Kira-kira di pertengahan tahun 2008, S Teddy D, kedatangan tiga orang tamu dari Museum Nasional Singapura. Salah seorang di antara mereka adalah Jose Tay, manajer program museum tersebut. Kedatangan mereka ke tempat Teddy atas saran Mella Jaarsma, seorang perupa dari Belanda yang telah lama bermukim di Indonesia dan merupakan salah satu pendiri Galeri Cemeti, Yogyakarta.
Seperti tamu-tamu lain yang biasa datang, Teddy menunjukkan lukisan-lukisannya serta dokumen-dokumen karya yang telah dibuatnya. Dengan sangat antusias perupa muda itu berkisah tentang karya-karyanya. Mereka pun terlibat perbincangan seputar senirupa. Di sela-sela percakapan itu, Teddy berkata, “Saya juga membuat karya tiga dimensi. Kalian mau melihat?”
Ketiga tamu itu langsung mengiyakan. Segera mereka meluncur ke sebuah bengkel kerja di mana Teddy menyimpan karya tiga dimensi termutakhirnya: Love Tank. Karya itu berupa sebuah tank, separuh dari ukuran sebenarnya, hampir semua bahan dibuat dari tripleks (plywood), dicat dengan warna pink dengan motif bunga lotus, dan pada ujung moncongnya dibentuk simbol hati.
Love Tank dibuat oleh Teddy untuk sebuah perhelatan pernikahan anak Oei Hong Djien pada awal tahun 2008. Hong Djien adalah seorang kolektor ternama di Indonesia. Saat itu, Hong Djien meminta Teddy ikut serta memajang karya dalam pesta pernikahan yang dikemas sekaligus sebagai sebuah wahana unjuk karya seni.
Teddy segera menggali konsep. Ia berpikir saat itu, ingin membuat sebuah mobil pengantin. Setelah lama berpikir, ia akhirnya memutuskan untuk membuat Love Tank. Dalam waktu 5 minggu, Love Tank dikerjakan dengan melibatkan lima belas pekerja.
Begitu para tamu melihat Love Tank, Jose Tay langsung menawarkan sesuatu kepada Teddy, maukah karya tersebut dipajang di Museum Nasional Singapura?
Teddy, yang tidak pernah memikirkan akan adanya tawaran itu, dengan agak gugup spontan menjawab, “Kenapa tidak? Ya, aku mau.”
Jose Tay kemudian menyarankan agar Teddy pergi ke Singapura dulu, melihat Museum Nasional Singapura, agar setidaknya Teddy tahu di tempat seperti apa kelak karyanya itu dipajang.
Teddy mengiyakan. Semenjak kejadian itu, di kepalanya meruyak berbagai benturan konsep dan teknis. Benturan-benturan yang tidak gampang.
***
Teddy tidak bisa melupakan betapa bahagianya saat Love Tank dipajang di pesta pernikahan anak Hong Djin, bersanding dengan beberapa karya perupa lain. Banyak sekali para tamu yang mengantre untuk berfoto dengan latar belakang karyanya itu.
Pemantik awal karya itu, ketika ia teringat pada karya Agus Suwage berjudul Love Bomb. Saat itu, ia dan Suwage terlibat dalam sebuah pameran bersama yang diadakan di Nadi Gallery, Jakarta, dengan tajuk All You Need is Love, pada tahun 2003. Pameran tersebut diadakan untuk merespons terjadinya Perang Irak.
Suwage saat itu membuat sebuah karya tiga dimensi berupa sebuah bom di atas roda empat, dengan bahan dari besi. Di tengah bom tersebut dipasang lampu neon dengan tulisan love. Pada pameran tersebut, Teddy mengikutsertakan sebuah karya tiga dimensinya berjudul Keluar Masuk (Hanacaraka). Karya tersebut berwujud sepasang pedang kembar yang ditaruh di dalam kotak kaca. Gagang-gagang pedang itu diukir dengan bentuk kepala manusia. Sedangkan pada bilah-bilah pedang ditatah 24 huruf abjad Jawa (yang familiar juga disebut Hanacaraka) di kedua sisinya. Ia saat itu ingin memprotes, mengapa peradaban harus selalu dibangun dengan kekerasan demi kekerasan, perang demi perang? Baik karya Suwage maupun karya Teddy, banyak menyedot perhatian para pengunjung pameran saat itu.
Selain teringat Love Bomb karya Suwage, Teddy juga ingat sesuatu. Saat itu, ia pernah tinggal di sebuah rumah, di halaman rumah tersebut terdapat pot besar dengan pohon teratai yang tumbuh di dalamnya. Ia tahu, pohon teratai mempunyai makna spiritual bagi banyak orang, dan ia kemudian mencari bahan-bahan bacaan seputar pohon teratai berhubungan dengan dunia spiritual.
