Ketika ada demonstrasi menentang penambangan batu di bukit Genuk, Karman hanya tercenung di bawah pohon kemuning. Teman-temannya, para penambang batu, para sopir dan kenek, juga satpam di daerah pertambangan batu itu menghadang barisan yang terdiri dari para mahasiswa dan petani yang merasa penambangan batu itu merusak lingkungan.
Karman bukan seorang pengecut. Sejak kecil dia hidup di kampung itu. Bukit Genuk nyaris menjadi tempatnya bermain sehari-hari terutama jika dia mencari pakan kambing atau berburu landak. Dalam hati, Karman tahu, mungkin memang ada yang salah dari penambangan bukit itu. Setiap kali dia menyaksikan dinamit-dinamit yang diledakkan, mesin-mesin yang mengeruk bebatuan, suara batu-batu yang dimasukkan di dalam bak truk, seperti ada yang terus memalu hatinya.
Tapi Karman tahu dia tak bisa apa-apa, terlebih ada seorang istri dan dua orang anak yang harus dihidupinya. Setiap hari, dia membawa uang 35 ribu rupiah. Hasil kerjanya menjadi kenek dari mulai jam 6 pagi sampai jam 5 malam. Terkadang, dengan tangan gemetar, dia menerima semacam “bonus” dari sopirnya setiap hari Sabtu. Bonus itu adalah hasil penggelapan kecil-kecilan dari si sopir dengan mengakali pembelian solar, pergantian ban, dan pelemparan batu. Setiap Sabtu Karman mendapatkan uang 50 ribu, juga makan siang yang lumayan enak, dan setengah bungkus rokok dari sopirnya.
Pagi sekali Karman sudah mandi. Sarapan seadanya, lebih sering sisa nasi semalam, lalu mencegat truknya di pertigaan dekat rumahnya. Sebelum Magrib, dia sudah pulang.
Demontrasi tak sering terjadi. Sesekali saja. Kadang setahun 3 kali. Kadang 5 kali.
Karman memilih libur hari Jumat karena dia memang punya kewajiban melakukan salat Jumat. Usai salat Jumat, untuk menambah penghasilan, kadang Karman mencari ikan di sungai yang berjarak 5 kilometer dari rumahnya. Kalau dapat ikan banyak, dijual sebagian di warung tetangganya. Kalau hanya sedikit, dimasak istrinya sendiri. Kedua anak laki-lakinya yang masih berumur 8 yahun dan 6 tahun, akan menyantap lahap ikan-ikan itu.
Karman tak banyak bicara. Usianya hampir 30 tahun, tapi wajahnya sudah mirip orang berusia 50an tahun.
Di antara sekian puluh kenek yang ikut hilir-mudik bersama sopir masing-masing, Karman dengan mudah ditandai. Dia satu-satunya yang selalu menyingkirkan bebatuan di sepanjang Tanjakan Batu. Hanya ada satu tanjakan dari bukit Genuk ke arah bawah. Tanjakan itu cukup curam sehingga kebanyakan truk harus berjalan pelan dan sering kali mogok. Di sinilah peran utama kenek, yakni memasang batu di ban belakang truk. Kenek itu akan terus mengawal sampai truk tersebut melewati Tanjakan Batu.
Hampir semua kenek tidak pernah menyingkirkan batu-batu itu di tepi jalan. Sehingga sering mempersulit truk-truk yang lain. Setiap kali Karman melalui Tanjakan Batu itulah, sembari terus mengawal truknya melaju pelan, dia membersihkan batu-batu, meletakkan di pinggir jalan. Terlebih ketika rute terakhir, sore hari, Karman seperti hendak membersihkan jalanan itu dari semua bebatuan yang membahayakan. Terutama jika rombongan satpam dan orang-orang administratif pulang di senja hari dengan naik sepeda motor. Pernah sekali, pegawai pertambangan itu patah kaki karena sepeda motor yang ditumpanginya melanggar batu besar yang sepintas mirip warna daun jati kering. Dia terjatuh, berguling ke bawah, selain kakinya patah, ada beberapa jahitan di mukanya.
