maka ketika peristiwa Kudatuli meletus dan di seantero penjuru kampung beredar desas-desus kalau Bagor itu terlibat organisasi dengan PKI, Mazpung dan kawan-kawan Bagor yang di organisasi remaja masjid maju duluan. Mereka mengklarifikasi apa yang sebetulnya terjadi.
Begitu Bagor memutuskan pulang dari pelarian di sebuah pondok pesantren untuk menyerahkan diri, Mazpung yang pertama datang ke rumah Bagor bersama teman-temannya. “Apapun yang terjadi, Mas Bagor adalah kawan kami!” ujarnya begitu sambil menjabat tangan Bagor erat sekali.
Sebetulnya tidak ada yang tahu persis apakah sebetulnya Mazpung ini memang benar-benar jago dan berani berkelahi atau tidak. Kemunculannya sebagai jagoan di antara teman-teman sebayanya berlangsung mulus. Bukan perjalanan berdarah-darah, penuh perkelahian dan ajang pembuktian diri sebagai jagoan.
Satu-satunya perkelahian yang diingat oleh orang sekampungnya adalah ketika Mazpung yang saat itu baru saja menginjak bangku SMA menantang seorang gali senior di kampungnya gara-gara dikompas.
Mazpung membawa pisau terhunus keliling kampung mencari gali itu. Sang gali, sebut saja namanya Botol, mendengar dia dicari “anak kecil” bernama Mazpung, langsung muntab. Dia bawa golok gantian mencari Mazpung. Akhirnya mereka berhadap-hadapan di sebuah perempatan. Seorang gali senior yang sudah sangat terkenal, membawa golok terhunus, menghadapi remaja mungil dengan pisau kecil yang juga terhunus.
Orang-orang sudah menyangka sebentar lagi pasti mereka akan menyumbang Mazpung yang menginap beberapa minggu di rumah sakit.
Botol maju. Mazpung juga maju. Ketika jarak tinggal tiga meter, ketika semua orang mulai menahan nafas, mendadak azan Ashar berkumandang.
Mazpung membentak, “Sebentar, baru azan! Hormati orang azan!”
Botol pun diam. Menunggu. Dia tahu kalau dia maju, orang-orang akan menyakahkannya. Bagaimanapun kampung itu adalah salah satu pusat kegiatan keagamaan.
Begitu selesai azan, Mazpung bilang beginu, “Aku mau salat Ashar dulu. Kalau kamu masih berani, tunggu di sini!”
Botol mulai bingung. Dia mematung. Tidak bisa menjawab. Mazpung meletakkan pisaunya di tanah. Lalu dia menuju ke arah masjid untuk salat Ashar. Orang-orang terdiam. Lalu satu persatu mengikuti Mazpung ke masjid. Tinggal Botol yang berdiri canggung di tengah perempatan. Dia bingung, kalau mau salat, dia khawatir dianggap orang-orang takut. Karena disuruh menunggu oleh Mazpung. Kalau dia tidak salat, orang-orang sekampung tahu bahwa perkelahian yang terjadi ini antara orang yang habis salat dengan yang belum salat.
Saking pusingnya, akhirnya Botol pergi meninggalkan kalangan itu.
Begitu Mazpung usai salat, ketika orang-orang kembali ke perempatan dan mendapati bahwa Botol sudah tidak ada di tempat, mereka menganggap Mazpung adalah gali baru di kampung itu.
Semenjak itu, Bagor pun merasa dibekingi oleh seorang gali anyaran yang meniti karier tanpa perkelahian.