Bunga teratai atau bunga padma, seringkali disamakan dengan bunga lotus. Padahal kedua bunga ini tidak sama. Kedua bunga tersebut memang sama-sama tumbuhan air, dan memiliki banyak kemiripan. Bunga teratai atau water lily mempunyai nama latin nymphaea sp. Sedangkan bunga lotus mempunyai nama latin nelumbo sp. Di berbagai belahan bumi, kedua bunga tersebut sarat nilai, dan dianggap mempunyai beragam filosofi. Perbedaan kedua bunga tersebut terletak pada, kalau bunga teratai baik daun maupun bunganya mengapung di atas air. Sedangkan bunga lotus, baik daun maupun bunganya menjulang di atas air. Kelopak bunga teratai kadang berwarna putih dan kuning, sedangkan kelopak bunga lotus berwarna agak merah.
Kedua bunga ini dianggap mewakili simbol perjalanan spiritual manusia, terutama bagi penganut agama Hindu dan Buddha; tumbuh di atas lumpur tetapi bisa membersihkan dirinya dari kotoran, proses mekarnya kedua bunga tersebut juga melambangkan proses pencapaian kesempurnaan menuju nirwana. Di dalam tradisi kedua agama tersebut ada sebuah pose duduk yang sering disebut sebagai pose padma, sebuah pose di mana seseorang berada dalam posisi bermeditasi. Selain itu, kedua bunga tersebut dianggap sebagai lambang kecantikan manusia, dan bagian-bagian bunga itu berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit.
Namun, bahan utama karya tersebut sesungguhnya merupakan pergulatan Teddy yang cukup panjang dengan tema perang dan militerisme. Ia mempunyai hubungan yang unik dan kompleks dengan persoalan militer. Ayah Teddy seorang pensiunan perwira menengah militer. Sejak kecil, ia sudah biasa membaca koran Angkatan Bersenjata, koran khusus untuk kaum militer di Indonesia. Ia juga sering membaca buku-buku ayahnya yang berhubungan dengan militer. Mainan Teddy saat kecil juga tidak jauh dari dunia militer. Ia mempunyai mainan patung-patung kecil tentara yang terbuat dari plastik, dan mobil-mobilan tentara. Hampir setiap saat, di waktu itu, ia menghabiskan waktu untuk memainkan drama perang-perangan dengan mainannya tersebut.
Tetapi ketika ia menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, ia mulai mempelajari persoalan politik di Indonesia, yang saat itu dikuasai oleh kelompok militer. Rasa kekaguman yang semula menghipnotis dirinya, terutama melalui pernik-pernik senjata, seragam dan kendaraan militer, mulai berubah menjadi rasa benci. Teddy bahkan terlibat dalam gerakan mahasiswa yang mencoba merobohkan kekuasaan rezim Orde Baru dibawah kendali Jenderal Soeharto. Sederet karyanya di era pertengahan tahun 90-an merupakan responsnya yang keras atas dominasi militer. Ia bahkan curiga, mainan laki-laki dengan tentara-tentara kecil dan mobil-mobil perang, adalah sebentuk alat untuk melangsungkan hegemoni militer.
Ketika rezim militer Orde Baru tumbang, Teddy masih belum bisa mengakhiri pergolakan pemikirannya soal tema militer dan kekerasan. Ia masih menyaksikan banyak sekali perang, ia mempelajari politik perang dalam kaitannya dengan dunia ekonomi. “Perang belum berakhir, dan harus ada yang selalu mengingatkan soal itu,” ujarnya suatu saat di masa lampau.
Tema tentang perang semakin mengganggu pikiran Teddy saat There, istri Teddy mulai mengandung anak pertama mereka. Dan semakin mengganggu saat Blora Frida, anak pertama Teddy lahir, pada tanggal 10 Mei 2008. “Aku sering merasa paranoid tentang masa depan anakku berhubungan dengan perang. Apakah tidak ada cara lain selain perang? Apakah tidak ada kemungkinan lain selain soal membunuh atau dibunuh?”
Sangat mudah menemukan bentuk-bentuk senjata perang pada karya-karya Teddy, baik pada karya-karya dua dimensi maupun karya-karya tiga dimensinya, mulai dari pistol, AK-47 sampai tank. Bahkan ia pernah berkali-kali melukis di atas kain loreng, kain khusus untuk seragam tentara. Jauh hari sebelum Teddy membuat Love Tank, ia telah melukis dua karya tentang tank: Gantung Tank dan Pink Tank.