Semua orang sudah hapal dengan apa yang dikerjakan Karman. Awalnya, sopir yang diikuti Karman protes karena itu memperlambat kerjanya. Tapi lama-kelamaan sopir itu diam. Terlebih Karman tak pernah bertingkah jika dia korupsi bahan bakar truk, diam ketika jatah beli roda truk baru hanya dibelikan roda batikan, dan tak pernah protes ketika setiap lewat rumah si sopir, truk akan berhenti sebentar lalu meminta Karman melempar barang dua atau tiga batu. Hingga dari lemparan batu itu saja, ketika membangun rumah, si sopir tak mengeluarkan banyak biaya.
Jadi kalau Karman hanya membersihkan batu dari jalanan di sepanjang Tanjakan Batu, si sopir hanya diam. Mungkin jika kelak mati, Karman ingin masuk surga, begitu batin si sopir.
Sementara itu, sopir-sopir truk lain yang terbantu jika di depan mereka ada truk Karman, tak pernah memerintahkan kenek-kenek mereka untuk melakukan hal yang sama. Para kenek pun tak ada yang mencoba meniru Karman. Para satpam dan pihak administratif yang terbantu dari risiko jatuh, tidak ada yang mengucapkan terimakasih. Mereka merasa apa yang dikerjakan Karman adalah hal yang baik tapi tak perlu diberi ucapan terimakasih. Itu hal yang biasa saja.
Mereka bersikap biasa saja sebagaimana biasa pula menyaksikan beberapa sopir mati karena ginjal mereka remuk karena terlalu banyak minum minuman suplemen. Biasa saja ketika beberapa orang pegawai pengeruk ada yang pecah kepala mereka karena batu yang melenting usai dinamit diledakkan kena kepala-kepala tanpa helm. Biasa saja di sepanjang jalan menatap para petani bermuka beku karena sawah-sawah mereka mengering, yang salah satu penyebab utamanya adalah penambangan batu.
Wajah-wajah mereka dingin tanpa ekspresi. Tidak ada yang berbeda bahkan apakah mereka sedang menghadapi tanggal muda atau tanggal tua. Wakah mereka sama apakah sedang bekerja atau sedang merayakan Lebaran.
Hanya wajah Karman yang sedikit berbeda, setiap kali dia kerenggosan, berjalan mengejar truknya sesudah membersihkan batu-batu di pinggir jalan, wajahnya agak cerah.
Bukit itu terus digerus. Tanjakan Batu terus dirangkaki truk-truk. Hingga suatu sore mereka sempat geger sebentar karena Karman jatuh terpeleset ketika membersihkan batu-batu di Tanjakan Batu. Kepalanya membentur batu.
Beberapa bulan semenjak peristiwa itu, Karman tetap menyingkirkan batu-batu. Tapi kali itu dengan muka beku. Dia tak lagi mengejar truknya, membuka pintu lalu duduk di samping sopir begitu usai menyingkirkan batu-batu. Dia hanya sesekali duduk sambil sepasang matanya yang redup menatap bukit Genuk.
Karman sesekali saja pulang ke rumah. Kedua anaknya dan istrinya tak lagi tinggal bersama mereka.
Karman tak pernah lagi pergi ke masjid untuk salat Jumat. Terakhir kali dia di masjid, saat khotib sedang berdiri hendak menuju ke mimbar, Karman berteriak kencang sekali, “Tua mana bukit Genuk atau Rembulan?!”
Setelah itu, Karman hanya kerap ditemui di Tanjakan Batu, membersihkan batu-batu. Lalu duduk memandang bukit Genuk.
Sementara orang-orang yang melewatinya, para sopir, para kenek, para satpam, para pegawai administratif tambang batu, hanya sesekali saja menoleh ke arah Karman. Sesekali saja mereka melempar koin 500 atau 1000 rupiah.
Dan Karman terus memunguti dan menyingkirkan batu-batu, sampai 10 tahun kemudian ketika anak pertamanya yang lulus SMA naik sepeda motor, membawa stopmap menuju ke bukit Genuk, melamar menjadi Satpam di tempat itu.
Sebulan pertama begitu pemuda itu bekerja, setiap kali melewati Karman, berurai airmatanya. Di bulan-bulan berikutnya, pemuda itu sudah terbiasa. Sesekali dia melempar uang 10 ribu rupiah di depan Karman. Sebagai tanda cinta.
#BelajarMenulisCerpen