— Tentang Catatan Pinggir
Saya membaca catatan pinggir yang ditulis Pak Goenawan Mohamad pada waktu duduk di bangku SMP. Saya meminjam majalah Tempo dari guru informal saya, seorang perwira angkatan darat yang dipenjara belasan tahun di Nusakambangan karena dianggap terlibat dalam Gestok.
Almarhum Pak Kartawi, guru saya tersebut, punya banyak sekali buku. Saya orang kampung. Di kampung saya, buku adalah barang mewah. Terutama buku-buku di luar buku yang ada di perpustakaan sekolah. Dari perpustakaan Pak Kartawi, saya bukan hanya membaca tulisan-tulisan Pak Goen tapi juga penulis-penulis lain seperti Romo Mangun, Ahmad Tohari, Nurcholis Majid, Emha Ainun Nadjib dll. Tidak semua buku saya pahami. Seingat saya saat itu yang paling saya sukai adalah membaca buku (semoga tidak salah judul dan nama): ‘”Kehormatan Bagi yang Berhak” yang ditulis oleh Manai Sophiaan dan biografi Jendral Soemitro.
Catatan Pinggir ketika kemudian dibukukan juga saya baca. Tapi saat itu saya sudah duduk di bangku sekolah SMA. Masih sama juga, tidak semua hal saya pahami tapi ada banyak yang saya sukai. Tulisan yang berjudul ‘Karna’ bahkan saya lipat dan saya simpan di dompet saya. Tapi saya lupa apakah saya robek dari buku yang saya pinjam dari Pak Kartawi atau saya fotokopi. Saya penyuka wayang. Sejak kecil sering diajak menonton wayang. Dan saya suka beberapa tokoh wayang seperti Bisma, Sukrosono, termasuk Adipati Karno. Saya selalu menangis kalau menonyon lakon Karno Tanding.
Sekalipun saya tidak begitu mengerti apa yang tertulis di catatan pinggir namun saya suka dengan gaya tulisan tersebut. Itu berlangsung terus sampai saya awal kuliah bahkan ketika saya membaca tetralogi Buru Pram. Saat saya kuliah, rasanya hampir semua mahasiswa yang belajar menulis selalu berusaha meniru gaya catatan pinggir. Termasuk saya.
Selain membaca catatan pinggir saya juga membeli dan membaca dan bahkan dulu menghapal beberapa puisi Pak Goen yang di buku kumpulan puisi Asmaradhana (atau Asmaradana?).
Soal catatan pinggir, setahu saya tulisan tersebut memang bukan untuk jenis tulisan opini atau pernyataan sikap. Jadi agak heran juga kalau kemudian ada orang yang meminta ‘kejelasan sikap’ dari sana. Juga agak aneh bagi saya kalau ada yang menginginkan ada ‘kedalaman’. Bagaimana bisa tulisan yang mungkin panjangnya sekitar 1000 kata, bisa kita dapatkan kedalaman dari sana? Tapi tentu sah saja kalau ada yang mengkritik catatan pinggir. Tulisan yang dipublikasikan pasti kena hukum dikritik atau dipuji. Kalau tidak mau dikritik, setelah menulis, dihapus lagi saja dari layar komputer.
Saya pelanggan majalah Tempo. Dan saya masih membaca catatan pinggir. Saya sudah tidak sesuka dulu lagi. Saya tidak tahu persis sebabnya. Mungkin karena kualitas tulisan menurun, mungkin karena bosan dengan gaya seperti itu, mungkin selera saya sudah berubah.
Tapi jujur saja saya kagum dengan stamina menulis yang reguler sekali dalam seminggu dan sudah dilakukan selama lebih dari 30 tahun. Anda harus mencoba menulis satu tulisan dalam waktu seminggu (tapi bukan berbentuk berita) dan lakukanlah paling tidak selama setahun. Anda akan tahu rasanya seperti apa.
Saya secara politik jelas banyak berseberangan dengan Pak Goen. Tapi saya masih membaca catatan pinggirnya walaupun tidak seperti dulu. sebab kalau dulu, begitu menerima majalah Tempo, selalu saya buka dari belakang untuk membaca tulisan yang saya nantikan.
Dan sampai sekarang, cukup sering juga saya tidak paham apa maksud tulisan-tulisan tersebut. Kadang saya ulangi membaca. Tapi biasanya tetap tidak paham. Mungkin saya kurang pintar. Tapi bisa jadi ketika tulisan tersebut dirancang punya tujuan agar tidak dipahami pembaca.
oOo
*kalau ada judul-judul buku dan nama tokoh yang keliru, mohon dikoreksi, saya males nggoogling untuk memastikan.