Purwabentuk (prototipe) Love Tank itu sendiri diambil dari generasi mutakhir tank dengan nama M1 Abrams buatan Amerika Serikat. Nama Abrams diambil dari nama seorang komandan militer Amerika bernama Jenderal Creighton Abrams, yang mengomandani perang melawan Vietnam pada tahun 1968 sampai 1972. Kendaraan ini digunakan di berbagai perang modern seperti Perang Teluk, Perang Afganistan sampai Perang Irak.
Gagasan Teddy tidak berhenti sampai di sana. Ia berpikir keras soal bahan yang hendak dipakai. Ia hidup di alam modern, yang salah satu cirinya adalah serba praktis. Dan ia berpikir bahwa salah satu produk budaya modern yang penting adalah tripleks. Industri tripleks merupakan industri besar yang menyediakan kebutuhan serbacepat dan praktis bagi manusia modern. Karena itu, ada pertalian yang cukup jelas antara tank dengan tripleks.
Berdasarkan atas serpihan gagasan dan kenangan itu, Love Tank dibuat. Konsep karya tersebut adalah sebuah kendaraan perang yang menakutkan, dengan daya hancur tingkat tinggi dan maskulin, disubversi menjadi sebuah ‘kendaraan cinta’, dengan cara membentuk ujung moncong menjadi ikon cinta dan mengecatnya dengan warna pink dan dilukis dengan motif bunga lotus. Sebuah usaha membalut yang menakutkan menjadi menarik dan cantik, yang awalnya penyembur marabahaya menjadi penyembur perdamaian, memoles mesin penyebar penderitaan menjadi mesin penyembuh, menyentuh yang semula maskulin menjadi feminin.
Tetapi benarkah karya ini yang harus ia pajang di Museum Nasional Singapura nanti? Hati perupa berumur 38 tahun itu ragu-ragu. Baginya, Love Tank sudah rampung sebagai sebuah karya, sudah menunaikan tugas di waktu dan tempat yang tepat: pesta pernikahan. Memang, ia masih berharap karya tersebut dinikmati serta diapresiasi lebih banyak orang lagi. Tetapi ia tetap ragu, benarkah karya ini yang hendak diboyongnya ke Singapura? Benturan-benturan pertanyaan itu mulai menuju ke tahap yang genting dan kacau.
Akhirnya ia sampai kepada sebuah kesimpulan, nasib Love Tank sudah berakhir sampai di sini. Ia akan membuat karya baru dengan konsep yang juga baru untuk dipajang di Museum Nasional Singapura. Tetapi ia tetap berkeinginan untuk mengeksplorasi tank, kendaraan pemusnah itu.
***
Hal pertama yang langsung mampir di benak Teddy adalah menggabungkan Love Tank dengan karya tiga dimensinya yang lain: Memori 3. Pada bulan Desember tahun 2007, ia pernah ikut pameran bersama di Icon Langgeng Gallery, Jakarta, dengan menghadirkan 3 karya: Memori 1, Memori 2 dan Memori 3. Pameran tersebut bertajuk: Kuota:Inbox. Ketiga karya tersebut mengambil bentuk tentara-tentara dalam ukuran kecil yang dipajang berderet, dengan bahan alumunium. Khusus untuk Memori 3, tentara-tentara tersebut berdiri berderet, saling menimpa, hingga miring dan ambruk. Bayangannya, Love Tank akan dipajang bersama Memori 3. Saat gagasan tersebut disampaikan kepada pihak Museum Nasional Singapura, ternyata ditolak, alasannya terlalu identik dengan kekerasan yang vulgar.
Otak Teddy mulai bergerilya lagi. Ia kemudian membayangkan bagaimana jika Love Tank dibuat sebanyak 4 buah, lalu dipajang dengan cara ditumpuk. Gagasan tersebut, untuk sementara diperamnya.
Kira-kira di pertengahan bulan Oktober 2008, Teddy diajak Deddy Irianto untuk pergi ke China, menghadiri peristiwa Shanghai Art Fair. Deddy adalah seorang kolektor senirupa terkenal di Indonesia, yang juga banyak mengoleksi karya Teddy. Akhirnya Teddy pun berangkat. Sepulang dari Shanghai, Deddy menawari Teddy untuk singgah ke Museum Nasional Singapura. Tentu saja Teddy menerima ajakan itu, sembari ingin melihat seperti apa gedung yang kelak akan memajang karyanya itu.
Sesampai di Museum Nasional Singapura, terutama saat ia memasuki ruang Rontunda, Teddy langsung syok. Ruang Rontunda merupakan ruang yang pertama dimasuki oleh pengunjung Museum Nasional Singapura. Ruang itu ditopang dengan delapan tiang kukuh, tinggi, dan dinaungi atap melengkung. Bayangannya tentang Love Tank yang ditumpuk 4 segera berantakan. “Karyaku pasti tenggelam jika dipasang di ruang ini…” batinnya saat itu.
