Ki Lembah Manah menatap ketujuh muridnya. Gerimis turun. Pagi ini, di pinggir sebuah sungai, laki-laki tua yang amat disegani dalam dunia persilatan sekaligus ahli membaca lontar, memberi wejangan kepada tujuh orang muridnya yang akan dilepas ke kotapraja.
“Di sana tidak seperti di sini” ujar Ki Lembah Manah sambil menuding ufuk yang jauh, “orang lebih suka berlomba dibanding bekerjasama. Maka pegang teguhlah hal ini: mulailah dengan kekuatan kerjasama. Sebab pada dasarnya manusia bisa bertahan hidup karena bisa bekerjasama. Bukan berlomba. Apalagi bermusuhan.”
Angin dingin bertiup. Suara aliran sungai terdengar jelas.
“Tapi seandainya kalian mesti berlomba, berkompetisi, bermusuhan, ingatlah: jangan salah menentukan musuh. Perhatikan baik-baik hal ini. Ada tiga jenis orang yang tak mungkin kalian kalahkan…
“Pertama, mereka yang melakukan sesuatu bukan karena uang dan imbalan lainnya. Mereka melakukan karena suka dan ikhlas melakukannya. Kedua, orang-orang yang pernah menderita dan tidak takut untuk menderita lagi. Penderitaan membuat mereka kuat. Tapi tidak takut menderita lagi, membuat mereka punya daya hidup yang tak tertandingi. Dan yang ketiga, ini jenis orang paling tak terkalahkan: orang yang tidak memiliki rasa memiliki. Jangankan merasa memiliki harta, kekuasaan, kecerdasan atau kehebatan lain, rasa memiliki pun dia tidak memiliki. Mustahil kalian mengalahkan orang jenis ini. Dia memegang inti rahasia sehingga didukung dan disayangi semesta. Memusuhi orang jenis ini, akan membuat segalanya sia-sia.”
Tujuh orang murid itu merasakan hal yang hampir sama. Tercekat di kerongkongan mereka. Lalu mereka sadar sepenuhnya bahwa mereka sedang menghadap orang yang sekaligus memiliki tiga ciri orang tak terkalahkan itu. Ketujuh murid itu pun segera berlutut dan menundukkan kepala.
Gerimis turun makin deras. Gemericik aliran air sungai terdengar makin jelas.