Beberapa bulan setelah Kiai Mukidi wafat, warga kampung dikejutkan oleh perubahan besar yang terjadi pada tiga murid kinasih Kiai Mukidi.
Murid pertama, yang biasanya begitu ramah dan banyak bicara, mendadak menjadi pendiam. Kerjanya sehari-hari sibuk mengurus sawah, lalu menjadi imam di langgar kecil peninggalan Kiai Mukidi. Sedangkan murid kedua yang biasanya pendiam, yang dulu hanya sibuk membaca kitab-kitab di kamarnya, kini beredar di banyak tempat terutama di pos-pos ronda dan warung-warung kopi. Dia yang biasanya pendiam mendadak menjadi ramah. Bukan hanya itu, dia mendadak menjadi humoris. Sering melucu dan membuat banyak orang tertawa.
Tapi perubaan paling mencengangkan dialami oleh murid ketiga. Murid ini dikenal dengan kecerdasan dan kepiawaiannya dalam bicara. Dia sering diundang ceramah di berbagai tempat, kalau membuat status di Facebook, yang memberi jempol ribuan orang. Kini, tiap hari kerjanya di pertiagaan jalan desa untuk ikut mabuk-mabukan. Bukan hanya itu, dia pun sering nongkrong di kedai arak.
Karena tidak tahan dengan gunjingan para warga desa, Haji Ahmad, sahabat almarhum Kiai Mukidi, akhirnya memanggil ketiga murid kinasih itu untuk makan malam bakda Isya di rumahnya. Usai menyantap hidangan makan malam yang cukup spesial, barulah Haji Ahmad berkata dengan nada lembut, “Nak Mas semua, saya mohon maaf kepada kalian bertiga jika malam ini menanyakan hal yang mungkin tidak berkenan di hati kalian. Sudah beberapa bulan ini, warga dibuat terkejut dengan perubahan perilaku kalian bertiga. Sebagian dari mereka bertanya kepada saya, mungkin karena mereka menganggap saya adalah salah satu sahabat terdekat almarhum Kiai Mukidi. Kalau Nak Mas bertiga berkenan, sudilah kiranya memberitahu kepada saya, kenapa kalian berubah? Supaya setidaknya jangan menjadi fitnah.”
Suara lembut Haji Ahmad ini, tak urung membuat ketiga murid kinasih Kiai Mukidi menundukkan kepala. Lalu pelan, airmata mereka bercucuran. Mengingat guru yang sangat mereka hormati.
“Pak Haji,” murid pertama membuka suara. “sebelum Kiai Mukidi meninggal dunia, beliau memanggil saya ke kamarnya. Lalu saya diberi wasiat terakhir. Beliau berkata, kalau saya tidak bisa berkata yang baik, lebih baik saya diam. Mendengar wasiat itu, seketika saya sadar bahwa selama ini, saya banyak berkata-kata. Mungkin kata-kata saya banyak yang tidak baik dan menyinggung perasaan orang. Maka begitu Kiai Mukidi meninggal dunia, saya bertekad untuk melakukan amalan lebih banyak diam.”
Haji Ahmad mengangguk. Mengerti. Lalu pandangannya diarahkan kepada sosok murid kedua yang masih sibuk menyeka airmata. Murid kedua itu akhirnya membuka suara, “Saya juga sempat dipanggil Kiai Mukidi, ketika beliau mulai sakit keras. Beliau berpesan supaya saya lebih sering menggembirakan hati orang. Sehingga begitu beliau meninggal dunia, saya datang ke tempat banyak orang berkumpul. Saya ingin membuat mereka terhibur, tertawa, gembira, sehingga beban hidup yang begitu berat, bisa sedikit terobati.”
Lagi-lagi, Haji Ahmad menganggukkan kepala. Mengerti. Kemudian pandangannya diarahkan kepada murid ketiga. Murid yang dikenal cerdas oleh warga, namun berubah menjadi pemabuk.
Murid ketiga itu diam. Mencoba menenangkan dirinya sembari terus menyeka airmatanya yang deleweran. Setelah sesaat terdiam dan berhasil lebih menenangkan diri, dia berkata dengan suara parau. “Saya juga dipanggil oleh Kiai Mukidi seminggu sebelum beliau wafat. Beliau tidak banyak bicara. Beliau hanya memeluk saya sambil berbisik: kesombongan itu datang dengan cara yang sangat lembut…
“Semenjak kalimat itu dibisikkan kepada saya, tak henti-hentinya saya menangis. Saya akhirnya menyadari sepenuhnya, ketika saya rajin membaca kitab, pikiran saya adalah agar saya menjadi pintar. Kepintaran saya itu, saya pakai untuk bicara di depan banyak orang, di pengajian, di resepsi pernikahan, di ruang-ruang seminar, dan di Facebook. Ketika saya mendapatkan tepuk tangan dan decak kagum, saya makin rajin membaca. Supaya saya makin pintar dan makin membuat banyak orang kagum kepada saya…
“Mereka menganggap saya orang alim, orang hebat, waskita, tapi kenyataannya… Nun jauh di hati saya, sesunggunya ada kesombongan yang begitu lembut dan tak terasa. Kesombongan itulah yang menggerakkan saya selama ini. Bukan semangat belajar untuk mengerti dan memahami. Bukan kesadaran untuk berbagi ilmu…
“Karena saya sudah telanjur mendapatan cap orang alim bahkan sosok yang mulia dan waskita, salah satu jalan yang saya tempuh akhirnya adalah bagaimana caranya supaya di mata banyak orang, saya ini hina.
“Memang berat rasanya mendongkel kesombongan yang lembut itu, yang sudah menjadi noda di hati saya… Semoga cemooh dan hinaan orang yang saya terima akhir-akhir ini, bisa membantu membersihkan kerak kesombongan saya yang sudah membatu itu…”
Mendengar pengakuan agak panjang murid ketiga tersebut, Haji Ahmad bukan hanya mengangguk. Tapi langsung menangis terguguk. Dia tidak menangisi kisah murid ketiga yang barusan didengarnya itu. Melainkan menangisi dirinya sendiri.
Sebab diam-diam, begitulah yang dia lakukan selama ini, tanpa disadari.