Malam ini adalah malam yang panjang, mendebarkan, dan tentu saja penuh guncangan emosional bagi para calon pasangan yang akan bertarung dalam Pilkada. Tentu saja termasuk para tim sukses. Bagi mereka yang menikmati pertarungan, maka hal seperti ini menjadi kenikmatan. Susah terulang. Baik ketika kalah maupun menang.
Bagi orang-orang tertentu, pada akhirnya tak terlalu penting menang atau kalah. Pertarungan itu sendiri yang paling penting. Rasa menang punya akhir. Rasa kalah punya batas. Rasa pertempuran tersisa jauh lebih panjang.
Pada situasi seperti itulah yang bisa menjelaskan kenapa para pimpinan pertempuran dari dua atau lebih kubu yang berseberangan, bisa kembali duduk satu meja dan tertawa. Itu bukan sikap oportunistik. Tapi muncul dari kesadaran yang paling dalam bahwa ketika mereka bertempur, bukan soal menang atau kalah yang sedang dipertaruhkan. Tapi api letupan di dalam dada yang tak mudah dicandra. Bauran antara insting survival, peniti tantangan, juga warisan adaptatif dari semenjak nenek moyang kita masih berupa semacam ikan lele.
Itu sebabnya, kisah-kisah wiracarita, selalu melarang kita membenci musuh dengan cara berlebihan. Tak boleh kemenangan menjadikan kita nista. Kekalahan bukan berarti aib. Kalah dan aib adalah dua jenis yang berbeda sama sekali. Juga tak ada urusannya kemenangan dengan kemuliaan.
Syaidina Ali urung menebaskan pedangnya ke musuh yang sudah dipitingnya karena si musuh meludahinya. Kesatria kesayangan Rasulullah itu takut bahwa kemarahanlah yang mengendalikan sabetan pedangnya. Para Pandawa menangisi dan mendendangkan doa-doa suci begitu para Kurawa rebah di tanah.
Tapi bagi orang-orang tertentu, kemenangan adalah segalanya. Mereka mau melakukan apa saja. Memfitnah, menghina secara berlebihan, merusak adab.
Bagi orang-orang seperti itu, mereka telah lebih dahulu kalah jauh hari sebelum pertempuran terjadi.
Selamat menjalankan pertempuran, para Sahabat… Semoga kalian semua makin mulia.