Sepulang dari Singapura, kembali kepala Teddy terasa penuh. Ia berada dalam ketegangan memikirkan perkembangan gagasan-gagasannya yang selalu cabar. Ia banyak merenung, mengingat dan berpikir.
Ia mulai mengingat kembali tema bunga lotus yang sepertinya belum sempurna digali. Tiba-tiba muncul gagasan yang lebih dalam, Love Tank yang semula hanya dilukis dengan motif bunga lotus sebagai tumbuhan penyembuh, lebih dipertajam ke simbol proses perjalanan spiritual. Pada saat itu pikirannya mengembara di tema spiritual itu, tiba-tiba ia teringat akan candi.
Teddy kelahiran Padang, tetapi kedua orangtuanya berasal dari Jawa, dan ia hidup di berpindah-pindah di berbagai kota di Jawa, ikut kedua orangtuanya yang saat itu berdinas di militer. Di berbagai tempat di Jawa, sebagaimana kita ketahui, banyak situs candi bertebaran.
Ia sudah lama terpikat dengan arsitektur candi-candi yang banyak dikunjunginya, mulai dari bahan, bentuk, letak dan filosofi-filosofi seputar candi. Di banyak tempat di Jawa, ia juga sering mengunjungi kuil dan kelenteng. Khusus untuk objek kelenteng, saat masih menjadi mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ia banyak mendapatkan tugas untuk membuat sketsa kelenteng. Bangunan-bangunan spiritual itu, telah lama menyergapnya, dan ia diseret untuk kembali menggelutinya, memperdalam pengetahuannya atas bangunan-bangunan tersebut. Kembali, Teddy menenggelamkan diri dalam tumpukan bacaan tentang candi, kuil dan pagoda. Hasrat tersebut sebenarnya juga didorong oleh keingintahuannya yang besar untuk semakin memahami budaya Timur. Ia bagaimanapun tetap menyadari bahwa dirinya adalah orang Timur, yang pada banyak hal menyepakati spiritualisme Timur. “Spiritualisme Timur itu luarbiasa, tidak menahlukkan alam, tetapi mengharmoniskan diri dengan alam.”
Kini, kepingan-kepingan tema mulai memenuhi kepalanya: perang, tank, bunga lotus dan candi, berikut bersama sejarah dan filosofi hal-hal tersebut. Kepala Teddy semakin kacau. Ia butuh teman untuk diajak bersama mendiskusikan semua itu. Ia butuh kawan yang sanggup diajak menstrukturkan gagasan-gagasannya, sehingga kelak bisa dieksekusi menjadi sebuah karya.
Dalam waktu pergolakan, pencarian dan eksplorasi tematik itu, berkali-kali, Teddy mendapat kiriman surat elektronik dari Museum Nasional Singapura untuk menanyakan proposal karyanya.
Teddy semakin pusing. Ia, sejujurnya tidak pernah membuat proposal. Bayangannya tentang proposal adalah setumpuk kertas, rumit, menyerupai karya tulis ilmiah. Sebagai seorang seniman, sejauh ini, ia memang banyak terlibat di dalam berbagai proyek seni. Namun kebanyakan, proyek-proyek tersebut tidak mensyaratkan pembuatan proposal. Kalaupun toh harus ada usulan gagasan, cukup disampaikan dengan cara lisan.
Kini kekacauannya semakin bertambah. Cukup lama ia tidak menjawab surat-surat tersebut, dan cukup lama ia berada dalam posisi yang menegangkan. Ia tidak ingin membuang kesempatan yang telah ditawarkan kepadanya, tetapi di sisi lain, ia berhadapan dengan pikuk tema yang tak kunjung dapat dikentalkan, ditambah problem teknis surat-menyurat dan pembuatan proposal. Bulan-bulan itu adalah bulan-bulan yang penuh ketegangan. Akhirnya ia sampai pada titik hendak membatalkan proyek itu.
Tetapi ia beruntung, di saat ia berada dalam pusaran masalah, menjelang pembatalan tawaran hendak disampaikan kepada pihak Museum Nasioal Singapura, seorang kawannya menelepon. Si kawan menanyakan apakah Teddy punya stok minuman beralkohol? Teddy menjawab, “Punya. Kamu datang saja…”
***
Jaya Limas (34) tidak akan pernah melupakan hari dan tanggal itu: Minggu, 26 Oktober 2008. Sekitar pukul 2 siang, ia baru bangun tidur dan harus mendapati dirinya berada dalam sebuah tonjokan kesedihan: Coki, salah satu anjing kesayangannya sekarat tanpa sebab yang diketahuinya.
