Seorang murid, setelah sekian tahun turun gunung, sowan lagi ke gurunya. Selain bersilaturahmi, juga untuk mendapatkan suntikan kebijaksanaan.
Sang Guru lalu mengajak Si Murid untuk berjalan ke pekarangan, di belakang padepokan. “Lihat pohon buah itu…” ujar Sang Guru, “hampir setiap tahun, pohon itu berbuah. Pohonnya subur. Setiap kemarau panjang, aku siram. Aku rawat. Tapi buahnya tidak terlalu manis…
“Lalu lihat pohon buah satunya lagi…” kata Sang Guru sembari menunjuk ke arah sebuah pohon. “Aku merawatnya. Tapi dengan cara yang berbeda. Kalau musim kemarau kering, tidak pernah kusiram. Berkali-kali pohon itu terlihat hampir mati. Tidak setiap tahun pohon itu berbuah. Tapi kalau berbuah, lebat dan manis buahnya mengalahkan pohon yang kusiram setiap kemarau panjang…”
Si Murid takjub. Bertahun dia di padepokan itu, hampir saban sore dia melihat kedua pohon itu, tapi tak pernah memperhatikan bagaimana gurunya punya cara yang berbeda dalam merawat kedua pohon itu.
“Pohon yang kurawat dengan cara kusiram setiap kemarau, selalu memberi buah lebat. Sehat. Subur. Tak pernah terancam mati…
“Sementara pohon yang kurawat dengan cara yang berbeda, tak pernah kusiram di musim kering panjang, sesekali tampak kerontang, hampir mati. Tapi begitu kena air, dia tumbuh dengan baik. Penderitaan membuatnya tabah. Lalu mempersembahkan buah yang jauh lebih lebat dan lebih manis sekalipun tidak setiap musim.”
Sang Guru kemudian berjalan pelan. Si Murid mengikutinya.
“Kamu lihat pohon itu?” tanya Sang Guru, lagi-lagi menunjuk ke sebuah arah.”
“Mana, Guru?”
“Di sana…”
“Tidak ada pohon di sana…”
“Dulu ada. Tapi sudah mati.”
“Kenapa Guru?”
“Aku tidak tahu. Karena tidak pernah kuperhatikan, apalagi kurawat.”
Si Murid diam. Mereka terus berjalan pelan. Hanya ada suara daun dan ranting kering yang terinjak kaki-kaki mereka.
Lalu terdengar suara bening Sang Guru, “Pohon yang kubiarkan tanpa air itu, mengeluarkan daya hidupnya yang luarbiasa untuk mengatasi penderitaannya. Risikonya, dia mati. Tapi kalau dia bertahan, dia jauh lebih kuat. Memberi buah yang lebih manis dan lebih lebat. Sementara pohon yang selalu kusiram di musim kemarau, dia tumbuh lebih aman. Tidak terancam kematian. Selalu berbuah. Walaupun kalah lebat dan manis.”
“Mana yang lebih baik dalam cara merawat kedua pohon itu, Guru?”
“Semua baik. Semua ada kelebihan dan risikonya. Kita boleh punya cara yang berbeda dalam merawat pohon. Termasuk dalam mendidik manusia. Tapi kesadaran dan perhatian itulah yang paling utama. Yang keliru adalah tidak memperhatikannya. Seperti pohon ketiga.”