Saya bukan penulis puisi dan bukan kritikus puisi. Pengetahuan saya atas puisi, boleh dibilang tidak ada. Hubungan saya dengan puisi hanya pada dua hal. Pertama, saya pernah menulis puisi, dulu. Dulu sekali (tapi siapa sih yang tidak pernah menulis puisi?) Kedua, saya masih suka menikmati puisi-puisi yang ditulis oleh orang lain, sampai saat ini. Siapapun tentu bisa paham, dengan berbekal dua hal itu, seseorang tidak cukup pantas untuk mengkritisi sebiji puisi pun. Kalau kemudian tulisan saya ikut nebeng di kitab ini, urusannya sungguh sepele saja. Para penyair yang karya mereka berada di dalam kumpulan kitab ini kebetulan berada di sebuah lembaga di mana saya pernah ikut terlibat di dalamnya.
Dengan landasan tersebut di atas, tulisan ini tentu saja tidak berniat menggeledah puisi-puisi yang berada di kitab ini. Kalau bisa diibaratkan, jika ada sebuah perhelatan, saya hanya bertepuk tangan saja. Itu pun tepuk tangan dari jauh, bukan dekat dengan panggung.
Pertanyaan pertama yang mengusik saya ketika diberi kumpulan sajak ini, sangat sederhana. Kenapa teman-teman ini menulis puisi? Tetapi karena saya tidak bisa menanyakan hal tersebut kepada mereka, pertanyaan itu saya lempar ke diri saya sendiri. Kenapa sih dulu, saya menulis puisi? Tentu karena saya menyukainya. Tetapi kenapa sih saya suka puisi? Jawabannya menjadi lebih sulit dan kompleks.
Puisi, barangkali, adalah jenis sastra yang paling sulit direngkuh. Begitu banyak orang yang menyukainya, menuliskannya, dan tentu berpretensi menjadi penyair. Di berbagai milis yang diikuti banyak penyair, puisi bertebaran. Jenisnya macam-macam, sampai membuat pusing. Dari berbalas puisi sampai puisi SMS. Acara pembacaan puisi pun paling banyak dilakukan, sejauh pengetahuan saya. Dan kebanyakan melibatkan begitu banyak penyair. Asal ada panggung kosong, diberi sebuah pengeras suara, orang-orang dikumpulkan, panggung tidak akan kosong. Selalu dan selalu saja ada yang mau berdiri dan membaca puisi di sana.
Tetapi kenapa puisi? Saya belum pernah dengar ada orang berbalas novel. Saya belum pernah dengar ada orang menulis cerpen dengan medium SMS. Dulu, saya sering menyaksikan kawan-kawan saya menulis puisi di saat ulang tahun kekasih mereka, tetapi saya tidak pernah ngonangi ada orang menulis novel untuk ulang tahun kekasihnya.
Bisa jadi, mungkin karena puisi itu barang yang sederhana saja. Gampang ditulis. Asal ada kalimat yang dipecah-pecah, disusun ke bawah, diberi judul, lalu dicap puisi, maka: jadilah! Bahkan kalau perlu, tidak usah menulis kata-kata, cukup menulis: ah, ih, uh, nguik! Jadilah puisi. Tetapi para penyair tentu akan menghunus lidah jika hal tersebut dilemparkan ke mereka.
Saya mau agak nakal, saya akan ambil contoh seperti ini:
Tentang Puisi
Bisa jadi,
mungkin karena puisi itu
barang yang sederhana saja.
Gampang ditulis.
Asal ada kalimat yang dipecah-pecah,
disusun ke bawah,
diberi judul, lalu dicap puisi,
maka: jadilah!
Bahkan kalau perlu,
tidak usah menulis kata-kata,
cukup menulis: ah, ih, uh, nguik!
Jadilah puisi.
Tetapi para penyair
tentu akan menghunus lidah
jika hal tersebut dilemparkan ke mereka.
Lalu supaya agak pantas, saya beri titimangsa: Yogya dalam kabut, 13 Februari 2009. Kalau saya cap itu sebagai puisi, siapa yang akan membantahnya?
Puisi, karena banyak hal, seringkali dianggap punya gaya bebas. Apa-apa serbaboleh. Semua serbasilakan. Pokoknya bebas. Siapa saja boleh menulis puisi, dan siapa saja bebas menjadi penyair. Ada puisi yang kosong, tidak ada apa-apanya. Ada puisi yang diberi garis kotak-kotak lalu disebut puisi. Ada gambar kucing ditaruh di kanvas lalu diberi judul puisi. Sekali lagi, apapun asal dicap puisi, pastilah puisi.