Ia segera menghubungi dokter hewan yang dikenalnya, namun nasib sedang tidak berpihak dengannya, si dokter tidak bisa dihubungi. Akhirnya ia mendapatkan dokter hewan yang lain, tapi sayang, nyawa Coki sudah tidak bisa tertolong lagi. Seusai menguburkan Coki, ia menelepon Teddy karena butuh menenangkan diri dengan minuman.
Malam hari, sekitar pukul tujuh, Jaya datang ke tempat Teddy, dan dua orang yang sedang sama-sama kacau itu minum bersama. Teddy kacau dengan proyeknya, Jaya kacau karena kematian anjingnya.
Dalam prosesi minum bersama itu, baik Teddy dan Jaya sama-sama mengeluarkan beban pikiran masing-masing. Di saat Teddy menceritakan persoalan tentang proyeknya di Museum Nasional Singapura yang hendak dibatalkannya, Jaya segera merespons dengan cepat, “Kenapa tidak kamu ambil?”
Teddy menceritakan kendala-kendala teknis yang dihadapinya, terutama menyangkut proposal karya. Juga persoalan gagasan-gagasan yang ada di kepalanya. Lalu ia bertanya, “Kamu bisa membantuku?”
“Ya, aku akan bantu.” ucap Jaya.
Jaya, awalnya menekuni dunia musik, ia pernah mendirikan lembaga manajemen artis, dan penyelenggara acara (event organizer) musik. Tahun 2002, ia bertemu dengan Agus Suwage yang memang maniak musik dan terampil memainkan beberapa alat musik terutama gitar. Saat itu, Suwage sedang mendirikan studio musik, dan meminta Jaya untuk ikut mempersiapkan studio musik tersebut. Semenjak itu, hubungan kedua orang itu semakin erat, dan lambat laun, Jaya ikut terlibat di dalam dunia senirupa, terutama menyangkut bidang manajerial. Bahkan, ia pernah terlibat kerjasama dengan Museum Nasional Singapura, saat tergabung di dalam tim Titarubi pada karya Surrounding David.
Jaya punya keyakinan, sebetulnya proyek di Museum Nasional Singapura itu pasti bisa dikerjakan oleh Teddy. Alasan pertamanya jelas, pihak Museum Nasional Singapura yang menawari Teddy langsung. Kedua, sekalipun gagasan Teddy belum solid, namun Teddy pernah mengerjakan Love Tank. Sehingga bagaimanapun rumitnya gagasan Teddy kelak, ada kemungkinan besar bisa dikerjakan.
Begitu Jaya mengatakan bahwa ia akan membantu dan meyakinkan bahwa prosesnya tidak serumit yang dibayangkan, harapan Teddy segera mengembang. Ia langsung bersemangat dan meminta Jaya untuk menjadi manajer proyek ini. Jaya menyanggupi.
Mereka berdua kemudian sering bertemu untuk mencoba mensolidkan serpihan gagasan-gagasan Teddy yang sesungguhnya sangat menarik itu. Terkadang, untuk membantu proses tersebut, Teddy melibatkan Aa Nurjaman, seorang penulis senirupa untuk ikut memberikan pendapat.
Bukan hanya dengan mereka bertiga, Teddy juga menerapkan strategi membicarakan apa yang ia pikir kepada banyak orang, terutama orang-orang yang datang ke rumahnya. Salah satunya adalah WS Rendra, penyair legendaris Indonesia dengan julukan Si Burung Merak. Teddy menaruh rasa hormat kepada Rendra, sebab penyair sepuh itu (kini umurnya 74 tahun), nyaris menjadi pembangkang sepanjang karir kepenyairannya. Pada masa Orde Lama berkuasa dengan dipimpin tokoh karismatik Soekarno, Rendra sudah unjuk protes. Ketika rezim Orde Baru berkuasa di bawah pimpinan Jenderal Soeharto, Rendra pun bersifat kritis, bahkan ia sempat dijebloskan di dalam penjara oleh rezim Orde Baru. Selain sifat pembangkangnya, Rendra juga dikenal mendalami dan mempraktikkan spiritualisme Timur.
Pelan tapi pasti, seiring dengan intensitas diskusi di antara Teddy dan Jaya, gagasan-gagasan itu mulai mengental. Teddy berpikir akan membuat sebuah tank yang ditumpuk semakin mengecil, mirip bangunan pagoda. Tumpukan itu berjumlah tujuh buah. Hanya saja, jika di bangunan pagoda biasanya pucuk paling atasnya berupa tiang runcing, di bayangannya, karya ini tetap memajang moncong dengan pucuk berupa simbol hati. “Aku belum merasa bahwa aku bisa mencapai puncak runcing itu. Aku masih manusia biasa, yang sulit membayangkan mencapai nirwana.” begitu ia memberi alasan.
