Saya akan mengingat bocah itu dengan baik. Juga wajahnya.
Saya bertemu dengannya tahun 2004 atau 2005. Kala itu, saya bersama kawan saya, Hasta Indriyana, diundang kawan-kawan komunitas Ininnawa ke Makassar untuk sebuah hajatan. Ininnawa saat itu punya semacam sekretariat sekaligus perpustakaan. Nama perpustakaan itu: Biblioholic.
Selama beberapa hari tinggal di sana, kami berdua takjub dengan seorang anak. Namanya: Alfi. Mungkin saat itu dia kelas 4 atau kelas 5 SD. Sejak pulang sekolah sampai Magrib tiba, posisinya sama. Duduk khusyuk di dekat pintu. Membaca buku.
Hasta, kalau tidak salah, mendokumentasikan itu dalam bentuk esai di media kecil kami saat itu: ON/OFF. Atau jangan-jangan dalam bentuk puisi? Saya lupa. Mungkin karena saking takjubnya dengan anak kecil itu dan daya tahannya dalam membaca buku.
Bocah itu, ketika mahasiswa, kuliah di Malang. Dia menjadi ketua BEM di Fakultasnya. Menjadi ketua asosiasi fakultasnya di seluruh Indonesia. Ketika selesai kuliah, dia balik ke Makassar, lalu menginisiasi berbagai gerakan pertanian.
Suatu saat, dia datang ke sebuah komunitas anak muda di Makassar yang lagi ngehits. Nama komunitas itu Kata Kerja. Aan Mansyur, penyair ngetop itu, salah satu pendiri Biblioholic, orang yang sangat akrab dengan anak kecil 15 tahun lalu itu, sedang nongkrong di sana. Pemuda Alfi tertawa terus. Aan lupa-lupa ingat. “Siapa ya kamu?”
“Saya Alfi, Kak. Dulu yang sering baca buku di Biblio…”
Aan langsung ingat. Lalu mereka bercengkerama hangat. Kisah lanjutan Alfi ini, semalam diceritakan oleh Aan ketika kami berdua bertemu. “Itu anak, namanya Arfi. Tapi karena cedal, dia menyebut namanya sendiri saat itu: Alfi. Jadi kami tahunya anak itu bernama Alfi.”
Saya merasa perlu memaparkan kisah sederhana ini karena selama saya kenal dengan banyak penggiat literasi atau orang yang sudah memantapkan diri menemani proses anak-anak atau pemuda, supaya tidak putus asa. Perpustakaan sepi tak masalah. Karena kita tidak pernah tahu, satu atau dua anak yang bertemu dengan buku di sana, akan berproses seperti apa.
Dia bisa tumbuh sebagai inspirator bagi sekelilingnya. Dia mungkin punya kemampuan intelektual atau berorganisasi yang baik. Lalu punya inisiatif yang baik. Lalu ketemua dengan lingkaran yang baik. Lalu jadi sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungannya.
Satu dua anak muda yang kita temani, sama pentingnya dengan menemani belasan atau puluhan anak muda. Setiap manusia sama pentingnya. Dan kita tidak tahu mereka akan tumbuh seperti apa.
Tidak akan pernah ada yang sia-sia dengan segala kesungguhan mengedarkan buku biarpun satu. Mendirikan rumah baca biarpun sepi. Menemani anak-anak muda biarpun kadang melelahkan.
Pasti ada Alfi lain di Indonesia yang banyak sekali. Dengan perjalanan khas masing-masing, dengan keunikan masing-masing.
Satu lagi, ketika semua isu sifatnya elitis, sedangkan problem masyarakat ada di mana-mana, anak-anak muda di desa yang ‘terliterasi’ inilah yang saya saksikan menjadi salah satu benteng pertahanan advokasi. Jadi, jangan pernah putus asa dengan anak muda Indonesia, termasuk anak-anak Indonesia.
Saya sekarang sedang asyik menemani Kali dan kawan-kawannya bermain sore hari di kompleks perumahan kami. Sepele banget kegiatan itu? Ya. Mungkin bagi orang lain tampak sepele. Tapi tidak bagi saya. Karena ada sekian anak yang menghabiskan waktu di sore hari bersama saya selama 1,5 sampai 2 jam. Dan masing-masing anak nanti akan menyusuri jalan hidup masing-masing. Dari sekian hal yang kami lakukan, mungkin akan ikut menjadi batu kecil karakter di diri mereka. Saya tidak tahu. Tapi saya tak pernah menyepelekan hal seperti itu.
Selamat siang…