Tetapi apakah benar demikian? Mungkin tidak sesederhana itu. Tetapi karena dunia puisi lentur, banyak gaya, banyak cara, serbaboleh, puisi menerima konsekuensinya. Sebagai media ekspresi, puisi menjadi massif dan demokratis. Tetapi sekaligus para penyair adalah orang yang paling gampang berteriak jika media ekspresi itu dilecehkan. Dan kemudian dicari-cari rumusan dan definisinya. Tetapi saya berani bertaruh, ambil satu definisi tentang puisi, lalu cari contoh puisi, hasilnya bisa bertolak belakang. Kemudian muncul refleksi atas puisi yang beragam.
“Puisi butuh permenungan, perlu timbang-ulang,” begitu kata seorang penyair yang saya kenal. Tetapi permenungan dan timbang-ulang juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak menulis puisi, bukan?
“Nanti akan ada seleksi alam, mana yang penyair betulan dan mana yang bukan,” seru penyair lain yang saya kenal. Tetapi seleksi alam bukan hanya bekerja pada dunia para penyair, bukan?
Pada akhirnya, ini klise tentu saja, semua kembali kepada selera. Dari mana selera itu disusun? Nah, itu lebih sulit dan kompleks jawabannya. Tapi sederhananya, semua orang boleh dan silakan merasa menjadi penyair, tetapi setiap pembaca atau penikmat puisi boleh menyukai yang satu dan berhak tidak menyukai yang lain.
Saya penikmat puisi, dan tentu saja saya punya selera tertentu atas puisi. Soal selera, saya mau menyatakan tetapi tidak ingin memperdebatkan. Dan selera itu belum terdefiniskan. Sepertinya ‘ada’ puisi, saya kurang tahu jenis apa itu, yang membuat saya begitu menyukainya. Saya menyadari, beberapa larik kalimat puisi jauh lebih ‘nendang’ dibanding berpuluh-puluh halaman prosa. Dan saya menemui banyak sekali di berbagai buku puisi. Di kumpulan puisi ini tentu saja ada. Simaklah yang saya suka:
Lelaki Insomnia (1)
semalam
kau patahkan jarum jam
untuk mengaduk kopi
Saya mengidap insomnia menahun. Saya tahu bagaimana rasanya, betapa beratnya, sungguh resahnya. Saya tidak perlu tahu hukum dan rumus pembuatan puisi untuk mengatakan bahwa apa yang saya rasakan ada di puisi singkat itu.
Rasa penasaran saya atas puisi, membuat saya bertanya-tanya, sebetulnya apa sih puisi itu bagi para penyair dan bagaimana puisi itu bekerja di dalam diri si penyair tersebut? Saya sering menanyakan hal itu kepada kolega saya yang penyair, namun hampir sebagian besar tidak terkatakan. Kalaupun ada yang dikatakan, bukan itu yang saya maksud. Mungkin kesalahannya ada pada pertanyaan saya. Mungkin saja memang, puisi berada di luar pertanyaan. Ini persoalan mengalami. Soal intensitas. Soal yang amat sangat rumit sekaligus mungkin amat sangat murni.
Pada penyair Pablo Neruda, saya mendapati hal tersebut. Ia pernah merenungkan, menyatakan dan menuliskan semacam refleksi puisi di dalam puisi.
Poetry
And it was at that age… Poetry arrived
in search of me. I don’t know, I don’t know where
it come from, from winter or a river.
I don’t know how or when,
no they were not voices, they were not
words, nor silence
but from street I was summoned,
from the branches of night,
abruptly from the others,
among violent fires
or returning alone,
there I was without a face
and it touched me.
I did not know what to say, my mouth
had no way
with names,
my eyes were blind,
and something started in my soul,
fever or frgotten wings,
and I made my own way,
deciphering
that fire,
and I wrote the first faint line,
faint, without substance, pure
nonsense,
pure wisdom
of someone who knows nothing,
and suddenly I saw
the heavens
unfastened
and open,
planets,
palpitating plantations,
shadow perforated,
riddled
with arrows, fire and flowers,
the winding night, the universe.
And I, infinitesimal being,
drunk with the great starry,
void,
likeness, image of
mystery,
felt my self a pure part
of the abyss,
I wheeled with the stars,
my heart broke loose on the wind.
Saya habis kata. Cukup sudah. Sebab puisi lebih dari sekadar kata-kata, tak terpermanai. Lebih dari sekadar nalar untuk menyadari betapa ada jejak panjang, dan ruang kosong yang membentang, seperti misalnya sehabis membaca dua larik dalam akhir sajak ini:
hujan menggambar jalan pulang pada bajumu yang basah dan
tembus pandang
Seperti Neruda, ada yang menyentuh saya, tidak tahu kapan, di mana dan bagaimana, sejenis kemurnian, ketika saya berputar bersama gemintang, dan perasaan saya luruh bersama angin…
Selamat atas penerbitan kumpulan sajak ini, semoga semua bahagia.
oOo