Sentuhan lain yang dilakukannya adalah membuat pola di tank yang ditumpuk tujuh tersebut dengan gambar bunga lotus yang sedang mekar, melambangkan perjalanan spiritual. Kini lengkap sudah serpihan gagasan yang awalnya tercerai berai itu, menjadi satu kesatuan gagasan yang solid.
Konsep karya segera disampaikan ke pihak Monumen Nasional Singapura, dan direspons dengan baik. Proyek itu kemudian diberi nama: Love Tanks (The Temple). Namun, baik Teddy maupun para pekerja lain yang terlibat menggarap karya tersebut, mereka menyebut mesra karya itu dengan sebutan: The Temple.
Pada awal bulan Januari 2009, Teddy dan Jaya pergi ke Singapura untuk membicarakan proyek itu dengan pihak Museum Nasional Singapura, sekaligus menandatangani nota kesepakatan kerja. Selama berada di sana, mereka berdua berkeliling di berbagai tempat. Di kesempatan itulah Teddy merasa yakin bahwa gagasannya bisa diterima publik Singapura karena ia melihat ada banyak pagoda-pagoda kecil di pojok-pojok jalan. Singapura, menurutnya, sekalipun kota modern, namun masih menyimpan jejak-jejak ke-Timuran.
Satu fase telah terlewati. Tetapi fase berat menghadang di depan yakni bagaimana mengeksekusi gagasan tersebut menjadi karya nyata. Jelas, ini bukan proyek yang sederhana untuk dikerjakan, baik dari skala pembuatannya, pihak-pihak yang harus dilibatkan, maupun dari sisi penjadwalannya.
Menyadari bahwa proyek ini tidak main-main, baik dari skala, kepentingan maupun pihak-pihak yang kelak terlibat, Teddy dan Jaya kemudian membuat sistematika kerja. Apalagi, pameran di Singapura mempunyai prasyarat penting yang harus dipenuhi yakni jaminan keamanan publik, yang kurang lebih berarti bahwa barang seni yang dipajang harus memenuhi standar keamanan bagi publik yang kelak akan mengapresiasi karya tersebut. Rancangan kerja itu dimulai dari tahap perencanaan, visualisasi digital, gambar kerja, desain struktur, konsultasi desain struktur untuk keamanan publik, lalu eksekusi gambar kerja.
Untuk membuat visualisasi digital, Jaya menghubungi Adi Muchdillah (32), seorang pendesain visual-digital yang cukup berpengalaman. Adi menuangkan gagasan tersebut dalam bentuk visual-digital, kemudian hasilnya diserahkan kepada seorang perancang struktur yang telah banyak berkolaborasi dengan seniman-seniman dari Yogya bernama Warsito (38). Setelah semua struktur dipelajari dan dijabarkan dalam sebuah skema rancang-bangun, barulah kemudian dikonsultasikan kepada konsultan struktur untuk menghitung tingkat keamanannya.
Fase selanjutnya, semakin tidak kalah penting lagi, mematerialkan seluruh gagasan dan perencanaan menjadi sebuah karya…
***
Orang pertama yang segera ditemui Teddy dan Jaya di fase selanjutnya adalah Tri Suharyanto (35). Tri sudah sering bekerjasama dengan Teddy, terutama untuk membantu pengerjaan karya-karya tiga dimensi, termasuk pembuatan Love Tank. Mereka bertiga lalu memulai proses perencanaan pembuatan karya. Tri didapuk sebagai manajer pelaksanaan pembuatan The Temple.
Hubungan Teddy dengan Tri sebetulnya sudah berlangsung lama, namun yang membuat Teddy terpikat dengan ketrampilan Tri adalah saat There, istri Teddy, membuat karya berjudul Artificial of Natural Sound pada awal tahun 2007. Pembuatan karya tersebut dibantu oleh Tri. Karya itu berupa sebuah balok kayu yang dibentuk menjadi pohon, diberi senar bas gitar beserta mesinnya, sehingga karya tersebut bisa benar-benar dimainkan sebagai instrumen musik. Mulai saat itu, hampir semua karya tiga dimensi yang dibuat Teddy selalu melibatkan Tri.
Tahap pertama yang dilakukan Tri adalah membuat miniatur, lalu dilanjutkan dengan gambar karya. Setelah semua jadi, dibuatlah jadwal dan sistem kerja. Baru kemudian masuk ke proses pembuatan pola, pembuatan konstruksi dan kemudian perakitan. Tahap selanjutnya atau tahap terakhir adalah pengecatan.
Untuk karya The Temple ini, Tri mempekerjakan 25 orang, 6 di antaranya perempuan. Para pekerja sebagian besar diambil dari orang-orang kampung di sekitar tempat tinggal Tri. Ke-25 orang itu dibagi menjadi 3 divisi: Divisi Konstruksi dan Aksesoris, Divisi Pemolaan dan Perakitan dan Divisi Pengampelasan. Mereka bekerja mulai dari pukul 9.00 pagi sampai pukul 17.00. Karena jadwalnya cukup mepet, diadakan pula kerja lembur bagi yang mau melakukan yakni mulai pukul 19.00 sampai 21.00.
Dalam proses pengerjaan itu kadangkala muncul beberapa hambatan baik teknis maupun nonteknis. Hambatan nonteknis misalnya, karena kebanyakan yang terlibat bekerja di proyek itu adalah orang kampung, jika ada hajatan seperti khitanan, kematian dan pernikahan, proses berhenti sejenak. Sedangkan yang menyangkut hambatan teknis, yang sering muncul adalah tidak cocoknya berbagai pola yang dibuat secara terpisah. Bagaimanapun pembuatan bagian-bagian The Temple dilakukan secara manual, sehingga ada kalanya ukuran-ukurannya meleset. “Tetapi sejauh ini masih bisa diatasi semua, dan karya ini akan jadi tepat waktu.” tegas Tri optimistis.
Khusus untuk bagian konstruksi yang terbuat dari besi dan kayu, Tri meminta bantuan Warsito yang semula ikut merancang strukturnya. Khusus untuk pembuatan roda yang terbuat dari resin, Tri menggunakan ketrampilan Satriyo (30) yang juga sudah terbiasa membantu Teddy.
Untuk bagian paling bawah The Temple, Tri mempermak Love Tank, mengubah beberapa hal, terutama memberi konstruksi di dalamnya agar kuat menahan 6 tank di atasnya. Hampir 80% bahan The Temple terbuat dari tripleks, dan 20% sisanya terbuat dari besi, kayu, resin, cat dan dempul. Jika kelak jadi, tinggi The Temple mencapai 7,5 meter, dengan panjang: 6 meter, lebar: 2 meter, dan berbobot mati kurang-lebih: 2,8 ton.
Mengingat bahwa ada proses yang begitu panjang dan berliku, dari mulai gagasan, proses sampai pembuatan The Temple, Teddy ingin seluruh proses itu didokumentasikan. Kelak untuk melengkapi kehadiran The Temple, akan ada dokumentasi berupa buku yang dipercayakan Teddy kepada Dodo Hartoko (38). Sedangkan untuk dokumentasi dalam bentuk foto dan film dokumenter, dipercayakan kepada Rikky Zul (30).
Dengan demikian pengerjaan The Temple melibatkan tenaga-tenaga muda. Hampir semua orang yang terlibat pembuatan karya The Temple di bawah umur 40 tahun.
***
Tanah itu seluas 1000 meter persegi, berbentuk memanjang, dengan kanan kiri dan belakang, berupa hamparan sawah. Ada tiga bangunan besar dan satu bangunan kecil yang didirikan di atas lahan itu. Paling depan, sebuah rumah mungil yang ditempati Tri dan keluarganya. Bangunan kedua, berupa bangunan terbuka, di sanalah para pekerja memotong dan mengampelas The Temple. Bangunan ketiga berupa bangunan tertutup, tempat karya tersebut diukur dan dipola. Sementara bangunan paling belakang, juga berupa bangunan terbuka, selain dipakai untuk tempat parkir kendaraan para pekerja, juga dipakai untuk mengelas dan merakit The Temple. Jarak bengkel kerja itu dari rumah Teddy sejauh kurang-lebih tiga kilometer.
Di tempat itulah, Love Tank dan The Temple dibuat. Hampir sebagian besar orang yang bekerja masih berusia sekitar 30 tahun. Hampir sebagian besar dari mereka, terutama yang laki-laki, bertato dan bertindik.
“Banyak pengalaman dan pelajaran penting yang kudapat di dalam proses pembuatan karya ini,” papar Teddy. “Terutama dalam hal manajemen dan pengorganisasian kerja. Semua orang bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Dan aku memposisikan diri seperti seorang konduktor yang sedang memimpin sebuah orkestra…”
Lebih lanjut ia mengatakan, “Aku juga bahagia, karena proyekku ini, selain bisa membuat anak-anak muda itu belajar, mereka juga bisa mendapatkan uang…”
“Hal yang juga penting di proses ini adalah,” ungkap Teddy, “bagaimana menjaga gairah kerja di tengah jadwal yang padat.”
Karena intens berada di tempat tersebut, ia sempat merenung, apa yang tengah dikerjakannya adalah sebuah ironi. Tank yang sesungguhnya, diproduksi oleh dunia yang semakin modern, di mana teknologi tinggi semakin memegang kendali utama, dan tenaga kerja manusia semakin sedikit dilibatkan. Sementara itu, The Temple, dibuat dengan memakai alat yang sederhana dan melibatkan begitu banyak tenaga kerja manusia.
Sedangkan bagi Jaya, ia bisa belajar banyak, terutama di dalam berkomunikasi dan mengatur lalulintas kerja yang cukup rumit itu. “Untungnya, Teddy memberikan kepercayaan penuh kepadaku. Itu yang kubutuhkan.”
Tetapi hal pertama yang membuat Jaya tertarik terlibat dengan proyek ini adalah karya itu sendiri. “Di balik karya ini, terdapat gagasan yang sangat kompleks, dan itu sangat menarik…”
Tugas Jaya yang tak kalah peliknya adalah, ia menyadari betul bahwa Teddy merupakan sosok seniman yang liar dan selalu penuh dengan gagasan-gagasan baru. Setiap saat, selalu muncul ide baru, termasuk berkaitan dengan proses pembuatan The Temple. “Aku harus selalu mengingatkan Teddy untuk tetap berjalan di rel yang telah disepakati bersama, agar karya ini bisa rampung tepat waktu.”
Teddy menikmati betul proses pembuatan The Temple. Hampir setiap hari ia datang ke bengkel kerja Tri untuk melihat langsung proses yang sedang berjalan. Kadang ia berdiskusi serius dengan Tri, kadang ia bercengkerama dengan para pekerja yang berada di sana. Tidak jarang pula dengan lagak iseng ia bertanya kepada ibu-ibu yang sedang mengampelas, “Bu, sedang membuat apa ini?”
“Membuat tank, Mas!” jawab ibu-ibu itu serempak.
Mendengar jawaban itu, Teddy tertawa ngakak. Suasana kerja benar-benar serius tetapi semua orang tetap bisa santai.
***
Hari itu, tanggal 15 Februari 2009. Sehari sebelumnya, rig dengan tiang-tiang besi setinggi 8 meter lebih didirikan, dan di setiap sisinya diselubungi kain-kain terpal yang tebal.
Sejak pagi, para pekerja mulai menyusun The Temple. Kali ini, hampir semua pekerja merasa waswas, karya yang telah menguras tenaga dan pikiran mereka siang dan malam hendak didirikan, dan akan terlihat apakah kerja-kerja yang selama ini mereka lakukan benar-benar bisa mewujud dengan baik atau tidak. Ketegangan juga menyelimuti wajah Teddy.
Setelah kurang-lebih 7 jam disusun, berdirilah The Temple dengan anggun, disaput kilau cahaya senja. Semua orang bertepuktangan. Teddy berteriak keras melampiaskan rasa puasnya, dan menyalami para pekerja yang berada di sana.
Kini saatnya karya itu digurat pola lotus yang sedang mekar. Setelah proses itu selesai, The Temple akan diturunkan kembali dan dicat sesuai dengan pola yang sudah ditorehkan. Proses pengecatan ini masih memerlukan waktu yang cukup panjang, masih butuh energi yang kuat untuk mengerjakannya.
Saat ditanya, apa yang ia harapkan ketika The Temple kelak berdiri di Museum Nasional Singapura, Teddy menjawab dengan muka serius, “Aku berharap Bono [vokalis grup musik U2] datang, dan ia kelak membuat konser musik dengan memajang karya itu di panggungnya, untuk mengajak banyak orang agar menghentikan perang. Aku juga ingin WS Rendra membaca sajak di bagian paling atas karya itu.”
Sesaat kemudian, Teddy terlihat diam, seperti tengah memikirkan sesuatu. Lalu ia berujar, “Ini baru sebuah benda setinggi 7,5 meter. Bagaimana dengan pembuatan gedung-gedung raksasa yang melibatkan ratusan pekerja, puluhan tenaga ahli dari berbagai bidang, alat-alat yang supercanggih? Ini belum apa-apa. Sejujurnya, proses ini justru mengajariku untuk lebih rendah hati lagi.”
Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, “Tapi aku tetap bangga. Aku seorang seniman. Salah satu tugas seniman adalah mengajak orang untuk berpikir, melakukan refleksi, mengingatkan dengan caraku, dan syukur mampu memicu orang-orang lain untuk melakukan sesuatu.”
Teddy diam lagi. Sepasang matanya menatap The Temple, dan dari mulutnya keluar pernyataan, “Proses pembuatan karya itu adalah bengkel spiritualku.”
Yogya, 5 Maret 2009